ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: Rencana Bulan Madu
Saat Elina keluar dari kamar mandi, udara dingin menyambut kulitnya yang masih terasa lembap. Rambutnya yang panjang dibiarkan setengah basah, jatuh di bahu dalam lekuk-lekuk alami. Ia mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel yang dipilihkan oleh salah satu pelayan. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok Adrian. Tapi kamar itu kosong.
Hanya ada sunyi dan sisa aroma sabun dari kamar mandi. Elina menghela napas perlahan, lalu tersenyum kecil. Mungkin Adrian sudah turun lebih dulu.
Setelah merapikan sedikit tempat tidur dan menyisir rambutnya sekilas di depan cermin, ia melangkah keluar kamar, lalu mengetuk perlahan pintu kamar Claire sebelum membukanya. Cahaya pagi mengendap lembut di sela-sela tirai, memandikan ruangan itu dalam kehangatan.
Di atas ranjang, tubuh mungil Claire masih tergulung di balik selimut, hanya rambut ikalnya yang tampak mengintip dari sisi bantal. Elina mendekat perlahan, duduk di sisi ranjang, dan menunduk sambil membelai rambut gadis kecil itu.
"Claire... sudah pagi, Sayang," bisiknya lembut.
Gadis kecil itu menggeliat, lalu menyembunyikan wajahnya ke bantal. "Masih ngantuk..."
Elina tertawa kecil, mencium pelipis Claire. "Kalau kamu bangun sekarang, aku yang mandiin, bukan pelayan. Bagaimana? Mau?"
Mata Claire terbuka sedikit, lalu membulat. "Mama yang mandiin?" gumamnya masih setengah mengantuk.
"Iya, mama Elina. Tapi cuma kalau kamu bangun sekarang," jawab Elina setengah main-main.
Claire duduk pelan, masih dengan mata sayu. "Tapi aku masih ngantuk... kalau digendong, mau deh..."
Elina terkekeh. "Baiklah, Nona manja." Ia mengulurkan tangan dan mengangkat tubuh kecil itu dengan hati-hati. Claire langsung menyandarkan kepalanya di bahu Elina, menggeliat manja, tangan mungilnya melingkar di leher Elina.
Begitu tiba di kamar mandi, Claire berseru pelan, "Aku suka dimandiin mama...!"
"Ini pertama kalinya aku mandiin anak kecil," gumam Elina, sedikit gugup.
"Benarkah? Hore... jadi aku yang pertama!" ujar Claire polos.
Perlahan, Elina melepas pakaian tidur Claire dan mulai memandikannya. Tawa-tawa kecil Claire memenuhi ruangan saat Elina menyiram air hangat ke punggungnya dan membantu menyabuni lengannya. Sesekali Elina tertawa geli sendiri ketika Claire bermain dengan busa sabun, membentuk jenggot di dagunya dan berkata dengan suara berat, "Aku Adrian!"
Meski gugup di awal, Elina mulai menikmati momen itu. Ada rasa yang sulit dijelaskan, kelembutan yang mengalir dari gerakannya, dan rasa hangat yang memenuhi dadanya saat Claire tertawa, menyebutnya "Mama" dengan begitu alami.
Dan di tengah riuh tawa dan cipratan air, Elina merasa... ia benar-benar sedang menjadi seorang ibu.
...****************...
Setelah selesai memandikan Claire dan membalut tubuh mungil itu dengan handuk lembut, Elina membantunya mengenakan gaun kecil berwarna krem dengan pita di bagian belakang. Rambut ikalnya disisir rapi dan dikuncir dua, membuat Claire tampak seperti boneka porselen hidup.
"Mama Elina cantik..." gumam Claire sambil menatap Elina yang sedang merapikan kancing bajunya sendiri.
Elina tersenyum, lalu meraih Claire dan menggendongnya seperti tadi, erat dan penuh kasih. "Kamu lebih cantik. Tapi kita berdua harus cepat turun sebelum perut kita bunyi keras-keras di depan semua orang," katanya sambil mengecup ujung hidung Claire.
Gadis kecil itu terkikik dan melingkarkan tangannya di leher Elina. Ia menempel manja, kepalanya bersandar di bahu Elina seolah tak ingin dilepas sedikit pun.
Saat mereka menuruni tangga menuju ruang makan, beberapa pelayan rumah memperhatikan mereka dengan senyum terkejut yang tidak bisa disembunyikan. Pemandangan itu begitu langka, Tuan Muda Adrian mungkin pernah membawa wanita pulang ke rumah ini, tapi tak satupun pernah membawa serta Claire dalam pelukan seperti itu.
Bahkan Elizabeth Leonhart yang duduk anggun di ujung meja makan pun sempat menghentikan gerakan sendoknya. Pandangannya tertuju lurus pada Elina yang membawa cucunya dalam gendongan dengan begitu tenang, begitu lembut. Claire menempel erat di dada Elina, seolah itu tempat paling aman di dunia.
"Elina…" panggil Adrian lembut, yang sudah lebih dulu duduk di meja makan.
Elina tersenyum canggung. "Maaf, kami agak lama. Claire masih mengantuk."
"Nona Claire bisa duduk sendiri?" tanya salah satu pelayan sambil menarik kursi anak.
Namun Claire menggeleng, memeluk Elina lebih erat. "Mau di pangku Mama aja..."
Elizabeth mendengus pelan, tapi tidak berkata apa-apa.
Elina menarik kursinya dan duduk perlahan dengan Claire di pangkuan, lalu membantu anak itu memegang sendok kecilnya. Adrian yang duduk di samping mereka sesekali mencuri pandang, melihat bagaimana Elina menyuapi Claire dengan sabar, memotong roti kecil-kecil, menuangkan susu hangat ke cangkir mungil, dan membersihkan remah di pipi Claire dengan tisu sambil tersenyum lembut.
Satu-satunya suara yang mengisi ruang makan adalah denting alat makan dan celoteh kecil Claire yang sesekali bercerita tentang mimpinya semalam, tentang boneka yang bisa bicara dan bermain bola dengan peri.
Elizabeth Leonhart diam. Tatapannya tajam seperti biasa, tapi ada sesuatu yang meredup dalam sorot matanya. Entah sejak kapan, ia mulai memperhatikan bukan hanya bagaimana Elina bersikap pada Claire, tapi juga bagaimana anak itu meresponsnya, begitu alami, begitu lekat.
Tidak ada yang dibuat-buat dari hubungan mereka.
Dan untuk pertama kalinya, Elizabeth merasa... mungkin ia tidak harus terlalu khawatir.
...****************...
Setelah sarapan, ketika para pelayan mulai membereskan meja makan yang penuh piring dan gelas porselen, Elina secara refleks ikut berdiri dan mulai membantu mengangkat beberapa peralatan makan.
Salah satu pelayan, seorang wanita paruh baya bernama Martha, buru-buru menghentikannya. "Nyonya muda, biar kami saja yang mengurus. Anda tidak perlu melakukan ini."
Elina tersenyum canggung namun bersikeras. "Aku tidak ingin hanya duduk diam. Lagi pula, ini hanya piring, aku terbiasa melakukan ini setiap hari sebelumnya."
Martha menatapnya ragu, namun tetap menghormati sikap rendah hati itu. "Tetap saja, Anda sekarang bagian dari keluarga Leonhart..."
Namun sebelum perdebatan kecil itu makin memanjang, suara Elizabeth terdengar dari ujung meja.
"Elina," ucap wanita tua itu dengan nada tenang tapi berwibawa, "di rumah ini, kami memiliki aturan yang jelas. Setiap orang memiliki perannya masing-masing. Biarkan mereka bekerja sebagaimana mestinya. Jangan ciptakan kebiasaan baru yang membuat pelayanku bingung."
Elina diam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Baik, Nyonya."
Dengan begitu, ia pun mengalah dan meletakkan kembali piring yang sempat ia pegang, lalu mengikuti rombongan menuju ruang keluarga. Cahaya matahari menembus kaca besar, menciptakan pantulan hangat di permukaan lantai marmer dan sofa berlapis kain beludru lembut.
Elizabeth duduk dengan tegak, memandangi Elina dan Adrian yang kini berada di hadapannya. Suasana tampak santai, namun begitu sang nenek membuka suara, pembicaraan menjadi serius.
"Karena pernikahan kalian sudah resmi, sudah saatnya membicarakan bulan madu."
Adrian langsung mengangkat wajahnya. "Itu tidak perlu, Nenek. Aku punya banyak pekerjaan menunggu. Aku tak bisa meninggalkan kantor begitu saja."
Elizabeth mendengus tak setuju. "Pekerjaan bisa diurus oleh wakilmu. Kau punya tim kepercayaan, bukan? Gunakan mereka."
Elina tampak sedikit gelisah, memandang Adrian yang berusaha tetap tenang meski jelas tidak setuju. Akhirnya, Adrian menghela napas pelan, mengalah.
"Baiklah," ujarnya singkat.
Elizabeth mengangkat alis, lalu menyerahkan dua amplop putih kepada mereka. "Tiket pesawat dan detail penginapan sudah kuatur. Kalian akan berangkat lusa. Lokasinya tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Waktu yang sempurna untuk... saling mengenal lebih dalam."
Elina menerima amplop itu dengan gugup. Ia menatapnya sesaat sebelum berkata, "Tapi... bagaimana dengan Claire? Kami tak mungkin meninggalkannya begitu saja."
Elizabeth menatapnya dalam, kemudian dengan suara datar namun menusuk, berkata, "Jika Claire ikut, kalian tak akan bisa menikmati waktu berdua. Kalian sudah menikah. Sekarang giliran kalian bekerja keras... untuk memberiku cucu yang kedua."
Suasana hening seketika. Elina nyaris tersedak udara.
Pipinya memerah seketika. Adrian memutar wajah, menahan tawa yang hampir lolos. Elina memandang Elizabeth, tak tahu harus tertawa atau bingung.
"Nenek..." gumam Adrian, hampir geli.
"Apa? Aku hanya mengatakan hal yang sewajarnya." Elizabeth bersandar di kursinya dengan puas. "Anak-anak tak akan datang hanya karena kalian saling pandang, bukan?"
Elina terdiam, matanya menunduk, sementara hatinya berdegup kencang. Pernikahan ini seharusnya pura-pura. Tapi sejak kapan semuanya mulai terasa terlalu nyata?