Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyerah
“Mau apa, Sayang? Mau minum? Dua hari kamu pingsan, pasti tenggorokan kamu keringa ‘kan?”
“Iya, Ma.”
Alex segera mengambil air dan sedotan untuk memudahkan Amelia meminum air itu. Tattapn Ira dan Alex terlihat cemas meski Amelia sudah sadarkan diri. Mata Ira berkaca-kaca, menahan air mata.
Tiba-tiba Amelia menangis. Hal itu membuat orang tuanya semakin cemas dan terkejut.
“Mama … Papa … adek minta maaf ya,” pintanya lirih. Wajah tegang Ira karena khawatir perlahan berubah menjadi sayu.
“Adek egois. Adek hanya memikirkan perasaan adek aja.”
“Sssstttt, kamu adek ngomong apa? Adek gak egois. Justru mama dan papa yang salah karena tidak menceritakan masalah ini sama adek. Awalnya mama memang tidak ingin adek tau. Hal seperti ini lah yang mama takutkan. Takut adek marah dan benci sama kami semua.”
Amelia menggelengkan kepala cepat.
“Adek yang salah. Seharusnya adek yang bersyukur karena mama mau mengurus dan menyayangi adek selama ini.”
“Ssstttt, sayang. Kita jangan bahas masalah ini lagi ya. Kita tutup semuanya, dan kita mulai kehidupan kita yang baru. Lupakan apapun yang terjadi kemarin.”
Amelia mengangguk pelan. Mereka saling memeluk satu sama lain dalam isak tangis haru dan bahagia.
“Adek mau apa? Nanti papa belikan.”
“Adek mau istirahat aja, Pa. Badan adek pegel-pegel.”
“Oke. Sayang, nanti abang ke sini. Mama sama papa pulang dulu sebentar. Sore nanti kami kembali ke sini buat nemenin adek, ya.”
“Mama sama papa istirahat aja. Biar abang yang jagain adek di sini. Adek gak apa-apa kok.”
“Ya sudah kalau itu maunya adek. Papa sama mama pergi dulu ya, sayang.” Alex mencium kening putrinya. Pun dengan Ira.
Saat Rehan datang, Ira dan Alex pulang ke rumah untuk istirahat.
“Apa yang dirasa? Sebelah mana yang sakit, dek?”
“Kaki adek pegel semua, abang.”
“Sini abang pijitin. Kalau sakit adek bilang ya.”
Rehan memijat refleksi telapak kaki Amelia seperi biasanya. Seperi hari-hari sebelumnya.
Amelia menatap lekat wajah Rehan. Dalam hatinya penuh dengan rasa syukur karena memiliki kakak seperti Rehan.
“Gunawan telpon, katanya dia mau ke sini jenguk adek. Boleh gak?”
“Boleh, kenapa mesti ijin dulu?”
“Takut ganggu mungkin. Takut adek gak nyaman.”
“Ke sini aja bilangin.”
“Ya udah abang panggil dulu orangnya.”
“Panggil?”
“Dia udah ada di depan kamar ini solnya.”
“Terus fungsinya ijin buat apa? Orang dia udah ada di sini? Kalian emang aneh dasar ya. Pantas kalian klop meski beda umurnya jauh.”
Rehan tersenyum, “Gun, masuk.”
Pintu terbuka. Gunawan muncul dari balik pintu.
“Astagfirullah, rapi bener lo.”
“Habis kondangan sekalian mampir.”
Amelia mengangguk beberapa kali dengan mulut sedikit terbuka.
“Ini buat kamu.”
“Makasih. Padahal gak usah repot-repot. Kalau ada yang lebih gede, kenapa bawa yang sekecil ini?”
“Hahaha. Dasar.”
“Abang beli minum dulu ya, Dek.”
“Iya, beliin ciki sama puding ya, bang.”
Rehan mengacungkan jempol tangannya. Dia pun berlalu setelah menutup pintu.
“Apa kabar? Masih berasa sakit?” Tanya Gunawan sambil memeriksa luka di kepala Amelia.
“Lumayan agak sedikit pusing. Cuma oke lah masih bisa tahan.”
“Syukurlah. Aku kaget banget pas lihat orang berbondong-bondong ngerubutin kamu. Aku pikir kamu kenapa-kenapa.”
“Maaf ya udah bikin kamu cemas.”
“Kenapa bisa pingsan, sih? Kamu gak dikasih makan sama mama dan papa? Coba kalau mau pingsan tuh lihat tempat. Bahaya banget pingsan di pinggir jalan. Gak estetik juga.”
“Ih, ya kali orang pingsan bisa pilih T tempat. Aneh dasar.”
“Hoki sih kamu gak sampe kelindes truk yang lewat.”
“Ih, amit-amit.”
“Makanya, kalau pingsan lagi pas ada aku aja ya.”
“Udahlah, ngaco lo emang.”
“Belakangan ini kamu terlihat lebih kurus, ada apa? yakin sih alasannya bukan karena diet kan?”
Ameli menggelengkan kepala nya.
“Pokoknya papun yang membuat kamu sedih, kamu jangan lupa ada aku yang akan selalu ada buat kamu. Oke.”
“Gun, aku mau bicara sesuatu sama kamu.”
Mendengar Amelia memanggil dirinya ‘aku’x dia merasa cemas dan takut.
“Jangan katakan apapun, aku mohon.”
“Gun, jujur. Ada orang yang sudah mengisi relung hati aku. Aku sangat mencintai dia dan rasanya sulit untuk aku bisa mengganti dia dengan lelaki manapun. Kamu baik, Gun. Rasanya gak tega kalau kamu terus-terusan seperti ini. Sebesar apapun usaha kamu, tetap akan sia-sia.”
Gunawan melepaskan genggaman tangannya yang sejak tadi menggenggam erat jemari Amelia.
“Tolong, lepaskan aku ya. Kamu cari—“
Belum sempat Amelia melanjutkan kalimatnya, Gunawan bangun dari duduknya lalu pergi begitu saja.
Melihat kepergian laki-laki tersebut, Amelia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hatinya. Satu sisi dia merasa lega, namun sisi hati yang lain terasa hampa dan menyakitkan.
“Dek, Gunawan pergi? Kalian berantem apa gimana? Kayaknya dia marah sampe gak mau jawab abang.”
“Hmm. Adek udah minta sama dia agar dia melepaskan adek. Kasian dia, bang. Soalnya adek gak bisa ngasih apa-apa sama dia.”
Rehan duduk di atas ranjang, di samping Amelia. Dia mengusap kepala adiknya dengan lembut.
“Masih berharap pada Harlan?”
“Adek gak bisa lupa, bang.” Air mata Amelia mulai menetes.
“Gak apa-apa, abang akan selalu mendukung apapun keputusan adek. Sekarang jangan terlalu memikirkan hal lain. Fokus saja sama kesehatan adek, ya.”
Amelia mengangguk.
Selama tiga hari Amelia dirawat. Di hari ketiga saat dia akan pulang, perwakilan teman satu kelas dan wali kelasnya datang berkunjung. Andai saja kemarin Amelia tidak meminta Gunawan untuk pergi dari hidupnya, pasti dia akan ikut pikir Amelia.
Dengan dia tidak memaksa datang, itu artinya Gunawan sudah benar-benar menjauhi Amelia. Tidak memaksa, tidak ngeyel seperti waktu yang dulu-dulu.
Setelah satu hari istirahat di rumah setelah keluar dari rumah sakit, Amelia kembali bersekolah. Diantar oleh Alex. Dia tidak mau anaknya kenapa-kenapa, makanya diantar oleh mobil.
“Jangan keluar gerbang sebelum papa datang, ya, Sayang.”
“Siap, Pa.”
Gadis itu menjadi perhatian para siswa karena bekas luka yang ada di dahi dan pipinya.
“Ameli.” Seseorang memanggil dari arah belakang. Rupanya dia adalah Dewi teman satu kelasnya. “Tunggu.”
Anak itu berlari mengeja Amelia yang sudah cukup jauh di depan.
“Bareng ke kelasnya,” ucapnya ngos-ngosan.
“Maaf ya kemarin aku gak bisa ikut jenguk kamu. Ibuku juga lagi sakit soalnya”
“Sakit apa, Wi.”
“Demam doang sih, jadi aku harus jagain. Soalnya kan teteh aku gantiin ibu di pasar.”
“Iya, gak apa-apa.”
Mereka berjalan bersama menuju kelas. Sesampainya di kelas, Amelia melihat bangku sampingnya kosong. Gunawan pindah ke bangku Mahendra.
“Loh, ngapain kamu di sini? Itu kan bangku Mahendra. Dia duduk di mana nanti?” Tanya Silvi yang kebetulan duduk bersama Mahendra.
“Lo duduk di bangku gue sana.”
“Ihhhhh, ngapain sih? Kamu berantem sama Amel? Tumben banget.”
“Vi, kamu duduk di bangku aku aja. Aku yang duduk sama Amel.”
Silvi yang sempat berdebat dengan Gunawan, menoleh.
“Eh, Mel? Kamu udah baikan?”
Amelia mengangguk. Dia duduk di bangkunya bersama Dewi. Teman-teman yang lain berkerumun, menanyakan kabar juga bertanya tentang kronologi kejadian.
Hanya saja Amelia tidak bisa menceritakan detailnya karena dia pingsan. Dia hanya ingat kejadian sebelum di jatuh.