Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 KABAR DUKA
Waktu terus berjalan, seolah dunia tak peduli pada kegelisahan mereka. Sampai akhirnya adzan subuh berkumandang, memecah keheningan dengan lantunan yang syahdu namun menggetarkan.
Hujan pun telah reda. Masih menyisakan tanah becek dan daun-daun yang kuyup. Selepas shalat subuh, tanpa sempat beristirahat, Bu Rahmi segera keluar rumah. Ia berjalan dari satu rumah ke rumah lain, mencari pertolongan.
Langkahnya cepat, wajahnya pucat tapi tegas. Hati kecilnya dipenuhi firasat buruk. Pagi itu, warga mulai berkumpul. Suara-suara pelan menyebar, gosip mulai berembus di antara deretan rumah. Ketika Bu Rahmi menceritakan tentang Kayano yang menghilang sejak pukul sepuluh malam, wajah-wajah yang mendengar berubah muram.
“Waktu hujan turun deras itu ya Bu?” tanya salah satu warga.
“Iya… saya juga tidak tahu dia keluar. Saya fikir dia sedang tidur, ternyata saat saya cek dikamarnya kosong,” suara Bu Rahmi lirih.
"Dia membawa ponselnya Bu?" tanya Bu Anis yang datang menghampiri, ikut cemas.
"Tidak Bu. Ponselnya ada, Bu. Di kamarnya. Dia tidak membawa ponselnya. " jawab Bu Rahmi sambil menelan ludah.
"Eh, kalau begitu coba deh telepon teman-temannya bu! Siapa tahu dia numpang tidur tadi malam dirumah mereka, karena tadi malam hujan. Mungkin dia tidak bisa pulang karena hujannya deras!" ucap Bu Anis.
"Baik bu." jawab Bu Rahmi sambil mengangguk dan buru-buru pergi untuk mengambil ponselnya.
Tanpa pikir panjang, ia berlari masuk ke rumah. Nafasnya terengah saat mencapai kamar. Ia mengambil ponsel Kayano yang tua dan layarnya sudah retak, baterainya sering low namun itu satu-satunya penghubung dengan dunia luar.
Tangan Bu Rahmi gemetar saat mencoba menyalakannya. Hatinya diliputi doa.
"Tolong ya Allah… jangan biarkan aku kehilangan lagi kali ini. "batinnya.
Ponsel milik Kayano diserahkan Bu Rahmi kepada Bu Anis. Tangannya gemetar saat menyerahkannya karena ia sendiri bahkan tak tahu cara menggunakannya. Teknologi terasa asing baginya, apalagi dalam keadaan setegang ini. Ia hanya berharap ada yang bisa membantu lebih cepat sebelum semuanya terlambat.
Sementara itu, para ibu tetangga sibuk menelepon teman-teman Kayano, mencari tahu keberadaannya. Tak hanya kaum ibu, para bapak yang hendak ke ladang pun mengurungkan niat untuk berangkat. Mereka menyingsingkan lengan baju dan ikut menyisir kampung.
Dari jalanan becek, kebun di belakang rumah, hingga tepian sungai yang masih menyisakan lumpur akibat hujan semalam. Namun di tengah kesibukan dan kegelisahan itu, satu suara terdengar yang tak enak didengar.
Pak RT Pak Adi, yang seharusnya menjadi pengayom, justru mencibir sinis. Kata-katanya dingin, menusuk, dan penuh nada merendahkan. Bahkan beberapa warga menoleh dengan wajah tak percaya mendengar ucapannya.
"Yah, namanya juga anak muda. Kayano dan Casanova itu, anak yang kurang perhatian. Tidak heran kalau akhirnya jadi orang yang tak bener dua-duanya,” celetuk Pak RT sambil tertawa tipis, seolah itu candaan biasa.
Ucapan itu menghantam dada Bu Rahmi seperti batu besar. Tapi ia memilih diam. Matanya nanar, namun bibirnya terkunci. Ia tahu, tak ada gunanya melawan. Terlebih karena Pak Adi masih ada hubungan keluarga jauh dengannya, meski tak pernah menganggapnya keluarga.
Bagi Pak RT, Bu Rahmi hanyalah orang miskin yang tak layak dipedulikan. Semua warga paham betapa busuknya RT mereka. Tapi siapa yang berani melawan? Pak Adi adalah bukan orang sembarangan.
Ia punya kedekatan dengan kepala desa, dan dikenal sebagai penyandang dana terbesar dalam banyak urusan kampung. Tak heran jika ia merasa bebas berkata apa saja, seenaknya, tanpa takut digugat.
Fajar mulai menyingsing. Cahaya matahari yang pucat menembus celah-celah awan kelabu, seolah menyiratkan secercah harapan. Bu Rahmi duduk di sisi Casanova, menggenggam tangannya erat dan mengelusnya perlahan.
Dengan suara lembut, ia berbisik, mencoba meyakinkan putrinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, harapan itu hancur seketika. Sebuah teriakan melengking dari luar rumah memecah ketenangan pagi.
Suara itu bukan sekadar panggilan ia terdengar seperti jeritan dari dalam jurang gelap yang memanggil bencana.
“Bu Rahmi!
"Bu Rahmi!”
"Bu Rahmi!
Suara Pakde Jarwo membelah pagi yang sunyi, begitu keras dan tergesa, seolah membawa kabar yang tak bisa ditunda. Nafasnya memburu, langkahnya cepat.
Bu Rahmi yang mendengar itu langsung berlari keluar, jantungnya berdetak kencang, firasat buruk menyergap. Di belakangnya, Casanova tertatih mengikuti, masih meraba-raba dengan tongkatnya, wajahnya tegang.
“Pakde, ada apa?” tanya Bu Rahmi terbata, nafasnya masih belum stabil.
Pakde Jarwo berdiri terpaku. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak dengan pandangan kosong, seperti baru saja melihat hal yang tak mampu diucapkan dengan kata.
“Di sungai…Di sungai...” jawabnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Di sungai ada apa Pakde? " tanya Bu Rahmi cemas.
“Saya menemukan seseorang... seperti jasad… jasad itu adalah Kayano Bu Rahmi…”ucapnya lagi dengan terbata.
"DUARRR!!!
Seolah dunia pecah dalam sekejap. Kata-kata itu menghantam Bu Rahmi seperti palu godam. Jantungnya tercekat, tubuhnya goyah. Hatinya bagai disambar petir dan halilintar.
“A..A...Apa? Pakde bilang apa baru saja?” jawabnya dengan suara gemetar, menggantung di udara yang mendadak terasa beku.
“Di tepi sungai… saya menemukannya… jasad Kayano ada ditepi sungai Bu” ucap Pakde Jarwo terhuyung, suaranya serak. Air matanya menetes, menegaskan luka yang baru saja ia buka.
Tubuh Bu Rahmi jatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram tanah, wajahnya mendongak ke langit seperti mencari jawaban. Nafasnya tersengal. Tangisnya pecah tanpa suara, hanya tubuhnya yang berguncang hebat.
Casanova berdiri kaku di dekatnya, meski ia tak bisa melihat, udara di sekitarnya telah berubah. Dingin. Berat. Menyesakkan. Ketakutan menjalari tubuhnya seperti racun yang menyebar cepat ke dalam dada.
“Kayano… di mana dia, Pakde? Apa benar itu Kayano?” tanya Casanova dengan suara bergetar. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang memanas di pelupuk.
Pakde Jarwo hanya bisa menunduk. Suaranya lirih, namun berat seperti batu yang menggelinding dari tebing.
“Iya, Casanova… betul nduk. itu adalah jasad Kayano adikmu. Pakde yakin itu Kayano…” ucapnya lagi.
Casanova merasa tubuhnya lemas, seolah semua tenaga tersedot habis dari dalam dirinya.
“Tidaaak…
"Tidaaak...
"Tidaaak... Ini tidak mungkin terjadi…” teriaknya histeris sambil meraba-raba sekitar, mencari sesuatu untuk berpegangan agar tak jatuh.
Bu Rahmi terduduk di tanah, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak terbendung. Lidahnya kelu, tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Kesedihan yang begitu dalam menggerogoti kekuatannya hingga ia tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya menggigil, meski pagi itu tidaklah dingin.
“Ya Allah… Kayano anakku… No...betulkah berita ini nak. No..Kayano anak ku....”teriaknya dengan terisak pilu, dengan suara tercekat di tenggorokan.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku