NovelToon NovelToon
Istri Bar-bar Ustad Tampan

Istri Bar-bar Ustad Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Aku ingin kebebasan.

Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.

“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”

Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.

“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 4

Ustadz Hafidz Hisyam duduk bersandar di kursi kayu tua di beranda belakang pesantren. Angin sore meniup lembut jubah putihnya, membawa aroma tanah dan daun dari kebun kecil di samping pondok.

Di sampingnya, Damar duduk tenang, kedua tangannya bertaut di pangkuan, mata menatap lurus ke halaman.

Hafiz berbicara perlahan, suara khasnya tenang namun menggetarkan.

“Damar...”

Ia menyebut nama putranya tanpa gelar, menandakan ini bukan percakapan antara pengasuh dan ustadz muda, tapi antara seorang ayah dan anak lelaki yang dipercaya membawa nama keluarga.

“Menikahi seseorang bukan hanya tentang kecocokan, tapi tentang keteguhanmu menerima seseorang di fase yang mungkin belum indah.”

Damar mengangguk pelan.

“Abi tahu, dari luar, dia terlihat jauh dari dunia yang kita bangun di sini. Tapi kamu juga tahu, setiap manusia punya latar. Kadang luka membentuk tameng, dan keras kepala bukan tanda sombong tapi tanda seseorang pernah sangat kecewa.”

Abi menatap langit, kemudian menoleh lembut ke arah Damar.

“Kalau kamu hanya menikah untuk menyelamatkan namanya, maka itu bukan niat yang benar. Tapi kalau kamu ingin mendampinginya karena kamu percaya dia bisa diselamatkan oleh cinta dan bimbingan maka kamu harus siap, bukan hanya dengan cinta, tapi dengan kesabaran.”

Lalu ustadz menambahkan lembut namun tegas, “Shalat istikharah dulu, Nak. Minta petunjuk Allah. Jangan hanya andalkan logika, dan jangan hanya terpancing belas kasihan.”

Damar menghela napas, lalu menatap Abi dengan sorot mata yang jernih.

“Aku sudah shalat istikharah, Bi...” katanya tenang.

Ustadz Hafidz Hisyam menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

“Dan?”

Damar tersenyum, ringan tapi mantap.

“Hati ini tenang, Bi. Tak ada mimpi, tak ada petunjuk besar tapi saat aku membayangkan dia, aku tidak takut. Aku justru merasa ingin jadi pelindung, bukan penilai. Aku merasa dia adalah ujian sekaligus ladang amal.”

Abi memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum pelan.

“Kalau hatimu sudah yakin, maka tugasmu bukan memaksanya menerima, tapi menujukkan bahwa kehadiranmu bukan penjara, tapi pelabuhan.”

Beberapa hari kemudian...

Halaman rumah keluarga Ustadz Damar – Sore hari yang tegang

Ustadz Damar baru saja menyelesaikan kajian kecil bersama para santri di serambi rumahnya ketika suara motor sport meraung dari kejauhan.

Semua kepala menoleh. Asap tipis mengepul saat Nerwaran Hitam itu berhenti di halaman berubin. Di atasnya, berdiri seorang perempuan dengan rambut merah menyala yang langsung mencolok dari balik helm fullface-nya.

Kia Evaline Kazehaya. Damar membeku sejenak. Ibu Damar yang sedang membawa nampan teh ikut terpaku.

Beberapa tetangga yang kebetulan singgah menatap tak percaya calon menantu keluarga ustadz datang seperti penantang perang.

Kia menurunkan helmnya perlahan. Matanya langsung mengunci mata Damar.

“Ustadz,” sapanya dingin. “Kita perlu bicara. Sekarang.”

Damar menelan ludah, lalu memberi isyarat sopan pada para tamu dan santri. Beberapa wajah penasaran enggan beranjak, tapi akhirnya mundur karena sorot mata Kia yang tajam seperti pedang.

Mereka berdiri berdua di halaman. Ketegangan menggantung seperti awan badai.

"Apa kamu tahu," Kia memulai tanpa basa-basi, "berapa banyak orang yang menghinaku hari ini atas nama ‘calon istri ustadz dari Kairo’? Apa kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku dijodohkan tanpa persetujuan, dipaksa masuk dunia yang bukan milikku, dan dijadikan topik gunjingan hanya karena rambut dan keberanianku?”

Damar mencoba angkat bicara, tenang seperti biasa. “Kia, aku—”

“Jangan panggil aku Kia seperti kita dekat,” potong Kia tajam. “Kita bahkan belum pernah saling bicara secara pribadi sebelum namaku dicantumkan di proposal lamaran itu. Apa kau menganggap diamku artinya setuju?”

Damar terdiam wajahnya tetap tenang, tapi ada kegelisahan jelas di matanya.

“Aku tidak butuh ceramah soal jodoh sudah ditakdirkan,” lanjut Kia, nadanya meninggi. “Karena ini bukan tentang takdir. Ini tentang pilihan yang dibuat oleh orang-orang di atas kita. Kakekku, mami, dan keluargamu memutuskan tanpa pernah bertanya apakah aku ingin ini.”

Ibu Damar, Nyai Kalsum akhirnya keluar, cemas. “Ananda Kia, tolong jaga adab—”

“Maaf, Bu. Tapi saya datang bukan untuk basa-basi. Saya sudah cukup menjaga adab sementara hidup saya diatur tanpa suara.”

Hening. Hanya angin sore yang meniup daun-daun kering di pekarangan.

Kia menatap Damar lurus-lurus. “Aku tidak membencimu, Ustadz. Tapi aku benci dijadikan ‘hadiah’ bagi seseorang hanya karena kamu cocok secara agama. Aku bukan boneka yang bisa diberi label ‘istri salehah’ karena suamiku seorang ustadz.”

“Jadi kalau kau mau menikahiku pastikan bukan karena keluargamu setuju. Tapi karena kamu mampu menerima seluruh diriku bar-bar, keras kepala, rambut merah, dan trauma masa laluku. Karena kalau tidak…”

Ia menarik napas panjang. “lebih baik aku pergi dan kita akhiri sekarang.”

Damar tampak terpukul, tapi kali ini ia benar-benar diam. Kia tak menunggu jawaban. Ia menoleh sebentar, memasang helm, lalu kembali menyalakan motornya. Kali ini, bukan karena marah tapi karena butuh bebas.

Ruang Tamu Keluarga Ustadz Damar Beberapa menit setelah Kia pergi

Suasana di dalam rumah berubah mencekam. Umi Salma, ibu Damar, meletakkan nampan teh dengan kasar di meja rotan. Darwis, kakak Damar yang dikenal konservatif, berdiri dengan wajah merah padam.

Di sampingnya, Azzahra adik Damar yang juga santri di Al-Firdaus terus menggigit bibir, kesal dan malu.

“Abi!” seru Darwis lantang, menatap sang ayah, Kyai Hafizh, yang duduk dengan wajah tenang tapi keningnya berkerut dalam.

“Abi dengar sendiri tadi ‘kan? Perempuan itu datang seperti preman motor! Tidak ada sopan santun! Di depan para tamu! Di depan pesantren!”

Azzahra menambahkan, nada suaranya lebih getir. “Dan sekarang kami aku, Kak Darwis jadi bahan omongan di pondok. ‘Adiknya calon istri ustadz bar-bar itu’. Apa abi rela kami dihina begitu?”

Umi Salma menengok tajam pada suaminya. “Kita ini keluarga pesantren, Hafizh. Nama baik harus dijaga. Apa tidak lebih baik kita batalkan saja rencana perjodohan itu?”

Kyai Hafizh tetap diam beberapa saat, seperti menimbang, lalu menatap Damar yang sejak tadi membisu.

“Damar,” suaranya dalam, tenang. “Apa kamu masih berniat melanjutkan perjodohan ini setelah semua yang terjadi?”

Semua mata kini tertuju pada Damar.

Lelaki muda itu berdiri perlahan. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, tapi lebih pada perenungan yang dalam. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara.

“Aku... tidak minta dijodohkan dengan Kia,” katanya jujur. “Tapi sejak nama itu disebut, aku mempelajarinya. Aku mencari tahu siapa dia. Dan yang kulihat bukan hanya rambut merah dan sikap keras.”

Darwis tertawa miring. “Yang kau lihat itu pemberontak, bukan istri.”

Damar menatap kakaknya, tenang tapi tajam.

“Yang kulihat justru seseorang yang berani. Yang hidup dengan jujur, bahkan ketika semua orang menyuruhnya pura-pura. Yang menolak dijadikan simbol istri ustadz hanya untuk menyenangkan orang lain. Dan bagiku itu bukan pemberontakan. Itu ketulusan.”

Azzahra menggeleng cepat. “Tapi cara dia bicara ke kita di depan semua orang itu tidak sopan, Damar!”

“Karena selama ini,” ucap Damar pelan, “tak ada yang pernah benar-benar mendengarnya.”

Umi Kalsum menghela napas keras. “Lalu apa maksudmu, Damar? Kau ingin tetap menikahi dia?”

Damar menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan penuh keyakinan.

“Kalau Kia masih mau aku ingin bicara baik-baik dengannya. Bukan sebagai calon yang dijodohkan. Tapi sebagai laki-laki yang ingin mengenal dia utuh, tanpa topeng. Karena aku tahu, mencintai seseorang bukan berarti mengubahnya jadi versi yang kita suka. Tapi menerima keberaniannya sebagai bagian dari jiwanya.”

Hening. Kyai Hafizh akhirnya bersandar, menatap putranya dengan pandangan baru campuran rasa hormat dan peringatan.

“Kalau kau memang yakin, Damar maka kejar dia. Tapi bersiaplah. Menikahi perempuan seperti Kia bukan hanya tentang restu. Tapi tentang keberanian.”

Damar mengangguk pelan. Matanya mengarah ke pintu. Dan tanpa berkata lagi, ia melangkah keluar. Senja mulai turun dan pertarungan yang sesungguhnya baru akan dimulai.

Suara motor Nerwaran Hitam meraung rendah, seirama dengan desiran amarah di dalam dada Kia Evaline Kazehaya. Udara sore yang harusnya sejuk, kini terasa seperti menggores kulitnya.

Suara-suara sindiran dari balik sorban, jilbab, dan senyum sok suci tadi masih menggema di telinganya.

"Calon istri ustadz kok kayak preman jalanan."

"Bar-bar! Rambut merah! Mana pantas jadi istri lulusan Kairo."

Tawa ejekan itu menusuk, bukan karena dia peduli pada penilaian mereka tapi karena mereka bahkan tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

“Menjijikkan. Dunia yang katanya agamis ini ternyata masih hobi menghakimi.”

Giginya mengatup tangannya mengepal erat di setang motor.

“Mereka pikir aku ini apa? Piala? Trofi? Perempuan manutan yang bisa dicocok hidungnya demi reputasi keluarga Kazehaya? Demi citra ustadz muda kesayangan mereka?”

Dadanya bergetar hebat, bukan karena takut tapi karena ditahan. Emosi Kia adalah badai yang terbungkus disiplin. Tapi hari ini, badai itu retak.

Di Rumah Keluarga Narendra, siang hari sepulang dari ponpes Al Firdaus

Di ruang kerja bernuansa elegan dengan sentuhan kayu jati dan lukisan silsilah keluarga, Mami Silvia duduk di balik meja dengan map dokumen terbuka. Ketika pintu diketuk, Kia muncul dengan hoodie hitam, celana sobek, dan ekspresi dingin.

Mami mengangkat alis. “Ada apa?”

Kia menyandarkan diri di pintu, menyilangkan tangan.

“Aku mau ketemu dia. Ustadz itu. Damar Faiz Alfarez sore ini.”

Nada suaranya datar, tapi tajam.

Mami Silvia sempat terdiam, tak menyangka Kia yang biasanya melawan kini malah menawarkan pertemuan.

“Kamu serius?” tanyanya curiga.

Kia menahan senyum sinis. “Sangat, tapi bukan buat taaruf, Mi. Anggap saja wawancara satu arah.”

Tanpa menunggu jawaban, Kia pergi. Dalam hati, ia sudah menyiapkan skenario agar pertemuan itu jadi akhir dari drama ini. Ia akan buat Damar ilfeel, jauh sebelum mereka bicara soal masa depan.

Di Pesantren Al-Firdaus, Sore Menjelang

Damar mengenakan gamis putih bersih dan sorban sederhana. Sambil menenteng tas kulit kecil, ia pamit pada Ummi Kalsum yang tengah menyiram tanaman di halaman belakang.

"Ummi, Damar pamit ya. In syaa Allah akan ketemu dengan Kia sore ini."

Bu Kalsum menatap putranya dengan cemas. “Kamu yakin? Ummi masih belum sreg dengan calon yang begitulah.”

Damar tersenyum lembut, lalu mencium tangan ibunya. “Doakan saja, Ummi. Aku tidak membawa harapan yang tinggi, hanya membawa hati yang ingin mengenal.”

Nyai Kalsum menghela napas pelan. “Kalau dia bukan jodohmu, jangan kamu paksakan. Tapi kalau dia bagian dari ujian yang Allah percayakan padamu sabar dan lembutlah.”

Damar mengangguk. “Bismillah.”

Ruang tengah rumah keluarga besar, Nyai Kalsum duduk bersandar dengan tenang, tapi wajahnya menunjukkan duka yang belum selesai.

1
Purnama Pasedu
ustadz bisa ae
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pintar gombal yah 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
iya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
tapi kadang tempat kerja ngelarang pakai hijab ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: iya kakak tergantung dari peraturan perusahaan
total 1 replies
Purnama Pasedu
bisa ae pak ustadz
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pak ustadz gaul 😂
total 1 replies
Purnama Pasedu
masih galau ya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
aamiin
Purnama Pasedu
pasangan yg kocak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia terlalu keras ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ujian sang ustadz tapi nanti dapat hidayah kok 🤣🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
si kakek
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ulah kakeknya akhirnya gol 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia jadi diri sendiri aj,perlahan aj
Eva Karmita
semangat otor 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak
total 1 replies
Eva Karmita
semangat ustadz... yakinlah Allah selalu ada untuk umatnya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
nyimak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semoga suka
total 1 replies
Purnama Pasedu
koq sedih ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: jangan sedih kak 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Thor bisa ngk bahasa kia kalau ngomong sama yg lebih tua sopan sedikit jgn pakai bahasa Lo gue , maaf sebelumnya bukan mengkritik otor cuma gak ngk enak aja di baca bahasanya bisa diganti aku atau apalah ... sebelum mohon maaf ya ,, ceritanya bagus tetapi semangat Otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum saatnya kak kan gadis bar-bar tomboy liar dan pembangkang 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
keren pak ustadz 😍😍😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ustadz idaman yah kakak 🤭
total 1 replies
Eva Karmita
langsung kena mental si Kia 😩👻🙈
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak... karena aku di tetangga juga nulis di sana ☺️🥰
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!