"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pengkhianatan dan Cambuk
Dari musim panas hingga musim dingin, ritual itu berlangsung. Serafina, dengan segala tipu daya dan alasan yang diterima Leonardo tanpa curiga—mengerjakan proyek kampus, menginap di rumah teman—ternyata menghabiskan waktunya di Mareluna. Di rumah Livia yang sepi, ditemani Elio yang setia, hanya untuk memanggil Rafael yang selalu datang dengan kepatuhan yang menyakitkan.
Tapi ada mata yang tak pernah terlelap. Seseorang—entah siapa—telah mengirimkan segunung bukti kepada Leonardo. Foto-foto berjejer di atas meja kerjanya yang megah, membongkar semua kebohongan. Serafina dan Rafael berpelukan di jalan setapak Mareluna. Mereka berciuman di bawah sinar bulan di depan rumah Livia. Bahkan, ada foto mereka berdua bersepatu roda di atas laut yang membeku, tawa Serafina yang terlihat bebas membekas di cetakan digital.
Yang paling menusuk bagi Leonardo adalah struk-struk belanja dan catatan penarikan uang tunai besar yang dilakukan Sarafina—uang yang digunakan untuk membeli barang-barang mewah bagi warga Mareluna, yang dengan mudahnya dibagikan Serafina untuk membeli kesetiaan dan membungkam mereka.
Ruangan kerja Leonardo terasa seperti ruang interogasi. Serafina berdiri kaku di depan meja kerjanya, sementara Elio berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya seperti topeng.
“Jelaskan padaku.” Suara Leonardo rendah, namun mematikan. Jarinya menunjuk tumpukan foto. “Siapa ini ... pria desa itu?”
Serafina menggigit bibirnya, matanya menatap lantai. Dia tidak akan menjawab. Tidak akan memberikan Rafael kepada amarah Papà-nya.
“Il nome,” desis Leonardo, bangkit dari kursinya. Suaranya seperti es yang retak.
*Namanya
Serafina tetap bungkam. Amarah Leonardo meledak. Dia menghampiri Serafina, tangannya yang besar meremas bahu gadis itu dengan keras, membuatnya meringis kesakitan.
“IL NOME!”
Serafina menjerit, tapi mulutnya tetap terkunci. Dia lebih takut kehilangan Rafael daripada menghadapi kemarahan ayahnya.
Lalu, dari belakang, suara Elio terdengar, hancur dan penuh penyesalan. “De Luca, Signore. Rafael De Luca.”
Keheningan yang mencekik menyelimuti ruangan. Mata Leonardo berpindah dari putrinya yang membangkang ke bodyguard-nya yang telah berkhianat.
“Bene,” ucapnya akhirnya, suaranya tiba-tiba sangat tenang, yang justru lebih menakutkan. “Serafina, kau akan dikurung di kamarmu. Kau tidak akan keluar sampai kau menjadi istri Morello.”
“NO!” teriak Serafina, tetapi dua cameriera yang kuat sudah masuk dan menggiringnya pergi, tangisnya yang histeris perlahan menjauh.
Kini, hanya tersisa Leonardo dan Elio.
“Dan kau.” Leonardo memandang Elio bagai melihat serangga hina. “Kau telah mengkhianatiku. Kau melindungi kenajisannya.”
Elio menunduk dalam-dalam. “Saya minta maaf, Signore Romano.”
“Pengampunan harus diraih,” balas Leonardo. “Dengan darah.”
Ruang bawah tanah yang lembap dan dingin. Dinding batu meneteskan air. Elio, kini tanpa jas bodyguard-nya, dalam posisi tengkurap bersandar ke kedua tangan dan jari kakinya yang gemetar di lantai, tubuh atasnya telanjang memamerkan otot-otot dan bekas luka lama. Dua pria besar berbadan kekar berdiri di sampingnya, masing-masing memegang cambuk kulit.
Leonardo duduk di sebuah kursi, menyaksikan pemandangan itu dengan ekspresi datar.
“Mulai,” perintahnya.
CTAR!
Cambuk pertama mendarat di punggung Elio, meninggalkan garis merah yang langsung membengkak. Elio mengeratkan gigi, tidak bersuara.
CTAR! CTAR!
Dua cambukan lagi. Nafas Elio mulai tersengal, keringat bercampur darah membasahi kulitnya.
“Ceritakan padaku tentang keluarga De Luca.” Suara Leonardo terdengar di antara siksaan. “Semuanya.”
Dengan suara terputus-putus, diiringi setiap sabetan cambuk, Elio berbicara. Dia bercerita tentang Matteo, mantan sopirnya yang dipecat. Tentang Rosa dengan penyakit asmanya. Tentang Giada yang sedang hamil kembar. Tentang Mila, si bungsu yang polos.
CTAR!
“Il padre ... Matteo ... ex autista ... licenziato…”
*Ayahnya ... Matteo ... mantan sopir ... dipecat...
CTAR!
“La madre ... Rosa ... asma ... salute fragile…”
*Ibunya ... Rosa ... asma ... kesehatannya rapuh...
CTAR!
“Kakak perempuannya ... Giada ... punya ... anak kembar…”
“Adik perempuannya … Mila … punya riwayat asma…”
Dengan setiap detail yang diungkapkan di antara rintihan kesakitan, sebuah rencana yang lebih kejam mulai terbentuk dalam benak Leonardo. Matanya yang tajam berbinar dengan pemahaman baru. Menyiksa Rafael secara fisik mungkin akan memuaskan sementara, tetapi itu tidak akan menghancurkan jiwanya.
Sebuah senyuman tipis dan mengerikan muncul di bibir Leonardo.
“Basta,” ucapnya, menghentikan penyiksaan.
Elio terjatuh ke lantai, punggungnya bagai karpet daging yang berdarah dan bengkak.
Leonardo berdiri, mendekati bodyguard-nya yang terluka. “Menyakiti si pria itu adalah ... biasa,” bisiknya, suaranya penuh dengan wawasan yang jahat. “Tapi merenggut keluarganya darinya ... perlahan-lahan ... itulah hukuman yang sesungguhnya.”
Dia telah memutuskan. Sasaran empuknya. Bukan Rafael, tapi orang-orang yang paling dia cintai. Dengan melukai mereka, Leonardo akan memastikan Rafael tersiksa seumur hidupnya, menyaksikan orang-orang yang dijadikan sandarannya hancur satu per satu. Itu adalah hukuman yang jauh lebih kejam, dan jauh lebih abadi.
Rencana gelap itu mulai berputar, dan Mareluna yang damai sama sekali tidak menyadari badai kebencian yang akan segera menerpanya.
...🌊🌊🌊...
Angin musim dingin yang menggigit menyambut Elio saat ia melangkah keluar dari gedung utama. Jasnya yang biasa ia kenakan dengan bangga kini hanya ditentang di bahu. Kemeja putihnya sengaja dibiarkan tidak terkancing, menutupi punggungnya yang hancur. Setiap hembusan angin yang menyentuh lukanya terasa seperti pisau berlapis garam, membuat nafasnya tersengal pendek.
Dia berjalan tertatih menuju bangunan susun tempat para bodyguard Romano tinggal—sebuah tempat yang sederhana, jauh dari kemewahan yang ia jaga setiap hari.
Begitu pintu terbuka, beberapa bodyguard yang sedang berjaga langsung memandangnya. Sorotan mata mereka bukan lagi rasa hormat, tetapi sesuatu yang lebih dalam. Kekaguman yang bercampur iba.
“Berani, Elio,” gumam salah seorang dari mereka, sambil mengangguk pelan.
“Bertahan dari segalanya untuk nona kami,” tambah yang lain, suaranya rendah penuh rasa hormat.
Elio tidak menjawab. Dia hanya menggeleng lemah, lalu berjalan menuju lift. Tubuhnya terasa sangat berat, seolah setiap langkah menghabiskan sisa tenaga yang ia miliki.
Di dalam lift yang sepi, ia bersandar ke dinding, matanya menatap angka yang terus berubah. Pikirannya berkabut oleh rasa sakit dan rasa bersalah. Dia telah gagal melindungi Sera, dan kini dia telah membocorkan rahasia yang bisa menghancurkan keluarga tak bersalah.
Pintu lift terbuka.
Elio mencoba melangkah, tapi kakinya menyerah. Dunia berputar, dan kegelapan menyambutnya dengan lembut.
BRUGH!
Beberapa bodyguard yang melihatnya segera beraksi. Dengan sigap, mereka mengangkatnya, membawanya ke kamarnya, dan membaringkannya di atas kasur dalam posisi tengkurap.
“Siapkan air hangat, antiseptik, dan perban,” perintah salah seorang bodyguard senior, mulai membersihkan luka cambukan yang masih menganga di punggung Elio.
Setiap sentuhan membuat Elio mengerang dalam ketidaksadarannya, namun para bodyguard ini melanjutkan dengan hati-hati. Mereka mungkin hanya pelayan, tetapi di antara mereka, ada kode kehormatan yang tak terucapkan.
...🌊🌊🌊...
Di sisi lain istana, dalam kamarnya yang megah, Serafina seperti singa yang terkurung. Dia merobek bantal, melempar vas bunga, dan berteriak hingga suaranya serak.
“AKU TIDAK PEDULI! AKU LEBIH MEMILIH MATI DARIPADA MENIKAHI MORELLO! AKU INGIN BERTEMU RAFAEL!” teriaknya pada Isabella, wanita yang telah membesarkannya.
“Amore mio, tenanglah,” bujuk Isabella, mencoba memeluknya. “Papà tidak main-main. Jika kau tidak menuruti, bukan hanya Rafael, seluruh keluarganya akan binasa.”
Pintu kamar terbuka. Leonardo berdiri di sana, dengan senyum tipis yang membuat darah Serafina membeku.
“Masih membahas si sampah itu, Amore mio?” ucapnya dengan nada yang hampir bersahabat. “Baiklah, mari kita buat peraturan baru. Setiap kali kau menyebut namanya, satu siksaan akan kuturunkan padanya.”
Serafina membeku, matanya terbelalak. Dia baru saja menyebut nama Rafael berulang kali.
Leonardo mengeluarkan ponselnya. “Ayo kita hitung.”
“NO! Papà, KUMOHON!” Serafina berlutut, meraih tangan Leonardo. “Jangan sakiti Rafael!”
Leonardo menatapnya dengan dingin. “Kau baru saja menyebut namanya lagi.”
Jarinya menekan tombol panggilan. “Mulai dengan yang termuda,” perintahnya ke telepon, senyumnya semakin lebar dan semakin jahat. “Mulai dari Mila.”
Teriakan Serafina memenuhi koridor, sebuah suara keputusasaan yang memohon belas kasihan yang tidak akan pernah datang. Pintu kamarnya tertutup, mengurungnya dalam neraka ciptaannya sendiri, sementara di luar, angin musim dingin terus menderu, seakan ikut meratapi nasib keluarga De Luca yang tak tahu bahwa malapetaka telah ditakdirkan untuk mereka.
...🌊🌊🌊...
“Kita harus punya anak, Rafael. Malam ini.”
Rafael tersentak, mendorongnya dengan kasar. “KAU GILA?”
“Ya! Aku jadi gila karena kau!”