“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Neng lega
“Memangnya kenapa, Neng?”
“Lagi sumpek.”
Zayn melihat ada guratan kekesalan di wajah Zara. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Dia juga ikut merasa sedih.
“Sumpek karena apa, Neng?”
“Karena Aa Gus. Dari tadi Aa Gus menggoda Neng terus. Tambah pusing, tahu!” kata Zara sambil mengerucutkan bibirnya.
Ups... Bukannya fokus dengan kemarahan Zara. Zayn malah terpana dengan gerak-gerik bibir Zara. Benar-benar menggoda.
Tanpa aba-aba, Zain langsung menyambarnya. Dia memberikan kecupan kecil di bibir Zara.
Zara tersentak, tak menyangka akan mendapatkan serangan tiba-tiba. Menyebabkan jantungnya berhenti berdetak seketika.
Sebelum Zara menyadari, dia memberikan ciuman lagi lebih dalam, membungkam bibir Zara dengan lembutnya.
Sesaat Dia dibuat terlena, sampai Zayn melepaskan dirinya.
“Aa Gus.” Dia pun menatap Zayn antara marah dan malu. Ia pun menyentuh bibirnya sendiri dengan rasa tak percaya .
Zara menutup wajahnya dengan perasaan antara malu, marah dan entahlah. Dia tak mampu melukiskannya. Bahkan Pipinya tampak bersemu merah.
"Maaf, Neng."
Zayn tersenyum kecil. Ia segera memasang sabuk pengamannya.
Sepertinya Zara perlu suasana lain. Agar bisa kembali lebih fresh menghadapi masalah yang mungkin sebagian orang ringan, tapi tidak baginya.
Meskipun saat ini dirinya sedang sibuk, tapi tak ada salahnya kalau dia meluangkan sedikit waktunya untuk Zara. Siapa tahu akan membantu mengurangi beban yang mendera Zara saat ini.
“Kita Jalan-jalan, yuk. Neng mau ke mana?” tanyanya sambil menghidupkan mesin mobil.
“Neng terserah Aa Gus saja,” jawabnya dengan malu-malu.
Emm... Zain tampak berpikir. Dia menyusuri jalanan kota dengan konsentrasi penuh dan tenang.
Meskipun kecupan kecil yang dia berikan, cukup memberikan sedikit ketenangan. Tapi belum bisa membuat kesedihan Zara hilang begitu saja. Guratan kesedihan masih tampak pada raut wajahnya.
“Neng capek, tidurlah.”
"Entahlah."
Zara pun merebahkan kepalanya di sandaran mobil, sambil melepaskan hembusan nafas yang menyebabkan dadanya terasa sesak.
“Aa Gus. Kenapa Umik memberikan persyaratan yang sulit untuk Zara lakukan?”
Zayn diam, mendengarkan. Dia tak mau cepat-cepat menjawab. Ia ingin Zara mengungkapkan semua yang dirasakannya saat ini.
“Mau kumpul saja, harus menyelesaikan hafalan. Itu sulit. Tapi Zara akan berusaha. Karena Zara yakin dan percaya pada Aa Gus.
Umik juga melarang ku bermain tenis. Aku pun berjanji untuk memenuhinya. Karena aku pandang ada baiknya juga. Dengan begitu aku bisa lebih bisa berbakti pada Aa Gus.
Tapi sayang Aa Gus. Ternyata untuk mengajukan resign itu sulit. Apalagi masa kontrak Zara belum habis.
Aa Gus tentu tahu, bagaimana konsekuensinya kalau menghentikan perjanjian itu secara sepihak.
Bukan maksud Zara untuk mengabaikan kemauan Umi, tapi sepertinya sulit untuk Zara penuhi.
Ada satu cara agar Zara bisa resign segera. Tapi sepertinya itu juga sulit?”
“Apa itu?”
“Hamil.”
Kalau bukan karena sedang mengemudikan sebuah mobil, mungkin Zen akan memberikan kecupan yang sangat manis pada Zara. Agar ia bisa melepas kerinduannya sampai benar-benar menghilang.
Dirinya benar-benar terprovokasi dengan kata verbal itu yang diucapkan oleh Zara. Sehingga membuat dirinya berangan-angan yang bukan-bukan.
Sabar...sabar. Belum waktunya melepas hasrat keindahan. Sebagaimana yang selama ini senantiasa dia impikan.
“Lalu menurut pandangan Neng?”
“Bagaimana akan hamil berkumpul pun nggak boleh.”
Ehemm...tawa Zayn hampir meledak. Dia melirik Zara yang sedang tertunduk lesu.
Zayn mencoba untuk selalu tenang, agar hasrat yang tersimpan selama ini, bisa dia kendalikan dengan baik.
Bagaimanapun Ini adalah sebuah cobaan yang berat baginya. Siapa sih yang tak ingin menyentuh seorang wanita yang sudah halal menjadi miliknya. Dia lelaki normal.
“Jadi, Neng menuntut Aa untuk melakukan sesuatu yang Umi larang, sekarang?”
“Tidak-tidak. Neng belum hafal dan juga belum siap,” Zara memberikan tanda penolakan dengan kedua tangannya pada Zayn.
“Syukurlah kalau begitu. Kalau ya, Akan Aa pastikan tubuh Neng akan habis oleh Aa.”
“Aa Gus mesum," kata Zara kesal.
Hehehe...Zayn ingin sekali memberikan satu kecupan pada bibir Zara yang tak berhenti, memprovokasi dirinya.
Bisa-bisa dirinya akan pusing. Bukan karena suatu masalah seperti yang dihadapi oleh Zara. Tetapi karena menahan hasrat yang meletup-letup karena kata-kata Zara.
Apa yang bisa ia lakukan untuk meredakan tensi kemarahan Zara pada situasi yang tidak ia inginkan. Selain membuatnya tetap percaya dan juga bahagia tanpa harus melanggar kesepakatan dengan Umi Shofia.
“Sebenarnya Umi memberikan syarat itu kepada Aa, karena Umi terobsesi sekali dengan cerita kelahiran Fatimah Az Zahra, putri Rasulullah.”
“Maksudnya gimana, Aa Gus?” tanya Zara penasaran.
“Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa sebelum bunda Khadijah mengandung Fatimah az-zahra. Selama 40 bunda Khadijah dan nabi menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hingga pada suatu hari Nabi bermimpi dia diberi oleh malaikat jibril sebuah buahan yang lebih besar daripada delima dan lebih kecil daripada apel. Rasanya lebih manis daripada madu dan bentuknya lebih lembut daripada keju. Rasulullah pun memakannya.
Setelah bangun dia melakukan hubungan dengan istrinya, Khadijah. Dan hadirlah Fatimah az-zahra.”
Zara terpana mendengarkan cerita Zayn. Tak sangka ada alasan tertentu yang melatarbelakangi Umi Shofia menyuruh dirinya untuk menghafal Alquran.
Dia mengangguk-ngangguk, Dia setuju dengan pandangan Umi Shofia.
“Begitulah ceritanya. Sekarang Neng paham, kenapa Umi sangat sangat membatasi kebebasan kita.”
Entah benar atau salah, apa yang diceritakannya kepada Zara, tapi setidaknya cerita tersebut bisa membuat Zara tidak keberatan melaksanakan perintah Umi Shofia.
Zara mengangguk-ngangguk.
“Wah, ternyata Umi baik dan idealis sekali. Dia menginginkan kita mengikuti cara Rasulullah untuk mendapatkan keturunan yang baik dan mulia,”
“Tapi sayang, Neng bukan Khodijah. Bisanya menggerutu saja,” kata Zayn dengan nada mengejek.
“Dan Aa Gus, bukan Rasulullah. Bisanya mengeluh saja, meski tak diungkapkan,” kata Zara tak mau kalah.
“Jadi sangat berat. Hahaha...”
Mereka pun tertawa bersama.
“Ditambah pula harus latihan banyak setiap hari. Tambah berat.”
“Kalau masalah tenis, jangan terlalu dipikirkan. Kalau mau berhenti, berhenti saja. Tak usah menunggu hamil. Itu kalau Neng merasa berat.
Masalah lainnya tidak usah dipikirkan. Biarkan menjadi urusan Aa.
Tapi kalau kamu Neng tidak merasa berat, tidak apa-apa Neng lanjutkan saja sesuai dengan kontrak.”
“hmm...makasih Aa Gus. Sekarang hati Neng merasa lega.”
Zara sangat bahagia. Dia pun spontan memberikan sebuah kecupan kecil di pipi Zayn sebagai tanda terima kasih.
“Muachh... Terima kasih, Aa Gus.”
“Masyaallah... “Hampir saja Zayn melepas kemudinya. Dia sangat kaget dengan kejutan dari Zara.
“Neng...Neng...baru juga diingatkan. Sudah main cium-cium sembarangan.”
Kalau dibeginikan lagi, dia bisa-bisa lepas kendali, nih.
“Maaf Aa Gus. Neng terlalu bahagia.”
“Sekarang duduk tenang ya. Biarkan Aa mengemudi.”
“Ok.”
Zara pun kembali ke tempat duduknya semula.
“Kita mau ke mana, Aa Gus?” tanya Zara ketika melihat mereka tak lagi berada di jalan perkotaan melainkan jalan yang diapit oleh tumbuhan pohon pinus dan juga daun pandan liar.
“Ke pantai.”