Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Menggoda CEO
Menggoda CEO
Slurp ... Slurp ...
“Ah ... Segernya.” Raut Alexa terlihat senang ketika sedang menikmati rujak mangga yang dibuatkan ibunya Mike.
Suara menyeruput kuah kental rujak mangga itu membuat Julian menelan ludah sendiri. Alexa tampak sedang menikmati sekali rujak itu sampai mulutnya tidak berhenti mengunyah.
“Enak?” Julian penasaran melihat Alexa yang setengah rakus, padahal setahunya rujak itu sudah tentu asam. Tetapi Alexa seperti tidak merasakan itu.
Alexa mengangguk dengan mulut penuh. “Beli di mana?”
“Di Hongkong.”
Alexa tersentak. “Beneran beli di sana? Kapan belinya?”
Julian tertawa kecil. “Beli di tukang rujak lah. Beli di mana lagi? Beli di Hongkong kejauhan, Alexa. Ck ck ck,” decak nya sembari menggeleng.
“Iya juga ya.” Alexa tertawa singkat, menoleh pada Julian yang tengah serius memperhatikannya.
“Tapi yang kamu makan itu dibuat khusus dari mangga yang aku petik sendiri.”
“Oh ya? Makasih ya?” Wajah Alexa menyengir lebar seperti seorang bocah yang sedang gembira.
“Mau?” tawarnya kemudian usai menelan kunyahan. Sambil tangannya mengulurkan sendok berisi penuh rujak mangga.
“Tidak, tidak. Silahkan kamu habiskan saja.” Julian hanya bisa menelan ludah melihat Alexa yang begitu lahap, menikmati rujak dengan wajah gembira. Ia pun ikut gembira, mengulum senyuman seraya mengulurkan tangan mengusap kepala Alexa seperti seorang bocah.
Saat rapat beberapa jam lalu, tak henti ia memperhatikan Alexa. Perubahan sikap mendadak yang diperlihatkan oleh Alexa membuat ia bertanya-tanya, yang membuat hatinya tak tenang.
Ia tahu Alexa tentu sangat terkejut saat mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Sehingga mungkin Alexa ingin menjaga jarak darinya. Sebab status mereka yang terlihat jelas sekarang ini membuat Alexa menjadi canggung.
Namun ia pun menjadi gemas sendiri dengan tingkah absurd gadis itu yang terkadang membuatnya senang juga kesal dalam waktu yang bersamaan. Gadis itu kerap membuat emosinya naik turun. Mungkin hal itulah yang membedakan Alexa dan Sofia. Mengenal Alexa membuatnya seperti seorang petualang yang menjumpai banyak tantangan disetiap harinya.
Sementara di luar ruangan itu, di sebalik meja yang bercat pernis, yang terletak tak jauh dari ruangan CEO, ada hati yang tak tenang dan sepasang mata yang tak lelah memperhatikan pintu ruangan itu.
Satu jam sudah berlalu, tetapi pintu ruangan CEO belum dibuka sejak Alexa masuk ke dalam ruangan itu. Membuat Sofia didera gelisah dan gerah sendiri dibalik mejanya.
Entah apa yang dilakukan gadis ingusan itu sampai dia betah berlama-lama di dalam ruangan Julian.
Sejak tadi Sofia sibuk dengan isi kepalanya, mencari-cari alasan yang bisa ia berikan untuk masuk ke ruangan itu. Namun ia tidak menemukan alasan untuk itu.
Ia dibuat tak tenang dengan kehadiran Alexa. Terlebih saat tak sengaja ia melihat Julian dan gadis itu sedang berciuman di dalam sana, yang seketika membuat hatinya bergejolak. Senyum di wajahnya pun tenggelam dan berganti dengan wajah yang memancarkan aura penuh misteri.
“Sejak tadi Pak Julian belum minum apapun. Saya jadi khawatir. Apakah Pak Julian sudah sarapan pagi ini?” Didorong oleh perasaan tak tenangnya, Sofia akhirnya bertanya pada Mike yang baru kembali dari suatu tempat.
Mike yang baru saja mendaratkan pantat pada kursi di sebelah Sofia itu menoleh. Letak meja mereka kebetulan bersebelahan, hanya berjarak sekitar setengah meter.
“Tenang saja. Pak Julian tidak pernah lupa sarapan dari rumah,” ungkap Mike.
“Apakah beliau sering makan siang di luar?”
“Karena Pak Julian baru beberapa hari ini menjabat, aku belum melihat beliau makan siang di luar.”
Sofia mengangguk pelan, seperti memahami perkataan Mike.
“Memangnya ada apa?” tanya Mike merasa aneh Sofia bertanya tentang hal itu.
Sofia menggeleng, mengulum senyuman tipis. “Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja. Soalnya sejak pagi aku belum melihat beliau makan ataupun minum sesuatu. Aku hanya berniat ingin menawarkan saja, barangkali beliau ingin makan sesuatu.”
“Kalau soal itu tidak perlu khawatir. Jika beliau membutuhkan sesuatu, dia pasti akan menghubungi salah satu dari kita.”
Sekali lagi Sofia mengangguk, tersenyum canggung karena tatapan Mike yang seolah sedang mencurigainya.
Sofia pun hanya bisa menghela napas panjang, sebab ia tidak menemukan alasan untuk bisa masuk ke dalam ruangan Julian demi bisa mencaritahu apa gerangan yang sedang dilakukan Alexa di dalam ruangan itu.
Raut Sofia terlihat jelas sedang cemas. Sesekali matanya melirik arloji di pergelangan kirinya. Satu jam sepuluh menit sudah berlalu, dan pintu ruangan CEO pin akhirnya dibuka.
Sosok Alexa keluar dari ruangan itu dengan wajah tersenyum sambil tangan kanannya mengusap-usap perutnya. Pemandangan itu lantas menciptakan kerutan di dahi Sofia.
Seingat Sofia, tempo hari bertemu di toko buah, Alexa sedang mencari mangga muda, seperti sedang mengidam saja. Sofia pun terhenyak manakala ia terpikirkan satu kemungkinan tentang Alexa. Apakah gadis itu sedang hamil muda?
***
“Al, gimana?” Risma bertanya begitu Alexa duduk pada kursinya. Satu jam lebih Alexa berada di ruangan CEO, membuat Risma cemas sekaligus penasaran.
Alexa hanya tersenyum.
“Kamu dipecat?” tanya Risma lagi.
“Tenang saja. Sudah kubilang, CEO tidak berani memecatku. Soalnya aku ini aset penting perusahaan,” gurau Alexa.
“Dih, kepedean.”
Alexa cengengesan, menertawai raut kesal Risma yang merasa tidak puas dengan jawabannya.
“Satu jam lebih kamu ngapain aja di ruangan Pak Julian?”
“Ngobrol.”
“Cuma ngobrol? Masa sih?”
Alexa mengangguk sembari mulai menghidupkan perangkat komputer yang tersedia di mejanya.
“Ngobrolin apa sih kok bisa selama itu?”
“Dih, kepo.”
“Serius nanya, Al. Kamu ngobrolin apa saja dengan Pak Julian? Yang lain di sini pada bisik-bisik tahu tidak.” Risma memberitahukan keadaan di dalam ruangannya seperginya Alexa ke ruangan Julian selama satu jam lebih tersebut. Mereka mulai menaruh curiga jangan-jangan Alexa sedang menggoda Julian.
“Bisik-bisik apaan?”
“Mereka mengira kamu sedang menggoda CEO.”
Alexa tergelak, membuat rekan yang lain terganggu dengan suara tawanya. Sehingga sebagian langsung berdiri, menyembul dari balik kubikelnya, menghunus pandangan menegur pada Alexa.
“Berisik banget sih jadi cewek,” umpat salah seorang rekan berambut blonde, yang sepanjang rapat beberapa jam lalu melihat Julian dengan sorot mata yang berbeda. Sepanjang rapat itu pula wajah rekannya itu tak pernah berhenti tersenyum, membuat Alexa berkata sendiri dalam hatinya, apakah wajah rekannya itu tidak pegal tersenyum terus seperti itu.
“I'm so sorry, Mam,” kata Alexa dengan nada meledek. Dari tingkah rekannya itu, ia bisa menebak, wanita itu terpesona pada Julian.
“Aku masih single tahu,” ketus rekannya yang diketahui bernama Linda.
“Oh jomblo.”
“SINGLE!”
“Iya, tahu. Jomblo kan?”
“Iiih ... Menjengkelkan. Kalau mau ribut, sana, keluar. Kalian ganggu tahu tidak.”
“I'm sorry, Madam.”
“Ckk dasar.” Linda kesal, memilih duduk pada akhirnya.
Sedangkan Alexa cekikikan dibalik kubikelnya.
“Sssttt ... Al,” panggil Risma setengah berbisik.
Alexa menoleh. “Apa?”
“Kamu tidak menggoda Pak Julian, kan?”
“Buat apa aku menggodanya. Orang itu tidak perlu digoda, dia sudah tergoda duluan.”
“Maksud kamu?”
Alexa hanya mengedipkan sebelah matanya. Merasa tidak perlu menjelaskan apapun pada Risma.
***
“Sejak pagi tadi kamu belum makan apapun. Aku buatkan ini sekedar untuk mengganjal perut.” Sofia menaruh nampan berisi sepiring omelet dan roti tawar serta jus jeruk di atas meja Julian yang sedang sibuk menggores pena di atas lembaran kertas.
Gerakan tangan Julian terhenti, matanya melirik ke arah nampan itu sekilas. Kemudian melanjutkan kembali kegiatannya.
“Aku khawatir. Makanya aku tadi ke pantry dan membuat ini untuk kamu.” Sofia seolah tak lelah, ingin Julian melihatnya walau sebentar saja.
Julian kembali menghentikan kegiatannya, lalu menoleh, mendongak memandangi wajah Sofia.
“Kamu mengkhawatirkan apa dariku? Setelah bertahun-tahun baru sekarang kamu bilang khawatir?”
To Be Continued ...
ayooo berjuangg.. rebut Al dari robin/Determined/