NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 - Diantara Api dan Tanah

Yarun'ru menarik pedang dari sarungnya.

Bilah perunggu itu berkilau hangat saat tertimpa cahaya pagi, memantulkan rona tembaga di udara lembap.

Raka sempat menegang bayangan perang melintas sekejap di benaknya.

Namun Yarun'ru tak mengangkat pedang itu untuk menebas.

Tangan kirinya menahan bilahnya dengan hati-hati, sementara tangan kanan menggenggam gagangnya.

Ia mengulurkannya ke arah Raka, bukan sebagai ancaman, tapi seperti seseorang yang hendak memperlihatkan rahasia lama.

"Sejak kemarin," ucap Yarun'ru pelan, "matamu tak pernah lepas dari pedang ini."

Raka menatapnya, masih waspada, tapi perlahan ketegangannya mencair.

Ia melangkah maju, cahaya pagi memantul di mata mereka berdua.

Yarun'ru berkata lagi, suaranya rendah namun jujur,

"Bukan untuk berperang aku menyimpannya. Pedang ini hanya mengingatkanku... bahwa sesuatu yang keras pun bisa memantulkan cahaya."

Raka mengangguk kecil.

Tangannya terulur, menyentuh bilah perunggu itu dingin, tapi terasa hidup.

"Indah," katanya pelan.

Yarun'ru tersenyum tipis. "Ini hanya alat untuk bertahan, sampai seseorang menaruh makna di dalamnya."

Angin pagi lewat di antara mereka, membawa aroma tanah basah dan getah aren dari hutan belakang pondok.

Raka memandangi bilah itu lebih dekat.

Bilah itu berkilau samar di bawah cahaya pagi tidak secerah batu obsidian, tapi juga tidak gelap seperti batu rijang. Warnanya entah apa, di antara tanah dan api.

Dalam hati, Raka berbisik, "Dingin seperti batu... tapi hidup seperti api yang membeku."

Yarun'ru memperhatikan tatapan Raka, lalu berkata pelan,

"Bilah ini dibuat dari tambang berwarna senja di timur dari tanah negeri Tambangga."

Ia menatap jauh ke timur, seolah bisa melihat lautan di balik kabut Asalga.

"Untuk mendapatkannya, harus menyeberangi laut dengan kapal dayung, membawa bongkahan batu berwarna daun dan biru laut ditemukan permukaan lembah, dengan tangan yang hitam oleh bara, mata yang penuh cahaya."

Ia kemudian menoleh ke arah barat laut.

"Lalu dicampur dengan timang berwarna awan hujan mengilap dari negeri Timangga. Di datangkan kerbau kuat yang menarik gerobak berhari-hari menembus tiap lembah."

Raka mendengarkan dalam diam, membayangkan perjalanan panjang dua bangsa yang berbeda demi menciptakan satu bilah pedang.

Yarun'ru mengusap bilah perunggu itu lembut.

"Benda ini lahir dari dua dunia yang jauh, tapi menyatu dalam api yang sama. Setiap pedang punya jiwa ganda kekuatan dari bumi dan kesabaran dari tangan manusia."

Raka menatap bilah perunggu itu lebih lama, bayangan masa lalu menyeruak di benaknya.

"Dulu, pedang seperti ini..." pikirnya, "Yang pernah membunuh Para Rasi dan murid-muridnya oleh tentara Lakantara." ucap Raka dgn nada pelan

Ia menunduk, perlahan menyadari satu hal: Yarun'ru Beta tidak mungkin terlibat. Ia bahkan belum lahir saat itu, enam belas siklus lalu.

Yarun'ru memperhatikan tatapan Raka, senyumnya menghilang seketika. Matanya melebar, seolah baru menyadari sesuatu yang lama terkubur.

"Jadi... Lakantara yang membunuh Para Rasi sejati," gumam Yarun'ru, suaranya serak oleh keterkejutan.

Dia menarik napas panjang, menatap pedang itu dengan pandangan jauh ke masa lalu.

"Tidak heran banyak yang mengaku Para Rasi... banyak yang meniru, banyak yang tersesat. Tanpa kehadiran Para Rasi sejati, dunia ini penuh ilusi dan pengganti palsu."

Raka diam. Angin pagi mengusir kabut di antara mereka, tapi bayangan sejarah tetap tebal di udara.

Pedang itu, dingin di tangannya, kini bukan sekadar alat.

Ia menjadi saksi bisu masa lalu, pengingat kekejaman dan kesalahan yang harus diperbaiki.

Yarun'ru menunduk, menatap Raka dalam diam.

"Dan mungkin... kau yang akan menuntun kebenaran kembali," bisiknya, lebih pada diri sendiri daripada pada Raka.

Di antara kabut dan aroma tanah basah, jejak sejarah dan harapan baru bertemu peristiwa lama yang membekas di dunia Lakantara berpadu dengan langkah generasi yang akan menentukan nasibnya.

Raka menatap Yarun'ru Beta dari kejauhan, sosoknya tegap namun ada sesuatu yang terselip di balik tatapannya.

Ada beban di dada itu, beratnya seolah menekan seluruh langkahnya, namun ia berjalan tenang, seakan tidak ingin siapa pun melihatnya.

Dalam hati, Raka berbisik pelan, bijak melebihi usianya yang lima belas siklus:

"Kekejaman dan keserakahan... bukan sesuatu yang bisa diwariskan melalui darah. Beban ayahmu bukan bebanmu."

Seketika, pandangan Raka seolah menyalurkan pemahaman itu ke Yarun'ru Beta.

Pria itu tetap tenang, namun beban yang selama ini tersembunyi di dadanya seakan perlahan terangkat, tersapu oleh pengakuan diam seorang anak muda yang memahami.

Angin pagi membawa aroma tanah basah dan getah pohon, membelai mereka berdua dalam hening yang penuh makna.

Dalam diam itu, dunia Lakantara terasa sejenak lebih ringan, meski sejarahnya tetap terpatri di batu dan bilah pedang.

Yarun'ru menutup sarung pedang dengan hati-hati, langkahnya tenang namun pasti.

"Mari," ucapnya pelan dengan gerakan kepala untuk mengajak, "aku ingin tunjukkan sesuatu yang sederhana, tapi penting."

Raka mengikuti, melewati jalan setapak lembab yang dipenuhi daun kering dan aroma tanah basah.

Tak jauh dari pondok, pohon-pohon aren menjulang tinggi, batangnya ramping namun kokoh, dedaunannya menari diterpa angin pagi.

Beberapa hari terakhir, Yarun'ru telah memanen air aren, menyalurkannya melalui bambu dan tali dari serat, digantung rapi di antara batang pohon.

Raka memperhatikan proses itu dengan kagum; alat sederhana, tapi penuh kecermatan.

"Setiap tetesnya," kata Yarun'ru sambil menunjuk nira yang menetes dari bambu, "adalah hasil sabar dan ketekunan yang memberi kehidupan."

Raka tersenyum tipis, menyadari ada keindahan dalam hal-hal sederhana yang terus memberi, bahkan di tengah dunia yang keras seperti Lakantara.

Yarun'ru tersenyum, mempersilakan Raka mencoba.

Raka menunduk, meneguk air aren yang menetes dari bambu.

Rasanya manis, ringan, seperti madu yang disaring dari pohon.

Kembali ke pondok, mereka menyiapkan hasil panen aren untuk direbus.

Raka memperhatikan dengan penasaran saat Yarun'ru melepaskan kain serat dari dalam helm jirahnya, memperlihatkan logam perunggu polos.

"Ini... helmmu, di apakan?" Raka terkejut.

Yarun'ru menempatkannya di atas penyangga batu, lalu menuang nira aren ke dalamnya.

"Helm jni bisa berguna banyak," ujarnya pelan.

Api di bawah helm mulai memanas, uap nira menguar, manisnya memenuhi udara.

Setelah cukup kental, Raka melihat nira dituangkan ke cetakan bambu, dibentuk bulat persegi, siap menjadi aren padat atau gula jawa.

Raka tersenyum tipis, menyadari bahwa kekuatan tidak selalu berupa pedang; kadang, kesabaran dan kreativitas juga mampu menaklukkan dunia.

Yarun'ru mengambil beberapa lembar daun pisang, menahan ujungnya di atas bara api sebentar hingga agak layu dan lentur.

"Ini untuk membungkus gula arenmu," ucapnya pelan, menyerahkan daun itu kepada Raka.

Raka menerima dengan hati-hati, mengamati bentuk gula aren yang bulat persegi.

"Untuk bekal perjalanan," kata Yarun'ru, matanya menatap jauh, seolah menimbang jarak dan rintangan yang akan mereka tempuh.

Raka menerima gula aren di tangannya, seolah-olah ini adalah perpisahan yang tak terelakkan.

Yarun'ru Beta, yang telah hidup sendiri sejak umur siklus 10, berdiri di sampingnya, diam namun memperhatikan dengan seksama.

Dengan berani, Raka berkata,

"Kita... berjalan bersama. Aku ingin berpetualang dan belajar bersamamu."

Yarun'ru Beta terdiam sejenak, menatap pondok yang telah menjadi saksi teduhnya, tempat ia beristirahat dan melewati malam-malam sepi.

"Apakah... ini tidak akan mengganggu Prahya-mu?" tanyanya pelan.

Raka mengangkat bahu ringan, matanya tetap bersinar.

"Tentu tidak. Tidak ada larangannya. Ini hanyalah ujian... mempraktekkan ilmu yang guru ajarkan."

Hening sejenak, hanya suara angin dan dedaunan yang bergerak.

Kemudian, perlahan, Yarun'ru Beta mengangguk, keputusan itu seolah menandai awal perjalanan baru mereka bersama.

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas pepohonan.

Asap kecil dari tungku terakhir perlahan memudar, meninggalkan aroma manis dari gula aren yang baru mengeras di dalam bungkusan daun pisang.

Yarun'ru Beta menatap pondoknya sekali lagi tempat yang dulu jadi pelindung dari hujan, sunyi, dan kenangan.

Kini, hanya keheningan yang menatap kembali.

Yarun'ru Beta mulai mengemas barang-barangnya.

Helm jirah yang sudah berjelaga digantung di sisi tas serat tenun sukun yang tampak penuh sesak seperti ransel petualang.

Setiap gerakannya teratur, seolah telah mengulang kebiasaan yang sama selama bertahun-tahun hidup sendirian.

Sementara itu, Raka hanya membawa beberapa bekal sederhana yang dibungkus kain serat.

Ujung-ujung kain itu ia ikat di kedua sisi tongkat, lalu diselipkan di bahunya.

Tampak ringan, tapi matanya menatap jauh seolah beban sejati justru ada di dalam pikirannya, bukan di punggungnya.

Yarun'ru menoleh sekilas, menatap perbedaan mencolok di antara mereka, lalu tersenyum kecil.

"Kalau begini, kau pasti lebih cepat sampai di timur dariku," katanya dengan nada menggoda.

Raka menjawab pelan, "Tidak selalu yang membawa ringan akan tiba lebih dulu. Kadang, pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak tahu arah dengan pasti."

Yarun'ru menatapnya sebentar, lalu mengangguk.

Mereka pun melangkah meninggalkan pondok, menembus kabut pagi, menuju jalan setapak yang dibentuk akar dan daun kering.

Langkah mereka perlahan menjauh, meninggalkan pondok kecil itu menjadi bayangan samar di balik kabut.

Dua pengelana dengan masa lalu berbeda, kini berjalan dalam arah yang sama.

Bersama, menuju timur menuju takdir yang belum mereka kenal.

Kini mereka telah berjalan jauh, meninggalkan lembah Asalga.

Dari kejauhan, Gunung Asalga tampak seperti bayangan tua, tempat harimau sering bersinggah.

Langkah mereka menurun ke lembah yang tanahnya terbuka, jauh dari hutan lebat.

Awan-awan kanopi bergulung di atas kepala, memantulkan cahaya siang yang berkilau di tepiannya seperti benang perak.

Raka berhenti sejenak, menatap ke arah timur.

Di balik kabut, samar-samar tampak punggung gunung besar.

"Gunung itu... Barumba, bukan?" tanyanya.

Yarun'ru menatap lama ke arah kabut, lalu mengangguk pelan.

"Ya. Gunung Barumba," jawabnya lirih.

"Dulu waktu aku masih di Lakantara, para prajurit sering membicarakannya. Katanya, tak ada pasukan yang berani mendaki ke sana."

"Kenapa?" tanya Raka, suaranya pelan tapi matanya penuh rasa ingin tahu.

"Karena gunung itu dijaga oleh mereka yang tak terlihat," ujar Yarun'ru, menatap ke arah kabut seolah mencari sesuatu.

"Manusia... tapi bukan seperti kita. Mereka hidup menyatu dengan alam, meniru daun, batu, dan bayangan. Saat mata memandang, mereka sudah tidak ada.

Saat kau merasa aman, mereka sudah di belakangmu."

Raka terdiam, memandangi kabut yang menutupi lereng gunung.

"Lalu, tak ada satu pun dari Lakantara yang pernah sampai di sana?"

Yarun'ru menggeleng. "Tidak. Gunung itu satu-satunya tempat yang selamat dari tragedi api hijau. Seolah alam sendiri melindunginya."

Angin lembah berhembus, membawa aroma tanah basah dan suara serangga yang nyaris tak terdengar.

Raka menatap kabut itu lebih lama.

"Kalau begitu," katanya pelan, "mungkin di sanalah rahasia dunia lama masih tersisa."

Yarun'ru hanya diam, tapi sorot matanya berubah antara cemas dan penasaran.

Langkah Yarun'ru terhenti.

Kabut tipis dari arah timur bergerak pelan, menyelimuti jalan berbatu di depan mereka.

Dalam hati, ia mulai ragu bukan karena takut, tapi memikirkan keselamatan dirinya dan Raka.

"Apakah bijak menuju Gunung Barumba?" gumamnya dalam benak.

"Bahkan para prajurit Lakantara pun enggan mendekatinya..."

Raka memperhatikan perubahan di wajah Yarun'ru, lalu menepuk pundaknya pelan.

"Jika kita sama-sama penasaran," katanya sambil tersenyum kecil, "kenapa tidak kita buktikan sendiri? Bukankah engkau pernah menundukkan seekor harimau?"

Yarun'ru tersenyum hambar, antara kagum dan tak percaya pada keberanian Raka.

"Harimau bisa kutebas," ujarnya lirih,

"tapi kabut tidak bisa. Musuh yang tidak terlihat selalu lebih berbahaya."

Raka tertawa kecil. "Mungkin, tapi tidak semua yang tak terlihat ingin mencelakai."

Raka memperlihatkan gelang dari akar pohon Sajar di pergelangan tangannya.

"Dulu aku juga pernah diserang oleh suku Latahna," katanya pelan.

"Mereka mengurungku karena aku tak mengerti bahasa mereka. Tapi setelah aku menyentuh akar pohon ini... tiba-tiba kami bisa saling bicara. Seolah gelang ini mengikat bukan hanya tubuh, tapi juga pengertian."

Yarun'ru terdiam, menatap gelang itu lama, seolah melihat cahaya hijau berpendar halus.

"Mengatasi masalah tanpa kekerasan..." gumamnya lirih.

Ia menatap ke arah kabut yang menutupi Gunung Barumba. "Mungkin... itu pelajaran yang tak pernah benar-benar dipahami oleh bangsa Lakantara."

Raka tersenyum kecil. "Maka kita akan belajar bersama dari mereka yang masih bersembunyi di balik kabut."

Sesampainya di kaki Gunung Barumba, rasa kantuk tiba-tiba menyerang mereka berdua.

Bukan karena lelah semata - ada sesuatu di udara, lembut tapi berat, seolah kabut itu sendiri mengandung lagu yang menidurkan.

Yarun'ru mencoba menahan mata agar tetap terbuka, Raka pun menggigit bibir, memaksa dirinya sadar.

Namun tubuh mereka kian terasa ringan, langkah goyah seperti menapaki mimpi.

Perlahan, mereka terjatuh ke tanah berumput, pandangan mulai kabur.

Dari ujung kesadaran, Raka melihat sesuatu yang tak mungkin rumput yang bergoyang berubah menjadi sosok manusia; batang pohon menampakkan wajah; bahkan batu di sekitarnya membentuk bayang tubuh yang berdiri.

Sebelum gelap menelan penglihatan mereka, Raka sempat berbisik lirih,

"Yarun'ru... mereka... bukan bayangan."

Dan setelah itu, tak ada yang tersisa selain diam dan napas alam yang berhembus perlahan di kaki Barumba.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!