NovelToon NovelToon
Black Rose

Black Rose

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Hamil di luar nikah / Dark Romance / Cintapertama / Konflik etika
Popularitas:587
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.

Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.

Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.

Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Sore itu, langit berwarna kelabu keperakan, udara terasa lembap dan berat. Di halaman belakang rumah kecilnya, Lee Yujin berdiri dalam diam, menatap tumpukan kertas dan sampah kering yang hendak ia musnahkan.

Beberapa hari telah berlalu sejak Lino Lee datang tanpa diundang, mencoba menerobos kehidupannya lagi dan lagi. Setiap malam sejak itu, Yujin tidur dengan lampu menyala dan telinganya siaga pada setiap bunyi langkah di luar pagar. Ia tahu—jika ingin benar-benar lepas, ia harus menghapus jejaknya sendiri.

Tumpukan kertas di drum besi itu bukan sekadar sampah: sebagian adalah sketsa lama, potongan catatan kerja, dan beberapa dokumen pribadi yang telah diwarnai kenangan pahit. Semuanya akan musnah sore ini.

Yujin menyalakan api kecil menggunakan korek panjang. Lidah api segera menjilat ujung kertas, perlahan merambat dan menimbulkan asap keabu-abuan yang mengepul ke udara. Ia mengambil kayu panjang, mengaduk dengan hati-hati agar pembakaran merata.

Cahaya oranye dari api memantul di matanya. Sesaat, wajahnya tampak tegar, lalu berubah lembut. Ia merasa seolah membakar bagian dari dirinya sendiri.

“Sedikit lagi,” gumamnya pelan, mengibaskan rambut yang menempel di kening.

Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, Yujin merasa sedikit tenang. Keputusannya sudah bulat: malam ini ia akan meninggalkan rumah dan mengungsi ke studio Butik Vanté. Tak akan ada lagi ketukan di pintu. Tak akan ada lagi tatapan Lino dari balik pagar.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

Sebuah suara yang familiar memecah keheningan sore itu.

“Apa yang sedang kau lakukan? Kau bisa membakar dirimu sendiri, Yujin!”

Tubuh Yujin menegang. Kayu di tangannya hampir saja terlepas. Ia berbalik cepat, dan matanya membulat.

Di balik gerbang belakang, berdiri Lino Lee, dengan kemeja putih yang dilipat sampai siku dan wajah panik yang terlihat terlalu sempurna untuk menjadi nyata.

“Oppa?” suara Yujin serak, nadanya berubah tajam. “Kau tidak seharusnya datang tanpa mengabariku.”

Namun Lino mengabaikannya. Ia menepikan kait gerbang dan masuk dengan langkah tergesa. “Api ini terlalu besar. Kau harus menyiramnya sekarang!” katanya cepat, lalu mendekat tanpa izin.

“Tidak, Oppa! Aku sudah bisa mengendalikannya,” Yujin menahan tubuh Lino dengan kedua tangan. “Kau tidak perlu menyentuh apa pun di sini!”

Tetapi di tengah ketegangan itu, kayu panjang di tangan Yujin tanpa sengaja tersentak ke dalam api. Bara api menyala, dan percikan kecil seukuran kepada korek api melompat keluar dari drum dan mendarat tepat di sisi hidungnya.

“Aduh!” jerit Yujin pelan, seketika memejamkan mata dan menyentuh hidungnya yang terasa panas.

Lino bereaksi seketika. Dalam sekejap, ia mendekat dan memegang kedua pipi Yujin dengan cepat namun lembut, matanya terfokus penuh pada luka kecil itu.

“Tunggu, jangan disentuh!” katanya tegas, suaranya terdengar seperti nada penyelamat dalam drama yang ia mainkan sendiri.

Sebelum Yujin sempat menolak, tapi Lino sudah condong mendekat. Napasnya menyapu kulit Yujin, hangat dan tergesa, sebelum ia meniup lembut serpihan bara yang menempel di sisi hidung gadis itu.

Asap bercampur aroma sabun tubuh Lino. Jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter. Dan Yujin bisa merasakan napasnya sendiri bergetar di udara yang panas.

Bagi mata luar, pemandangan itu tampak seperti dua orang yang baru saja berciuman.

Yujin terpaku. Matanya membulat, jantungnya berdegup kencang tak terkendali karena rasa takut dan tidak percaya. Ia bisa merasakan jari-jari Lino yang menekan kulit wajahnya dengan kuat, posesif, namun berpura-pura lembut.

“Sudah,” bisik Lino, matanya menatap langsung ke mata Yujin. “Sudah hilang. Kau aman sekarang.”

Ia tidak melepaskan tangannya. Tatapan itu berubah, perlahan, dari kekhawatiran menjadi sesuatu yang lebih gelap—gairah yang dipelihara oleh obsesi.

Yujin akhirnya tersadar, lalu segera menepis tangan Lino dengan kasar dan mundur dua langkah.

“Terima kasih, Oppa,” katanya terbata, matanya memancarkan kemarahan dan ketakutan sekaligus. “Tapi jangan pernah menyentuhku seperti itu lagi.”

Lino terdiam sejenak, lalu menurunkan tangannya perlahan. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang terlalu tenang untuk situasi seperti ini.

“Aku hanya khawatir,” katanya datar. “Kau bisa saja terluka karena kecerobohanmu sendiri.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti asap yang tak mau hilang.

Kemudian terdengar suara langkah di luar pagar depan membuat Yujin menoleh cepat. Ia tidak menyadari seseorang sedang berjalan melewati gang sempit di sisi rumahnya.

Han Jiya.

Gadis itu membawa kotak berisi sup buatan ibunya, dibungkus kain kecil bermotif bunga. Sejak Lino membatalkan kencan mereka tanpa alasan yang jelas, hatinya dipenuhi rasa kegelisahan. Ia ingin menemui Yujin—sahabatnya—mungkin untuk mencari ketenangan, atau mungkin hanya untuk bercerita.

Namun ketika Jiya tiba di gerbang samping rumah Yujin, langkahnya terhenti.

Dari celah pagar, ia melihat sesuatu yang menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap.

Lino dan Yujin berdiri begitu dekat. Lino menangkup wajah Yujin, sementara Yujin tampak tertegun, wajahnya memerah, bibirnya hanya sejengkal dari bibir pria itu.

Bagi Jiya, pemandangan itu terlalu jelas untuk disalahartikan.

Kotak sup di tangannya terlepas hingga jatuh ke tanah. Bunyi pecahannya pelan, tapi cukup untuk membuat dua orang di halaman belakang itu menoleh bersamaan.

Waktu seolah berhenti sejenak.

Mata Yujin dan Lino bertemu dengan mata Jiya—mata yang kini melebar, bergetar, dan basah oleh air mata yang belum sempat jatuh.

Yujin membeku. Dadanya serasa diremas. “Jiya…” bisiknya pelan, sebelum akhirnya berlari menuju sahabatnya.

Namun Jiya sudah mundur satu langkah, dua langkah dengan wajah yang pucat pasi.

“Jangan sentuh aku,” ucapnya parau, suaranya pecah. “Apa yang baru saja kalian lakukan?”

“Jiya, ini tidak seperti yang kau pikirkan! Tadi ada percikan api, dan—” kata Yujin gugup, suaranya meninggi dan tangannya gemetar. Tapi Jiya memotongnya.

“Percikan api?” tawa getir keluar dari bibir Jiya. “Percikan api macam apa yang membuat kalian berciuman di belakang rumahmu?”

Air mata akhirnya jatuh. Jiya menatap Yujin dengan ekspresi campuran sakit dan jijik.

“Kau bilang ke Sokcho hanya untuk urusan ayahnya. Dan sekarang apa ini? Kau mencuri kekasihku?”

“Tidak! Aku tidak—”

Namun Lino melangkah maju dan mengambil alih naskah seperti aktor ulung yang memainkan adegannya.

“Jiya, tunggu. Ini salah paham besar,” katanya lembut, mencoba meraih tangan Jiya. “Yujin hanya membantu—”

“Diam kau!” seru Jiya. “Kau berbohong padaku! Kau bilang ayahmu sedang sakit, kau juga membatalkan kencan kita—dan ternyata kau ada di sini? Dengan dia?”

Jiya menatap keduanya bergantian. Air mata jatuh tanpa henti. “Kalian pantas satu sama lain. Aku terlalu bodoh karena percaya pada kalian.”

“Jiya!” Yujin mencoba mendekat, tapi Jiya menepis tangannya keras.

“Aku membencimu, Yujin! Aku membenci kalian berdua!”

Dengan isakan yang mengguncang bahunya, Jiya berlari pergi meninggalkan halaman belakang yang kini terasa seperti panggung kehancuran.

Suara langkahnya menghilang di tikungan, meninggalkan aroma sup tumpah dan bara api yang mulai padam.

Yujin berlutut di tanah, air mata mengalir di wajahnya. Kotak sup yang pecah tergeletak di depan, kuahnya bercampur debu dan daun kering. Ia meraih sisi drum, berusaha berdiri, tapi lututnya gemetar hebat.

“Kau menghancurkan segalanya, Oppa…” suaranya parau. “Kau menghancurkan persahabatanku.”

Lino berdiri tak jauh darinya, bayangannya menutupi wajah Yujin yang basah oleh air mata. Pandangan matanya dingin, tapi bibirnya melengkung puas.

“Tidak, Yujin,” katanya pelan, berjongkok di depannya. “Aku tidak menghancurkan apa pun. Aku hanya menunjukkan padanya kebenaran.”

Tangannya meraih lengan Yujin, menggenggam erat hingga gadis itu mengerang pelan.

“Kebenaran apa maksudmu?” Yujin menatapnya dengan marah. “Bahwa kau adalah pembohong? Manipulator? Bahwa kau…” suaranya pecah, “kau tak bisa menerima kalau aku tidak mencintaimu?”

Senyum Lino menipis, tapi matanya berkilat tajam.

“Kau mencintaiku, Yujin. Kau hanya belum menyadarinya. Kau membutuhkanku. Kau takut kehilangan kendali tanpa aku.”

“Aku tidak mencintaimu! Aku justru membencimu!” teriak Yujin, berusaha melepaskan diri.

Namun genggaman Lino semakin kuat. Ia menarik Yujin ke dalam pelukannya, menahannya seolah ingin menanamkan rasa milik di kulit gadis itu.

“Kau akan mencintaiku,” bisiknya di telinga Yujin. “Karena sekarang, hanya aku yang tersisa. Jiya membencimu, Christopher jauh di luar kota. Tak ada siapa-siapa lagi yang berada di sisimu.”

Yujin menutup mata, tubuhnya gemetar di antara pelukan yang terasa seperti jeruji. Napasnya terputus-putus, dan hanya satu kalimat yang berputar di kepalanya—

Dia merencanakan semuanya dari awal.

Lino mengusap punggungnya untuk menenangkan Yujin, padahal setiap gerakannya adalah pernyataan kekuasaan. “Tenanglah,” katanya pelan. “Aku akan menjagamu dari semuanya. Bahkan dari dirimu sendiri.”

Langit akhirnya berubah merah tua. Cahaya senja menyapu wajah Yujin yang basah air mata dan wajah Lino yang tenang, dingin dan puas.

Dari luar pagar, suara kendaraan berlalu. Dunia terus berjalan. Tapi di halaman kecil itu, waktu seakan berhenti di antara bara yang masih menyala pelan.

Yujin menggenggam kuat lengan Lino, bukan untuk membalas, tapi untuk menahan diri agar tidak runtuh sepenuhnya.

“Kau tidak tahu apa yang baru saja kau mulai, Oppa,” katanya pelan, suaranya bergetar tapi mengandung tekad yang belum padam.

Lino menatapnya, senyum itu kembali muncul. “Kita akan lihat, Yujin. Kita akan lihat siapa yang lebih kuat.”

Pelukan itu akhirnya terlepas perlahan. Lino berdiri, menepuk debu di kemejanya, lalu melangkah ke arah gerbang.

Ketika pintu kayu menutup di belakangnya, Yujin terjatuh kembali ke tanah, menatap sisa api yang sekarat di dalam drum besi. Udara sore kini dingin, membungkus tubuhnya yang menggigil.

Ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya. Ia hanya tahu bahwa ia harus pergi malam ini juga.

Sebelum Lino kembali.

Sebelum semuanya menjadi lebih gelap dari bara yang baru saja padam.

.

.

.

.

.

.

.

ㅡ Bersambung ㅡ

1
Dian Fitriana
up
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!