Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman dibawah Pohon
Tanpa keduanya sadari, Nana dan Nella berjalan dari arah berbeda, bukan dari tempat mereka berlari tadi menuju parkiran.
"Perutku sudah keroncong, Na." Keluh Nella sambil memegang perutnya.
"Tahanlah sebentar lagi. Huh, untung saja kita bertemu tuan Daniel dan mengatakan jalan pintas ini." Balas Nana mengusap peluh di dahi. "Sepertinya berat badanku sudah berkurang dua kilo."
Nella tergelak mendengarnya. "Mana mungkin. Kau— eh kenapa?"
"Suuttt, mundur-mundur! Sembunyi disini!"
Ucapan Nella berbalik arah ketika Nana tiba-tiba berhenti didepannya lalu mendorongnya. Keduanya bersembunyi dibalik pohon besar.
"Ada apa?" Tanya Nella malah ikut berbisik. Wajahnya heran melihat Nana yang menunjuk ke depan. Dia memiringkan kepala mengikuti Nana. Hingga pandangan didepan membuat mulutnya menganga lebar.
"HAAA APA—"
"Ssttt! Pelan kan suaramu, Bodoh!"
Mulut Nella ditutup Nana dengan telapak tangannya. Dia mengerang kesal.
Dan Nella dengan patuh mengangguk kemudian mengambil novel Merzi yang terjatuh akibat keterkejutannya.
Nana kembali mengintip dari balik pohon. Dari jarak yang cukup jauh ditambah mereka yang tertutup dibelakang pohon, tapi Nana bisa melihat dengan jelas bagaimana— ah, bagaimana mengatakannya?!
"Astaga, nona Merzi berciuman dengan Ebha?!"
Nah, untung Nella mengatakannya. Temannya itu ikut mengintip lagi. Sepertinya.
"Nana, kita harus menghentikan Ebha! Pasti dia yang memaksa nona Merzi. Ayo, Na!" Tekad Nella. Dia hampir keluar dari persembunyian jika Nana dan menariknya kembali.
"Jangan bodoh! Lihatlah dengan jelas, Nella!" Kepala Nella ditarik Nana untuk melihat ke depan. "Mana ada orang yang dipaksa tidak memberontak. Nona Merzi menikmatinya. Kau lihatlah baik-baik."
Nella melihatnya sendiri. Merzi begitu nyaman diatas duduk diatas kaki Ebha. Seketika otaknya berputar pada adegan ciuman drama Korea yang pernah di tontonnya.
"Gila. Apakah nona Merzi kerasukan? Atau Ebha yang sudah lemah iman?" Bisiknya tak habis pikir.
Nana menggeleng. "Tidak dua-duanya, Nella. Mereka sedang dimabuk cinta."
"Cinta? Mereka menjalin hubungan dibelakang semua orang?"
"Tidak. Tuan Oldrich sendirilah yang menyuruh Ebha menuruti permintaan nona Merzi."
"Permintaan nona Merzi yang mana?"
Nana berdecak kesal. Dia mencubit pelan pinggang Nella. "Kurasa kita seumuran, Nella. Tak kusangka kau menjadi pikun dengan cepat."
Bibir Nella mengerucut. Tangannya mengelus bekas cubitan Nana. "Aku hanya bertanya tapi malah kau cubit. Sakit tau!"
Menghela napas pelan, Nana menegapkan badannya. "Permintaan nona Merzi yang meminta Ebha menjadi kekasihnya. Sudah ingat?" Katanya datar kembali menoleh pada objek yang mereka intip.
Nella memiringkan kepalanya lagi. "Dari mana kau tahu, Na?"
Nana menoleh lagi pada Nella. Wajahnya berubah tak bersahabat. Melihat itu Nella cengengesan lalu berkata, "satu pertanyaan lagi saja. Jawablah."
Jeda dua detik, Nana menjawab, "tuan Oldrich sendiri yang mengatakannya. Aku mendengar percakapan tuan Oldrich bersama pak Barid."
"Astaga, Nana, kau menguping pembicaraan tuan?!"
"Tidak akan ku jawab kecuali satu pertanyaan sepuluh koruna¹."
Mendengar itu membuat Nella berdecak. "Kau melakukan pemerasan, Nana."
Nana terkekeh sinis.
Mereka memang seperti serial kartun Tom and Jerry— kadang-kadang. Juga seperti dua sahabat lama jika sedang satu frekuensi.
"Oh, astaga. Ebha pencium yang handal! Ugh, aku jadi penasaran bagaimana rasanya." Ucap Nana menggigit ujung kukunya.
Bisa keduanya lihat dengan jelas walau Ebha sedikit membelakangi mereka. Terlihat bagaimana kepala Ebha yang semakin menunduk, seperti menekan lebih dalam ciuman. Lalu tangan lelaki itu yang mencengangkan paha kecil Merzi.
Lain halnya dengan si nona muda yang sepertinya kewalahan. Jemari Merzi yang terselip diantara rambut Ebha dan meremas kuat kepala lelaki itu. Sementara tangan yang lain memegang erat pundak Ebha.
"Mereka seperti bintang film." Komentar Nella. Dia sekarang juga hanyut pada adegan didepan mereka.
"Aktor-aktor Korea-mu lewat, Nel. Ebha melebihi mereka."
"Otakmu memang dipenuhi hal-hal mesum. Nana sinting!"
Mereka kembali menonton siaran langsung itu hingga perlahan remasan tangan Merzi di rambut Ebha mengendur dan kepala lelaki itu mundur ke belakang. Tautan bibir keduanya terlepas.
"Mereka selesai?" Nella melirik kearah Nana.
"Sepertinya."
"Kita keluar sekarang? Nona Merzi pasti bertanya-tanya kenapa kita belum datang."
Nana diam. Sedang berpikir. "Kita tunggu sebentar lagi. Sampai nona Merzi turun dari pangkuan Ebha."
Nella mengangguk. Mengintip lagi. Seperti Nana.
Beralih dari Nana dan Nella menuju Ebha dan Merzi. Napas keduanya saling bertabrakan. Ebha merapatkan keningnya dengan kening Merzi. Jempolnya mengusap bibir Merzi yang merona seperti wajahnya. Lelaki itu menyeringai kecil.
"Ternyata kamu kuat juga."
Merzi memandang Ebha. Tangannya bertengkar diatas pundak lelaki itu. "Kamu?"
"Ya. Kita kekasih sekarang."
"Oh." Awalnya tadi Merzi ingin mengendus leher Ebha, tapi urung setelah mencerna kalimat lelaki itu barusan. Kekasih?
Wajahnya heran menatap Ebha. "Ebha bilang apa tadi? Kita? Kekasih? Maksudnya?"
Tak segera menjawab, Ebha malah mengusap lagi bibir bawah Merzi yang masih mengkilat, sisa bertukaran liur mereka.
"Tak tahu maksud kekasih? Perlu kita ulang yang tadi …, Marjeta?" Sesenti lagi bibirnya menyentuh milik Merzi, tapi jemari gadis itu menahan mulutnya.
Rautnya masih bingung, tapi dibalik itu ada binar bahagia.
"Ebha kekasih Merzi? Berarti sekarang kita pacaran? Begitu, kan?"
"Iya, Nona Merzi." Ebha mengusap hidungnya diatas hidung Merzi, membuat gadis itu tergelak kecil. "Tuan Oldrich yang mengiyakan kemarin lusa pada saya. Semoga kamu bahagia."
Merzi menangkup rahang Ebha, berujar, "apakah wajah Merzi tak kelihatan bahagia, Ebha? Ah, tidak— apakah wajah cantik Merzi tidak kelihatan bahagia, Sayang?"
Gelakan kecil dari mulut Ebha. Lelaki itu mengalihkan pandangannya kearah lain, tapi yang didapati oleh matanya seperti rambut perempuan yang ditarik pemiliknya dari balik pohon. Ketika kepalanya menoleh, sosok dibelakang pohon seperti segera kembali bersembunyi. Terlambat karena Ebha menangkap basah duluan.
Niat ingin salah tingkah mendengar panggilan sayang Merzi, kini berganti menjadi wajah datar.
"Nana dan Nella sudah kembali, Nona. Sepertinya mereka mengintip kita."
Senyum Merzi ikut luntur perlahan, dan mengikuti arah pandang Ebha.
"Maaf atas kecerobohan saya, Nona Merzi." Tubuh Merzi diangkat dan didudukkan ditempat semula. "Saya tidak bisa mengontrol diri. Maaf, Nona." Ebha bangkit dan menunduk dalam.
Melihat itu Merzi keheranan. Pikiran bercabang negatif. "Ebha … menyesal?"
"Tentu tidak. Saya tidak menyesal sama sekali. Hanya saja saya merasa bodoh. Seharusnya saya berpikir sebelum bertindak."
Merzi menghela napas. Ikut berdiri. Lalu matanya menangkap Nana dan Nella berjalan kearah mereka sambil menunduk.
"Terserah Ebha saja."
Gadis itu melangkah pergi. Keinginan piknik siangnya tiba-tiba lenyap. Ebha dilewatinya. Nana dan Nella yang ingin menegur diabaikan. Merzi berjalan tanpa alas kaki.
"Apa yang terjadi? Bukankah tadi nona Merzi kelihatan bahagia, Ebha?" Nana bertanya heran.
"Ya! Nona kelihatan senang kau ci— aw! Kenapa kau terus mencubit ku sih?!"
"Diamlah! Biar aku saja yang berbicara. Dasar ember!" Bisik Nana geram.
Sedangkan Ebha melirik malas dua perempuan itu. Dia berlalu menyusul Merzi.
"Bereskan kembali barang-barang itu. Kita pulang sekarang." Perintahnya tanpa bantah.
Nella mengikuti langkah Ebha yang lebar. "Sepertinya Nona Merzi merajuk."
"Sepertinya." Nana mengangguk setuju. "Ebha harus lebih bersabar mulai sekarang. Wanita memang suka merajuk pada kekasihnya."
Mudah bagi Ebha menyesuaikan langkah kecil Merzi. Biarpun gadis itu berlari dia hanya perlu jalan cepat tanpa effort dan Merzi terkejar.
"Nona. Sebaiknya gunakan kembali sepatu anda." Ucap lelaki itu mengangkat sepatu bot Merzi yang sempat ditariknya dari atas rumput sebelum melangkah.
"Pakai saja sendiri!"
Jawaban itu terdengar ketus. Ebha melipat bibir kedalam. Merzi selalu kelihatan lucu jika sedang kesal.
"Saya akan menggendong nona jika tidak menurut. Kaki anda bisa terluka, Nona Merzi." Bujuknya lagi.
"TERSERAH!"
"Baiklah."
HAP!
Badan Merzi melayang. Ebha benar-benar mengangkatnya. Kali bukan seperti gendongan bridal style tapi Ebha mengangkatnya bagai karung beras. Diletakkan diatas bahu kiri lelaki itu. Kepalanya merunduk ke bawah, ke belakang punggung Ebha.
"EBHA! TURUNIN MERZI!"
Telinga Ebha menuli. Dia melangkah lebar. Ringan saja baginya mengangkat tubuh kekasih kecilnya ini.
Ah, sekarang panggilannya berganti.
Kekasih kecil.
"Tersenyumlah sedikit, Nona Merzi." Ujar lelaki itu setelah memasukkan Merzi ke dalam mobil.
Tentu tidak semudah itu. Merzi melipat tangan didepan dada. Enggan menatap Ebha. Masih merajuk.
"Minta saja pada kuda Daniel sana."
Ebha terkekeh pelan. Memundurkan kepalanya lalu menutup pintu. Dia masuk ke dalam jok pengemudi.
"Ingin makan siang diluar atau dirumah, Nona?"
"Terserah."
Itu adalah jawaban mematikan untuk semua pria.
......................
¹Koruna adalah mata uang negara Ceko.