Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Bonceng Tiga
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Di ruang tengah rumah Satya, suasana terasa hangat meski langit di luar sudah mendung sejak sore tadi. Hujan belum turun, tapi angin mulai membawa aroma tanah basah yang khas.
Rakha duduk bersila di atas karpet, memandang layar laptop di atas meja. Di sampingnya buku tulis terbuka, memperlihatkan soal-soal yang baru terjawab sebagian.
"Emangnya, lo gak pusing setiap hari belajar terus Rak?" tanya Sekar dari atas sofa, dengan mata yang masih terpaku pada layar laptop. Ia sedang asyik menonton film romantis remaja yang baru saja tayang.
"Pusing sih... sedikit," jawab Rakha. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Sesekali melirik buku tulisnya yang dipenuhi dengan soal.
Sekar meregangkan tubuh, merebahkan kepala ke sandaran sofa. "Mending kita nonton movie aja. Gua ada movie baru."
"Nanti dulu deh," tolaknya secara halus. "masih ada tiga soal lagi yang belum gua dijawab."
Dari arah dapur, terdengar suara piring beradu pelan. Satya sedang membereskan bagian dapur, mencuci piring-piring yang belum sempat ia cuci sejak pagi hari, dan merapikan meja makan. Ia membuka kulkas, melihat isinya, lalu menutupnya kembali. "Kalian berdua... mau makan malem sama apa?"
"Terserah," jawab keduanya bersamaan.
Satya mendecak pelan, lalu menghampiri keduanya. "Gua kasih nasi sama garem aja kalo gitu," gurau Satya. Ia mendudukkan tubuhnya di atas sofa bersama Sekar.
Sekar memukul bantal sofa tepat ke punggung Satya. "Gua kasih bintang satu toko donat lo!"
Rakha melirik keduanya, kemudian berkata dengan ragu. "Kalo makan di luar... boleh gak, Bang?"
Sekar menoleh cepat, sedangkan Satya hanya mengangkat alis. Sesaat, mereka saling pandang. Tak ada yang keberatan. Lagi pula, mereka tak tahu harus memasak apa malam ini.
"Kalo gitu, gua ambil mobil dulu di toko," kata Satya.
Sekar menahan lengan Satya yang hendak beranjak. "Buat apa? Kan ada motor."
Satya mengusap rambut Sekar kasar. "Lo pikir gua bisa bawa kalian berdua sekaligus di atas motor?"
"Badan kita kan kecil Bang," balas Sekar.
Satya terdiam cukup lama. Kedua matanya menatap ke luar jendela. Sedikit mendung. Tapi belum ada tanda-tanda akan hujan saat ini. Sepertinya aman sampai mereka kembali. Kemudian tatapannya beralih, menatap Rakha yang baru saja menutup laptopnya.
"Lo gak masalah kalo harus naik motor bertiga Dek?"
Rakha sempat tertegun, tapi akhirnya mengangguk sekali. "Eumm... boleh aja sih."
Malam hari, pukul delapan tiga puluh. Gerimis turun perlahan, membasahi jalan. Di depan sebuah ruko yang sudah tutup, Satya dan kedua adiknya berdiri berdekatan. Rambut dan baju mereka sudah terkena tetesan air hujan.
"Kan udah gua bilang, kita ambil mobil dulu di toko," gerutu Satya dengan nada sedikit kesal.
Sekar yang memeluk kedua lengannya membalas. "Udah tanggung Bang, lagian mana gua tau bakalan hujan."
"Kalo besok ada yang sakit gara-gara kehujanan, gua gak mau ngurusin ya," ucap Satya tegas. Ia merapatkan jaket hitam yang dipakainya.
"Gua yakin lo yang bakal sakit," celetuk Sekar.
"Loh kenapa?" Rakha melirik Sekar dengan rasa penasaran.
"Lo gak tau ya, Rak?" Sekar bersandar ke dinding ruko, mencoba mencari posisi yang agak kering. "bang Satya tuh paling gak bisa kena air hujan. Dari dulu, tiap abis kehujanan dikit aja, pasti besoknya sakit."
"Diem lo," seru Satya jengkel. "terus sekarang kita pulangnya gimana? Hujannya belum reda."
Setelah ketiganya mengisi perut di salah satu warung makan sederhana pinggir jalan, hujan turun perlahan. Satya, mengajak kedua adiknya untuk berteduh sebentar, menunggu hujan berhenti.
"Tunggu hujannya reda aja," balas Sekar dengan santainya.
Tidak seperti Satya, justru sebaliknya, Sekar menyukai hujan. Jika saja mereka keluar di siang hari, Sekar pasti akan sengaja berdiri di bawah hujan. Membiarkan pakaiannya basah, rambutnya lepek, lalu tertawa gembira di bawah derasnya rintik hujan. Lalu, setelah tubuhnya dingin dan menggigil, ia akan kembali ke rumah, mengambil mie cup, lalu menikmatinya setelah mandi air hangat.
"Hahhh... apes banget sih!" keluh Satya. Tubuhnya menggigil kecil.
Rakha diam sesaat, kemudian memberi saran. "Naik taksi online aja gimana?"
Satya meliriknya, lalu menjawab dengan malas. "Terus lo mau ninggalin motor gua?"
"Ya kan bisa dititip dulu di sini," sahut Sekar. Masuk akal. Jika saja ruko yang mereka jadikan tempat berteduh sedang ramai. Jika Satya meninggalkan motornya saat ini, kemungkinan besar motornya tak akan kembali lagi padanya.
"Atau kita gas aja, hujannya gak begitu deras juga ko," lanjut Sekar lagi.
Satya berpikir sejenak, lalu bergumam pelan. "Iya sih..."
Pagi-pagi sekali, bahkan saat matahari belum tinggi, Sekar sudah sibuk di dapur rumah Satya. Membuat nasi goreng kecap ala kadarnya. Sejujurnya, dalam urusan memasak, buatan Satya lebih bisa diterima. Tapi untuk kali ini, Sekar berinisiatif untuk meringankan beban Satya.
Rakha, sudah siap dengan seragam sekolah lengkap. Duduk di atas meja makan dengan tenang sambil bermain ponsel, membaca pesan-pesan singkat yang dikirim di grup kelasnya.
Sekar sibuk mengaduk nasi di atas kompor. Setelah dirasa cukup, ia mematikan kompor, membaginya ke atas tiga piring dan menyusunnya di atas meja makan.
"Kalo rasanya gak enak sorry ya Rak! Gua gak jago masak soalnya," kata Sekar sambil mencuci peralatan bekas memasaknya di wastafel.
Rakha tersenyum kecil, memandang piring di depannya. Aroma nasi goreng kecap buatan Sekar tak seharum buatan Satya. Tapi masih terlihat enak untuk dinikmati. "Santai aja Kak, gua malah gak bisa masak."
Mencium aroma masakan dari dapur rumahnya, Satya, keluar dari dalam kamar memakai jaket biru tua. Hidung dan matanya sedikit memerah. Bukti bahwa dirinya benar-benar tak bisa terkena air hujan.
"Gak nyangka, lo anaknya rajin juga. gak sia-sia gua pelihara!" seru Satya sambil menarik salah satu kursi meja makan dan duduk di samping Rakha yang sedang menikmati sarapannya.
Sekar menggeleng pelan. ingin membalas, tapi juga lelah. Ia memutuskan untuk tetap diam mendengar komentar Satya barusan.
Ia meletakkan panci kecil berisi air di atas kompor, menyalakan apinya sedang. Tangannya mulai sibuk mengupas jahe, mengirisnya tipis-tipis lalu memasukkannya ke dalam air yang mulai panas. Aroma hangat mulai memenuhi dapur.
Di meja, Sekar menyiapkan gelas kaca bening. Ia menuangkan satu sendok madu ke dalam gelas. Lalu, mematikan kompor dan menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas. Ia mengaduknya perlahan, dan menyodorkannya ke depan Satya.
"Nih, gua udah siapin minuman jahe buat lo."
Satya melirik dengan senyum menyebalkan. "Thanks."
"Ternyata lo beneran gak bisa kena hujan ya Bang," celetuk Rakha dengan wajah polosnya.
"Pffftt... Abang lo emang lemah kalo soal air hujan," timpal Sekar. Ia sudah duduk di kursi yang sebelumnya kosong dan menyuap nasi goreng kecap buatannya sendiri.
"Berisik! Ini juga gara-gara lo ya Sekar!"
"Padahal main hujan-hujanan seru loh Bang," kata Sekar mengejek.
"Gak sudi gua," balas Satya ketus.
"Kak Sekar suka main hujan?" tanya Rakha. Ia meneguk susu putih dari gelasnya. Menyisakannya sedikit.
"Suka! Kalo hujan setiap hari—kayanya gua bakal main hujan setiap hari juga," jawab Sekar antusias dengan mata yang berbinar.
"Kapan-kapan, gua mau main hujan juga dong kak," pinta Rakha bersemangat.
"Emang lo gak pernah Rak?" tanya Sekar heran.
Rakha menggeleng. Bibirnya mengerucut lucu. "Gak pernah dibolehin sama Ayah. Katanya gak baik."
"Nanti kalo hujan, kita main hujan di depan," kata Sekar menjanjikan.
"Gak ada. Gak ada yang boleh main hujan," peringat Satya melirik kedua adiknya bergantian.
Sekar mendecak pelan, lalu menoleh pada Satya. "Sesekali gak bakal bikin kita sakit Bang. Iya kan, Rak?"
Rakha yang mendapat pertanyaan hanya mengangguk singkat. Lagi pula, ia belum pernah bermain hujan. Sepertinya jika hanya sekali tidak akan ada masalah pada tubuhnya.
"Lo gak boleh terima ajakan Sekar, dia tuh bandel. Gak bisa dibilangin," ucapnya menunjuk Sekar. Akan sangat merepotkan jika Rakha juga keras kepala seperti Sekar. Ia akan lebih senang jika Rakha menjadi adik yang penurut.
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉