Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
Zidan menaruh dua gelas jus jeruk di atas meja dan satu piring kentang goreng sebagai camilannya. Viola yang melihat Zidan berpakaian santai merasa semakin tertarik, tatapannya pun sulit terlepas dari wajah pria itu.
Zidan sedang duduk fokus memeriksa beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh Viola sebagai perjanjian di atas materai. Setelah semuanya siap, Zidan menyerahkan berkas tersebut untuk dibaca oleh Viola.
"Ini, bacalah dulu. Setelah kau setuju dengan isi surat perjanjian ini, kau boleh menandatanganinya di sini," ujar Zidan sambil menunjuk tempat tanda tangan.
"Oke, aku baca dulu kalau begitu.*
Viola mengambil beberapa lembar kertas di atas meja lalu membacanya dengan sangat teliti. Dari awal hingga lembar terakhir, tak ada satu kata pun yang ia lewatkan. Setelah memahami isi surat tersebut, Viola meletakkannya di atas pahanya, menarik napas dalam, lalu menatap Zidan yang duduk di hadapannya.
"Oke, aku setuju dengan isi surat perjanjian ini. Jadi aku harus tanda tangan di sini?" tanya Viola sambil menunjuk materai di ujung kanan bawah.
"Iya. Apa kau yakin akan setuju dengan isi surat itu? Tidak ingin dipikirkan lagi sebelum menandatangani?" tanya Zidan.
"Tidak, aku sudah yakin. Di surat ini tertulis bahwa tidak boleh bermain perasaan. Jika aku jatuh cinta padamu, maka itu risiko yang harus aku tanggung sendiri," balasnya meyakinkan diri sendiri. "Oke, tidak masalah. Toh itu hanya soal cinta. Aku juga yakin tidak akan mencintaimu_ hanya mengagumi saja."
Zidan yang mendengar itu tersenyum simpul dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus kalau kau mengerti. Jika memang setuju, silakan tanda tangan. Kita akan menikah minggu depan," ujar Zidan, membuat Viola tersedak saat sedang minum.
"Uhuk--- uhuk! APAH?! Minggu depan? Secepat itu?" seru Viola dengan wajah sangat terkejut.
"Ya, minggu depan. Justru lebih cepat lebih baik, kan?" sahut Zidan, lalu menjeda ucapannya sejenak. "Dan besok kita akan berbelanja keperluanmu di pusat perbelanjaan. Aku ingin kau mengubah penampilanmu agar sedikit tertutup, tidak seperti ini."
Viola yang masih tampak terkejut hanya mengerjapkan matanya pelan, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut pria yang akan menjadi suaminya itu.
"Heemm, baiklah. Harus masuk ke agamamu, dan setelah itu belajar menjadi wanita yang sedikit lembut. Tidak terlalu sulit," ucap Viola akhirnya.
Viola pun menandatangani surat perjanjian itu. Tandanya, ia telah menyetujui seluruh isi surat tersebut, termasuk kewajiban mengembalikan semua aset yang didapat bila melanggar salah satu poin dalam kontrak.
Setelah cukup lama mengobrol hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam, Viola berpamitan untuk pulang ke rumah kosnya.
"Terima kasih, Tuan Zidan. Kau memang pria yang sangat baik hati. Kalau begitu, aku pamit pulang dulu. Ini sudah larut. Selamat malam, semoga tidurmu nyenyak malam ini," ucap Viola sambil berdiri menuju pintu.
Zidan membukakan pintu dan membiarkan Viola keluar. Wanita itu sempat membalikkan tubuhnya di ambang pintu untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Selamat malam, Tuan Zidan. Sampai jumpa besok."
"Ya, selamat malam, Viola. Aku akan menjemputmu besok jam sepuluh," balas Zidan.
"Bye--"
Viola kemudian melangkah menuju lift, sedangkan Zidan masih menatap punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangannya.
Keesokan paginya, Zidan telah bersiap menuju kantornya pukul delapan. Ia terpaksa menjadwalkan ulang meeting-nya lebih awal karena akan pergi bersama Viola jam sepuluh nanti.
"Bagaimana semuanya? Apa sudah siap?" tanya Zidan setelah berada di mobil bersama asistennya, Yudi.
"Semua sudah beres. Kau tinggal menjelaskan materi, lalu tanda tangan kontrak, setelah itu bisa pergi," jawab Yudi yang menjemput Zidan di apartemennya.
"Oke, kalau begitu."
Zidan kembali terdiam dan membuka laptopnya di atas paha, lalu mulai mengetik untuk menyiapkan materi yang akan ia sampaikan nanti saat meeting.
Sesampainya di perusahaan, Zidan melangkah lebar menuju lift ke lantai tujuh, tempat ruang meeting berada. Setelah sampai, ia menyapa semua yang sudah hadir di sana.
"Selamat pagi. Maaf, saya sedikit terlambat. Bisa kita mulai meeting-nya?" tanya Zidan sambil duduk di kursi kebesarannya.
"Baik, Pak. Silakan dimulai," sahut salah satu rekan kerjanya.
"Oke, terima kasih."
Zidan lalu membuka kembali laptopnya dan mulai menyampaikan materi.
Sementara itu, di tempat lain, Viola sudah bangun sejak pukul enam pagi. Ia terus mengacak lemarinya, mencari pakaian yang cocok untuk dikenakan saat pergi bersama Zidan nanti. Hampir setengah isi lemari sudah ia keluarkan, tapi belum ada satu pun yang cocok.
"Aduh-- ini juga norak banget. Tuan Zidan tidak suka kalau aku memakai pakaian terbuka. Lalu aku harus pakai yang mana?"
Viola melempar semua pakaiannya ke atas kasur. Ia merasa kesal dan lelah karena belum menemukan yang cocok. Ia duduk di tepi kasur sambil berpikir keras.
Bagaimana caranya mendapatkan pakaian baru dengan cepat tanpa harus keluar rumah, sementara sebentar lagi Zidan akan datang menjemputnya? Setelah lima menit berpikir, akhirnya Viola mendapat ide.
"Ah! Aku punya ide. Aku cari di toko online saja. Uangku di ATM masih banyak," ucap Viola pada dirinya sendiri.
Ia segera mengutak-atik ponselnya, mencari toko pakaian online terdekat. Viola memilih gaun panjang berwarna pastel. Setelah lima belas menit mencari, akhirnya ia menemukan yang cocok dan langsung membelinya tanpa pikir panjang, tanpa memperhatikan harganya.
Uang yang dikirim Zidan sebesar dua puluh juta masih ada di ATM-nya. Pesanannya sudah dibayar dan dijanjikan akan diantar dalam waktu tiga puluh menit. Untuk sepatu hak tinggi, ia sudah punya banyak, jadi tidak perlu membeli lagi.
~~
Pukul sembilan tiga puluh, Zidan bergegas keluar menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan. Ia mengirim pesan pada Viola bahwa dirinya sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya.
"Aku sedang dalam perjalanan, bersiaplah. Kau harus sudah siap saat aku sampai."
"Oke, aku tunggu." balas Viola singkat.
Dalam perjalanan menuju rumah kos Viola, ponsel Zidan berdering. Nama Fahira muncul di layar. Ia segera menerima panggilan itu.
"Halo, assalamualaikum, sayang. Ada apa? Tumben jam segini telepon?" tanya Zidan setelah menerima panggilan dari sang istri.
"Waalaikumsalam, abang. Nggak ada apa-apa, Aira cuma kangen aja sama abang. Abang lagi sibuk, ya?" sahut Fahira lembut.
"Nggak. Semalam kan abang sudah bilang, kalau pagi ini abang ada acara keluar dengan Viola. Abang mau memperbaiki sedikit penampilannya, supaya tidak terlalu vulgar."
Mendengar itu, dada Fahira terasa sesak, seolah tertimpa batu besar yang menekan napasnya. Namun ia tak bisa melarang atau mencurigai suaminya\_ karena ini adalah keputusannya sendiri menyuruh Zidan menikahi wanita lain demi mendapatkan keturunan.
...----------------...
**Bersambung**...
Hay para pembaca setiaku!
Mohon dukungannya, ya. Jangan lupa tinggalkan jejakmu di kolom komentar agar aku bisa lebih semangat menulis lagi.
Selamat membaca, semoga kalian suka dengan ceritanya!
See you!
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi