Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21•
...Jalangkung Kembali Lagi...
Hujan lebat di luar memukul-mukul atap seng rumah nenek, menciptakan simfoni seram yang menemani kegelisahan kami. Malam itu, di ruang tamu yang temaram hanya diterangi cahaya lilin dan senter ponsel, aku dan tiga sahabatku — Arya, Bunga, dan Dimas — duduk melingkar di lantai dingin. Aroma dupa melayang tipis, bercampur dengan bau tanah basah yang menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka. Di tengah lingkaran kami, berdiri sebuah boneka kayu lusuh, matanya terbuat dari kancing hitam yang entah mengapa terlihat seperti menatap kami satu per satu. Itulah Jalangkung kami.
“Seriusan ini aman, Ris?” Arya, yang biasanya paling berani, kali ini terlihat pucat. Jemarinya terus mengusap-usap gelang tasbih di pergelangan tangannya.
Aku tertawa renyah, berusaha menutupi degupan jantungku sendiri. “Tenang saja, ini kan cuma main-main. Nenek bilang ini boneka biasa, cuma pajangan di gudang.”
Padahal, jauh di lubuk hatiku, aku tahu ini bukan sekadar main-main. Seminggu yang lalu, saat sedang membersihkan gudang belakang rumah nenek yang sudah puluhan tahun tak tersentuh, aku menemukan boneka ini teronggok di sudut, tertutup kain putih yang sudah menguning. Bentuknya yang aneh dengan sebatang kayu sebagai tubuh dan kepala batok kelapa membuatku penasaran. Nenek hanya mengatakan, "Itu boneka lama, jangan disentuh." Tapi aku, si keras kepala, justru terdorong untuk mencari tahu. Dari internet, aku tahu itu adalah jalangkung, sebuah medium pemanggil arwah. Dan ide gila untuk mencobanya bersama teman-teman pun muncul.
Bunga yang penakut, tapi selalu penasaran, menggenggam erat lengan Dimas. “Tapi, kok, rasanya aneh, ya? Dingin banget.”
“Itu karena AC mati, Bunga,” Dimas menimpali, mencoba melucu, tapi suaranya sendiri terdengar sedikit serak. Ia mengeluarkan sebatang rokok, namun segera kuurungkan. “Jangan merokok dekat sini, Mas. Nenek melarang.”
Akhirnya, dengan segala keraguan dan rasa penasaran yang memuncak, ritual pun dimulai. Kami membaca mantra-mantra yang kutemukan di internet, dengan suara berbisik yang tercekat. Lilin di tengah lingkaran menari-nari ditiup angin yang entah datang dari mana. Mataku tak lepas dari boneka jalangkung itu.
Tiba-tiba, ujung kayu yang menjadi tangan boneka itu bergerak perlahan, seolah menulis di atas kertas kosong yang kami letakkan di depannya. Jantungku serasa jatuh ke perut. Arya menjerit tertahan, Bunga memekik pelan, dan Dimas hanya bisa menatap nanar. Kami berempat saling pandang, mata kami dipenuhi kengerian yang sama.
“A-apa itu?” Arya tergagap.
Aku berusaha menguasai diri, meski tangan mulai gemetar. “Tanya, siapa namamu?”
Perlahan, ujung kayu itu kembali bergerak. Kali ini lebih jelas, membentuk huruf demi huruf: "S-I-T-I".
Siti? Nama yang begitu… biasa. Tidak menyeramkan sama sekali. Namun, fakta bahwa sebuah boneka bergerak dan menulis sendiri jauh dari kata biasa.
“Kau siapa, Siti?” tanyaku lagi, suaraku sedikit bergetar.
Boneka itu berhenti sejenak, lalu kembali bergerak, kali ini dengan gerakan yang lebih cepat dan… marah? "AKU PENGHUNI RUMAH INI!"
Kengerian merayap di punggungku. Penghuni rumah ini? Tapi nenek tidak pernah bercerita tentang Siti.
"P-penghuni? Maksudmu… arwah?" Bunga memberanikan diri bertanya, suaranya seperti bisikan.
Jalangkung itu mengangguk pelan. Gerakan kecil itu membuat kami terkesiap. “Kenapa kau di sini?” Arya bertanya, mencoba tetap tenang.
Tangan jalangkung itu kembali menulis, kali ini dengan goresan yang lebih kasar: "AKU TERJEBAK!"
“Terjebak? Bagaimana bisa?” Dimas bertanya.
Tak ada jawaban. Boneka itu hanya terdiam. Suasana kembali hening, hanya suara hujan dan detak jantung kami yang mengisi ruangan. Tiba-tiba, lilin di tengah kami padam, membuat kami terperangkap dalam kegelapan total. Bunga menjerit. Aku langsung menyalakan senter ponselku. Cahaya senter menyorot ke arah jalangkung. Boneka itu masih di sana, kaku tak bergerak, seolah tak ada apa-apa yang terjadi.
Kami memutuskan untuk menghentikan ritual. Rasa takut mengalahkan rasa penasaran. Arya, dengan tangan gemetar, meraih boneka itu untuk menyimpannya kembali ke gudang. Tapi tiba-tiba, boneka itu terasa lengket di tangannya. Arya menjatuhkannya dengan kaget.
“Ada apa, Ya?” tanyaku.
“L-lengket… dan berat sekali,” jawabnya, wajahnya semakin pucat.
Kami semua melihat ke arah boneka itu. Ada cairan hitam kental yang menetes dari batok kepalanya. Bau amis menyengat langsung memenuhi ruangan. Bunga refleks muntah.
“Kita harus pergi dari sini!” Dimas panik.
Tanpa pikir panjang, kami berlari keluar dari rumah nenek, menerjang hujan lebat. Kami tidak peduli lagi dengan boneka itu, dengan rumah itu, dengan apapun yang ada di dalamnya. Yang penting adalah lari, sejauh mungkin.
Beberapa hari kemudian, kami mencoba melupakan kejadian itu. Kami tidak berani lagi membahasnya, seolah dengan tidak membicarakannya, kejadian itu tidak pernah ada. Namun, mimpi buruk mulai menghantuiku. Aku selalu bermimpi tentang seorang wanita dengan rambut panjang dan wajah pucat, matanya kosong menatapku. Setiap kali aku terbangun, aku merasa ada yang mengawasiku.
Suatu sore, aku sedang sendirian di rumah. Nenek sedang pergi ke pasar. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku di ruang tamu. Tiba-tiba, kudengar suara langkah kaki di lantai atas, padahal aku yakin tidak ada siapa pun di rumah ini selain aku. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanya suara rumah tua yang berderit. Tapi suara itu semakin jelas, seolah seseorang sedang berjalan mondar-mandir di kamarku.
Aku memberanikan diri naik ke atas. Pintu kamarku sedikit terbuka. Perlahan aku mendorongnya. Kamar itu kosong. Tetapi, di meja riasku, cermin kecil yang biasanya selalu menghadap dinding, kini menghadap ke arahku. Dan di permukaannya, samar-samar terlihat goresan tulisan. Aku mendekat, membaca tulisan itu: "AKU KEMBALI."
Napasiku tercekat. Tulisan itu mirip sekali dengan tulisan yang dihasilkan jalangkung malam itu. Aku tahu siapa yang kembali. Tapi bagaimana? Boneka itu sudah kami tinggalkan di rumah nenek.
Aku segera menelepon Dimas. “Mas, boneka itu… masih ada di rumah nenek, kan?” tanyaku panik.
“Boneka apa, Ris?” jawab Dimas, terdengar bingung. “Kita kan sudah buang jauh-jauh malam itu. Kita taruh di tempat sampah kota yang jauh dari rumah nenek. Jangan-jangan kamu masih memikirkannya.”
Jantungku berdegup kencang. Jika boneka itu sudah dibuang, lalu siapa yang menulis di cermin?
Tiba-tiba, kudengar suara nenek memanggil dari lantai bawah. “Risa, sudah pulang nenek!”
Aku bergegas turun. Nenek sedang melepas sandal di teras. Wajahnya terlihat lelah.
“Nenek, aku mau tanya… Nenek tahu tentang siapa itu Siti?” tanyaku hati-hati.
Nenek menoleh, raut wajahnya berubah serius. “Siti? Siti itu… bibimu, Risa. Adik nenek. Dia meninggal tragis di rumah ini puluhan tahun lalu.”
Tubuhku langsung lemas. Bibiku? Jadi arwah yang kami panggil adalah bibiku sendiri? Tapi kenapa nenek tidak pernah bercerita?
“Kenapa nenek tidak pernah cerita?” tanyaku, suaraku tercekat.
Nenek menghela napas. “Itu masa lalu yang menyakitkan. Dia… dia meninggal karena kecelakaan. Dia terpeleset di tangga dan jatuh. Tapi beberapa orang bilang dia sering melakukan ritual aneh, memanggil arwah. Kata mereka, dia punya boneka jalangkung kesayangan yang selalu disimpan di gudang. Makanya nenek selalu melarangmu masuk gudang.”
Kecelakaan? Tapi jalangkung itu bilang dia "terjebak".
“Nenek, boneka jalangkung itu… apa nenek pernah melihatnya?” tanyaku, menatap nenek lekat-lekat.
Nenek mengangguk pelan. “Dulu sekali, sebelum dia meninggal, dia selalu bermain dengan boneka itu. Tapi setelah dia pergi, nenek buang jauh-jauh. Takut. Nenek sendiri yang membuangnya ke sungai.”
Nenek membuangnya ke sungai? Tapi kami menemukannya di gudang. Dan Dimas bilang dia membuangnya ke tempat sampah kota. Ada yang tidak beres.
Pikiran-pikiran itu berkelebat di benakku, membuatku semakin bingung dan takut. Lalu, sebuah pemikiran aneh muncul. Sebuah detail kecil yang terlewatkan.
Ketika malam itu kami melakukan ritual, yang memimpin adalah aku. Dan yang memegang kertas kosong untuk jalangkung menulis… adalah aku.
Aku kembali menatap nenek, kali ini dengan pandangan yang penuh kengerian yang baru.
“Nek,” suaraku nyaris tak terdengar. “Saat aku menemukan boneka itu di gudang… Nenek bilang jangan disentuh. Tapi Nenek tidak pernah bilang kalau Nenek sudah membuangnya.”
Nenek hanya diam, menatapku dengan sorot mata yang sulit kumengerti. Senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang sama persis dengan senyum di bayanganku di cermin, senyum yang pernah kulihat ketika boneka jalangkung itu menuliskan namanya.
Kemudian, sebuah suara berbisik tepat di telingaku, suara yang sangat familier, namun kini terdengar dingin dan asing. "Aku tidak pernah pergi, Risa. Aku ada di dalam dirimu. Aku adalah bagian dari dirimu yang lama. Aku adalah Siti. Dan kini, kita bertemu lagi."
Aku terkesiap, melangkah mundur. Bukan karena nenek yang berbisik, tetapi karena suara itu adalah suaraku sendiri, namun dengan intonasi dan nada yang berbeda. Sama seperti boneka itu.
Aku melihat tanganku. Jemari-jemariku mulai bergerak perlahan, seolah menulis di udara. Sebuah kekuatan tak terlihat menggerakkan diriku. Perlahan, aku mengangkat tangan kananku, mengarahkan jari telunjukku ke arah nenek, dan berbisik, dengan suara yang bukan lagi suaraku:
“Nenek… kita belum selesai bermain.”
Nenek tersenyum puas. Matanya berkilat aneh. Aku menyadari, sejak awal, boneka itu tidak pernah benar-benar memanggil arwah. Boneka itu hanya sebuah alat. Dan aku, Risa, bukanlah diriku sendiri sepenuhnya. Aku adalah Siti, yang selama ini terpendam, bersembunyi dalam diriku, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Dan nenek… nenek adalah dalang di balik semua ini, yang selama ini menjaga dan mempersiapkan kembalinya "Siti" di dalam diriku.
Hujan di luar semakin deras, seolah alam turut meratapi takdirku. Jalangkung itu tidak kembali. Karena Siti, sepenuhnya, sudah kembali. Di dalam diriku.