Karena penghianatan pacar dan sahabatnya, Zianna memutuskan untuk pindah sekolah. Namun siapa sangka kepindahannya ke SMA Galaxy malah mempertemukan dirinya dengan seorang cowok bernama Heaven. Hingga suatu ketika, keadaan tiba-tiba tidak berpihak padanya. Cowok dingin itu menyatakan perasaan padanya dengan cara yang sangat memaksa.
"Apa nggak ada pilihan lain, selain jadi pacar lo?" tanya Zia mencoba bernegosiasi.
"Ada, gue kasih tiga pilihan. Dan lo harus pilih salah satunya!"
"Apa aja?" tanya Zia.
"Pertama, lo harus jadi pacar gue. Kedua, lo harus jadi istri gue. Dan ketiga, lo harus pilih keduanya!" ucap Heaven dengan penuh penekanan.
Follow IG Author : @smiling_srn27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smiling27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. MAKAN MALAM
"Zia?!" panggil Shena menepuk bahu gadis yang sedang duduk di sampingnya.
"Eh iya Tante, kenapa?" Zia tersentak sadar dari lamunannya.
"Kamu lagi mikirin apa?" tanya Shena. Melihat Zia yang sejak tadi hanya diam dengan pandangan kosong, entah apa yang dipikirkannya.
"Eum nggak mikirin apa-apa kok Tan!" jawab Zia berbohong.
"Ya udah makan cepet, nanti keburu dingin makanannya." Shena mengambil sumpit lalu menyerahkannya pada gadis itu.
"Iya Tante!"
Zia baru sadar kalau saat ini sedang berada di restauran bersama Tante Shena, saudari kembarnya Mommy Shina. Juga bersama Om Kenzie dan kedua anak kembarnya, Vincie dan Vanessa. Bisa-bisanya Zia melamun di tempat seperti ini, di restoran yang cukup ramai dikunjungi orang sejak tadi.
Vincie mengambil daun perilla, meletakkan daging barbeque, bawang putih dan sambal yang cukup banyak di atasnya. Kemudian tangan kecilnya dengan rapi membungkus daun itu hingga menjadi bulatan kecil.
"Zia, cobain deh?" Vincie tersenyum miring, mengarahkan makanan hasil racikannya itu pada Zia.
"Aaak...!" Zia membuka mulut menerima suapan dari anak berusia enam tahun itu, lalu mengunyah tanpa curiga sedikitpun.
"Enak nggak?"
Shena sedikit curiga melihat Vincie terkekeh kecil. Dan benar saja, baru berapa kali kunyahan wajah Zia sudah berubah memerah.
"Kok rasanya aneh sih Vin?" Zia menatap polos Vincie, barulah ia menyadari kalau anak itu sedang mengerjainya.
"Vincie!" Shena menatap anaknya tajam, mengambil gelas air minum lalu menyerahkannya pada Zia yang sudah kepedasan.
Zia tidak suka dengan rasa makanannya, tapi mana mungkin ia mengeluarkan lagi. Tidak sopan namanya. Terpaksa Zia mengunyah dengan cepat lalu menelan dengan susah payah, kemudian meneguk habis minumannya.
"Kamu nggak boleh gitu sayang, minta maaf ke Zia sekarang!" Shena menyuruh anaknya dengan mata melotot.
"Jangan melotot gitu, nanti Vincie takut!" tegur Kenzie pada istrinya. Kalau sudah marah, Shena memang sedikit lebih menyeramkan. Ya hanya sedikit, mungkin.
"Lagian dari tadi Zia diem aja, makanya Vincie kasih cabe sama bawang biar nggak bengong lagi. Vincie minta maaf ya Zia!" ujar anak itu menunduk takut. Air mata bahkan sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Iya nggak papa, tapi lain kali jangan cabe ya. Zia nggak suka pedas!" ucap Zia pelan mengelus puncak kepala Vincie.
"Yang ini nggak ada cabenya!" Vanes tersenyum, mengulurkan tangan ingin menyuapi juga.
"Gimana? Buatan aku enak kan?" tanya Vanes setelah Zia memakannya.
"Eumm enak!" jawab Zia menunjukkan senyum.
"Vincie juga mau bikin lagi buat Zia, yang paling enak!" Vincie yang tidak mau kalah kembali membuat lagi, lalu menyuapkannya pada Zia membuat semua menggeleng tersenyum.
Zia mengedarkan pandangan melihat para pengunjung yang datang dan pergi. Untung saja Tante Shena mengajak bertemu dan makan malam di luar tadi, kalau tidak, mungkin saat ini ia sedang merasa bosan berada di dalam kamar.
"Pah, Kak Kenzo mana sih, kok belum dateng juga? Ntar makanannya keburu abis lagi," tanya Vincie sambil menyuap makanannya.
"Kenzo di mana Ma?" Bukannya menjawab, Kenzie malah beralih bertanya pada istrinya.
"Tadi udah Mama suruh dateng, tapi kayaknya dia pulang dulu ke rumah. Mungkin bentar lagi dateng!" jawab Shena.
"Makanya jangan dimakan lagi, sisihin buat Kak Kenzo!" Vanes menggeser jauh piring berisi daging barbeque yang sudah matang, agar Vincie tidak memakannya lagi.
"Tapi Vincie masih laper!" Melihat adiknya merengek Vanes pun mengambil beberapa daging lalu menyuapkannya pada Vincie.
Zia hanya diam saja, tidak tahu apa yang akan dilakukannya ketika bertemu dengan Kenzo nanti. Apakah Kenzo masih membencinya, apakah cowok itu masih tidak ingin bertemu dengannya. Zia juga tidak tahu. Itulah yang membuatnya kepikiran sejak tadi, ingin rasanya ia kabur dari sini agar tidak perlu bertemu dengannya lagi jika memikirkan hal itu.
"Nah itu dia anaknya dateng!" ucap Shena. Melihat putranya muncul dari pintu masuk dan mulai berjalan ke arah mereka berada.
"Kak Kenzo!" pekik Vincie berlari untuk memeluk kakaknya.
Melihat Vincie berlari ke arahnya, dengan sigap Kenzo langsung meraihnya, menggendong lalu mencubit pipinya dengan gemas.
"Vincie, kan Kakak udah bilang jangan lari-lari. Kamu udah gede, nggak boleh minta gendong terus!" ucap Kenzo berjalan lalu mendudukkan adiknya di tempat semula.
"Vincie kan nggak minta gendong tadi!" kilah Vincie sembari mengerucutkan bibir. Terlihat semakin menggemaskan bagi siapapun yang melihatnya.
"Kok kamu baru sampai sih?" tanya Shena.
"Tadi pulang dulu ambil mobil!" Kenzo menarik kursi ikut duduk di sebelah Vincie.
Kenzo tidak terkejut melihat Zia juga ada di sana, karena sebelumnya sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Percuma juga menghindar lagi, mau bagaimana pun kehidupannya tidak akan jauh dari cewek itu, karena takdir telah menyatukan Zia dan dirinya sebagai sepupu. Tidak akan bisa lebih dari itu. Mungkin.
"Memangnya motor kamu kenapa?" tanya Shena menyelidik.
"Eum nggak papa, cuma pengen bawa mobil aja," jawab Kenzo beralasan.
Tidak mungkin juga ia mengatakan kalau motornya baru saja menjadi korban dari peperangan dengan anak Gorized tadi. Kalau sampai Mama tahu, pasti ia tidak akan selamat dari hukuman nanti.
"Bener?" Shena menatap intens putranya, tidak semudah itu untuk membuatnya percaya begitu saja.
"Sudahlah sayang, kenapa kamu selalu saja mencurigainya!" Kenzie ikut bicara membantu Kenzo, meski ia yakin seribu persen kalau anaknya itu pasti baru saja membuat masalah.
"Maaf ya Zia, Kenzo emang suka begitu anaknya. Udah bandel bikin pusing lagi, tapi tetep aja bikin gemes!" Shena terkekeh sambil mencubit pipi putranya dengan gemas, langsung membuat Kenzo membulatkan mata.
"Ma stop, Kenzo bukan anak kecil lagi!" Kenzo menyingkirkan tangan Shena dari pipinya, melirik Zia yang sedang menahan tawa. Memalukan sekali, dipermalukan oleh Mamanya di hadapan seorang cewek.
"Mama tahu, ya udah makan gih. Nanti keburu dingin!" Shena meletakkan piring berisi steak di hadapan Kenzo.
Kenzo mulai memakannya, ia memang belum sempat makan di markas tadi. Sekilas Kenzo melirik Zia yang sedang sibuk dengan ponselnya, mengernyit saat menyadari case ponsel itu sama seperti milik sahabatnya, Heaven. Apa mungkin itu hanya kebetulan saja, tidak mau ambil pusing Kenzo kembali fokus dengan makanannya.
Zia kembali memasukkan ponselnya, sudah cukup ia menguras tenaga meladeni Heaven yang sejak tadi mengirim pesan tidak penting padanya. Salahnya juga telah salah mengambil ponsel tadi, untung saja tidak ada info apapun di dalamnya. Kalau sampai Heaven tahu siapa dirinya bisa ribet urusannya, foto keluarga tidak disimpan di sana, kecuali fotonya sendiri dan teman-teman sekolahnya dulu.
Baru saja ia memasukkannya ke dalam tas, ponsel itu kembali berdering. Kali ini sedikit lama, pertanda adanya panggilan masuk, meski nada deringnya terkesan sangat biasa. Dengan tak minat Zia mengambil lagi untuk melihatnya, seketika gadis itu tercengang melihat nama yang tertera di sana. Mommy.
"Siapa yang nelfon, kenapa nggak di angkat?" tanya Shena penasaran. Melihat raut wajah Zia yang berubah setelah melihat ponsel, membuatnya sedikit curiga.
"Ah ini, telepon nggak penting kok Tante!"
Zia menyembunyikan ponsel itu tanpa mau mengangkatnya, mana mungkin ia berani melakukan itu. Tidak berselang lama ponsel itu kembali berdering, Zia bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Ia takut ada yang penting hingga membuat Mommy Heaven menelepon berkali-kali, namun tetap saja ia tidak berani mengangkatnya.
"Angkat aja dulu, siapa tahu penting!" ucap Shena lagi.
"Kalau gitu Zia ke depan dulu ya Tante."
Zia beranjak pergi dengan jantung berdebar, memikirkan apa yang harus dikatakan setelah mengangkat telepon nanti. Jika ponsel itu miliknya, mungkin tanpa ragu Zia akan mengangkatnya. Masalahnya ponsel itu milik Heaven, sudah dipastikan kalau yang menelepon itu adalah Mommy nya Heaven.
Zia menghela nafas lega menatap ponsel yang sudah mati, panggilan masuk sudah berhenti. Menyadari hal itu Zia segera mendial nomornya, hendak memberitahu Heaven kalau Mommy nya baru saja menelepon. Takut ada sesuatu yang penting hingga membuat sang Mommy menghubungi nomor Heaven berkali-kali.
"Halo!" Terdengar suara Heaven di seberang telepon.
"Halo Kak, lo di mana?" tanya Zia tanpa basa-basi.
"Kenapa, lo kangen sama gue?"
Zia memutar bola matanya jengah, kepedean Heaven sudah mencapai tingkat dewa. Heaven yang kata orang sangat dingin dan minim bicara, sangat berbanding terbalik dengan Heaven yang ada di seberang telepon saat ini.
"Nggak usah ngaco, ngapain gue kangen sama lo. Kenal juga enggak, tahu lo juga baru kemaren."
"Terus kenapa lo nanya gitu kalau bukan kangen?"
"Mommy lo tadi nelfon, tapi nggak gue angkat. Takut ada yang penting, makanya gue bilang ke lo!"
"Kenapa nggak lo angkat aja?"
"Terus lo minta gue ngomong apa, masa iya anaknya cowok yang jawab cewek."
"Bilang aja pacarnya!" Heaven terkekeh.
"Gue lagi nggak butuh pacar, apalagi yang kayak lo!" sinis Zia pelan. Karena beberapa orang baru saja melintas, membuat Zia berjalan mencari tempat yang lebih sepi.
"Lo lagi di mana?" tanya Heaven mendengar suara ramai di seberang telepon.
"Nggak usah kepo, mending cepetan hubungin Mommy lo, kali aja ada yang penting!" Zia hendak memutuskan panggilan, namun urung dilakukan saat melihat Kenzo datang.
"Udah selesai belom, makanan lo belum abis. Udah ditunggu sama Mama, kita mau-" Ucapan Kenzo terhenti, melihat Zia memberikan isyarat untuk diam.
"Eum iya sebentar, ini mau selesai kok. Lo ke dalam aja dulu!" Tidak ingin berlama-lama, Kenzo langsung pergi tanpa mengucapkan apapun, ataupun menjawab ucapan Zia sebelumnya.
Menghela nafas sejenak, Zia mendekatkan ponsel ke telinganya lagi. "Udah ya, gue udah di tunggu sama Tante."
"Lo di mana? Dan, sama siapa?" Heaven merasa seperti mengenal suara cowok tadi, tapi masih sedikit ragu apa benar dia orangnya.
"Kalau lo tahu, mau apa emangnya?"
"Gue dateng ke sana sekarang!" kata Heaven terdengar serius.
"Ngapain dateng ke sini?" Zia mengernyit heran, ada-ada saja cowok satu ini.
"Jawab gue, lo di mana sekarang?" Menggeram kesal, Heaven hanya ingin tahu di mana Zia saat ini.
"Gue di resto, lo nggak perlu ke sini. Ini urusan keluarga!"
"Jujur?" Sangat jelas Heaven tidak puas dengan jawaban cewek itu.
"Gue udah jujur!" pekik Zia menahan kesal.
Entah apa maunya anak satu ini, tidak tahu saja kalau Zia ini anak paling tidak bisa bohong sedunia. Kalau berbohong pun hanya akan terjadi ketika Zia terdesak saja, mungkin.
"Kenapa ada Kenzo di situ?" tanya Heaven menyelidik.
"Kenzo? Kenzo siapa?" ucap Zia sedikit gelagapan.
"Tadi yang ngomong sama lo itu Kenzo 'kan?"
"Bu-bukan, bukan Kenzo. Itu sepupu gue!" Memang benar kan kalau Kenzo itu sepupunya, untung saja masih ada alibi yang pas hingga Zia tidak perlu berbohong terlalu dalam.
Heaven mengernyit semakin curiga mendengar Zia berbicara salah tingkah.
"Udah ya, gue udah ditunggu sama Tante!" Zia langsung memutuskan panggilan secara sepihak, membuat Heaven yang di seberang telepon langsung kesal setengah mampus.
*********
Lanjut nanti lagi yaa....