Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Bab 7-
Rangga sama sekali tidak menyadari apa yang tengah terjadi di belakang punggungnya. Ia hanya tahu satu hal — bahwa misi kali ini tidak sepenuhnya gagal.
Memang cukup disayangkan, karena Luke berhasil lolos dari pengejaran. Tapi setidaknya, Dimpsay sudah berhasil ditangani. Satu beban besar telah tersingkir dari daftar mereka.
Selama Luke masih bebas berkeliaran di luar sana, tidak akan sulit bagi kelompok Night Watcher untuk melacak dan menemukannya kembali. Dunia bawah tanah punya caranya sendiri untuk berbisik.
Apalagi jika Luke nekat menyusup lagi ke Barbar City, di mana keberadaan Mahatir masih belum jelas. Saat itu, Night Watcher bisa dengan mudah meminta bantuan Mahatir untuk menjebaknya.
Sekarang, Rangga tengah duduk di kursi belakang mobil yang meluncur cepat menuju markas besar Night Watcher. Ia menatap kosong keluar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang berganti dengan cepat, pikirannya mengembara entah ke mana.
Sementara itu, di sebuah bus besar yang melaju tak jauh dari sana, rombongan orang-orang yang baru keluar dari Barbar City tampak bersemangat. Wajah mereka menyala oleh rasa kagum dan lega. Mereka memandang gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu kota metropolitan yang berpendar terang — seolah baru saja keluar dari dunia gelap menuju peradaban.
Meski Barbar City sendiri sudah termasuk modern, dibandingkan dengan dunia luar, perbedaannya tetap terasa jelas. Mereka seperti orang-orang yang baru saja keluar dari lorong sempit menuju ruang luas penuh cahaya.
Namun, masalah baru pun muncul. Kedatangan sekelompok besar orang dengan identitas asal Barbar City tentu menarik perhatian. Untung saja ada Tirto, yang membantu meloloskan mereka dengan mengandalkan reputasinya. Tanpa nama besar Tirto, aparat setempat pasti sudah menghadang dan mempersulit.
Di dalam mobil, Rangga masih diam. Ia tidak menanggapi satu pun kata-kata yang keluar dari mulut Tirto.
Tirto akhirnya menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada lebih lembut, “Sekarang keadaan Night Watcher sedang kacau karena ulahmu dan Dimpsay. Untung saja, sebagian wilayah sudah mulai stabil. Tapi meski begitu, semuanya tetap terasa rapuh. Perang memang belum pecah, tapi ketegangan ada di mana-mana. Kalau sampai benar-benar meledak, kita harus berbuat apa saja agar warga sipil tidak sampai tahu. Kalau saja kau bersedia kembali, Rangga… aku yakin kehadiranmu akan jadi semangat besar untuk mereka.”
Rangga melirik sekilas, lalu melambaikan tangannya malas. “Sudah, jangan bahas hal yang bisa bikin suasana jadi jelek. Aku tidak ingin mendengar hal semacam itu. Katakan saja, akhir-akhir ini semuanya masih aman?”
Tirto tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. “Aman dan tenang. Tidak ada hal mencurigakan yang terjadi,” jawabnya.
Namun di dalam hati, Tirto tahu bahwa ketenangan itu rapuh. Ia sadar betul, selama Rangga masih menolak kembali, akan selalu ada jarak dan kekhawatiran. Ia takut suatu saat nanti Rangga benar-benar berdiri di sisi yang berlawanan dengan Night Watcher.
Tiba-tiba, Tirto kembali bicara, seolah teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong, ada satu hal yang belum sempat aku bilang.” Ia menoleh ke Rangga. “Eben… dia dibawa kembali ke markas Night Watcher.”
Rangga segera menatapnya tajam.
Tirto melanjutkan dengan nada lesu, “Tapi dia… menghilang lagi.”
Alis Rangga naik. “Hilang? Maksudmu dia bisa kabur padahal sudah ditangkap? Jangan bilang ini ulah si tua Dirman. Apa dia sudah gila? Dia sendiri yang membuat misi rahasia para Zero untuk menangkap Eben! Aku sudah bersusah payah memastikan misinya berhasil, dan dia malah melepaskannya lagi?”
Nada suaranya meninggi, menunjukkan kejengkelan yang ia tahan sejak lama. Ia tahu, kalau Eben bisa menghilang, pasti ada tangan-tangan tersembunyi di baliknya.
“Dirman tidak menjelaskan dengan jelas,” jawab Tirto pelan, “Tapi aku juga punya dugaan yang sama.”
Rangga terdiam cukup lama. Ia bersandar, menatap langit-langit mobil. Dalam hatinya, ia mulai berpikir — apa sebenarnya yang direncanakan Dirman? Setiap misi Zero adalah duri yang menancap di pundak mereka. Dan setiap kali Rangga berhasil mencabut satu, duri lain selalu muncul menggantikannya.
“Mungkin ini memang ulah Dirman,” kata Tirto lagi, seolah menegaskan pikirannya. “Bagaimanapun juga, Eben itu orang yang dia besarkan dan latih sendiri. Mungkin ada rasa iba yang membuatnya sulit melepaskan. Tapi bisa juga… Dirman punya rencana lain yang kita belum tahu.”
Rangga menghela napas malas, lalu berkata datar, “Terserahlah. Aku tidak mau ikut campur. Aku bukan bagian dari Night Watcher lagi.”
Tirto tersenyum getir, tapi tidak menanggapi. Mobil terus melaju membelah malam.
Setelah hampir dua jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di markas besar Night Watcher yang berada di wilayah Lyren Haven, di kaki gunung yang dikelilingi hutan lebat.
Rombongan orang yang baru keluar dari Barbar City sudah tiba lebih dulu. Di antara mereka ada yang cukup kaya, memiliki uang dan properti di luar kota itu. Rangga berencana membiarkan mereka segera berbaur dan hidup mandiri. Tapi bagi yang tidak memiliki apa pun, mereka akan bekerja di bawah rekan-rekan yang memiliki usaha sendiri.
Soal tempat tinggal, Rangga berjanji akan mengaturnya perlahan. Ia tahu itu bukan perkara sehari dua hari. Tapi ia juga tahu, kalau suatu saat orang-orang ini dibutuhkan kembali, mereka akan bisa berkumpul dengan mudah. Seribu enam ratus orang bukan jumlah kecil — kekuatan yang bisa menjadi senjata rahasia di masa depan.
Begitu turun dari mobil, Rangga langsung melihat beberapa orang yang dikenalnya, termasuk Nindya dan Sisil Bahri. Walaupun malam sudah larut, suasana di sekitar markas justru masih ramai. Banyak orang belum tidur, sibuk menyambut kedatangan mereka.
Begitu melihat Rangga, mereka langsung bersorak riang. Sorakan itu menggema di udara malam. Tidak ada yang peduli meski udara dingin menusuk. Semua hanya merasa lega karena berhasil keluar dari Barbar City dengan selamat.
Setiap orang tahu betapa kerasnya hidup di sana — di dunia tanpa hukum, di mana nyawa murah seperti pasir di jalan. Kini, mereka akhirnya bebas.
Untung saja markas Night Watcher berada di tengah hutan dan jauh dari pemukiman warga. Kalau tidak, sorakan itu pasti akan membuat penduduk sekitar terbangun dan mengira ada pertandingan sepak bola tengah malam.
Rangga menghampiri Nindya dan langsung mengacak rambut gadis itu dengan tawa kecil. “Ckckck, bocah ini… masih saja begini.”
Nindya — yang berdiri di samping Sisil — mendengus dan memanyunkan bibir. “Aku sudah dewasa, jangan seenaknya mengacak rambutku, Bang!”
“Benar!” seru Krish yang tiba-tiba ikut nimbrung. “Nindya sudah besar, sudah waktunya menikah! Eh, gimana kalau sama aku? Ganteng, kuat, penuh pesona—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, puluhan pasang mata langsung menatap tajam. Krish pun segera mengangkat tangan, tersenyum kaku. “A-aku cuma bercanda, serius!”
Rangga menggeleng sambil menahan tawa. “Sudahlah, selesai acara penyambutannya, kalian semua istirahat. Kita punya hari panjang besok.”
Namun kenyataannya, malam itu tidak ada kata istirahat.
Menjelang dini hari, Devan sudah siap di depan markas, mengantar Rangga dan Raysia ke bandara. Semua dokumen dan identitas baru untuk Raysia sudah selesai diurus.
Raysia duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela mobil. Angin pagi berhembus lembut menerpa wajahnya. Ia tampak diam, seolah pikirannya melayang jauh.
Rangga yang duduk di sampingnya mengira wanita itu sedang cemas memikirkan misinya. “Jangan terlalu dipikirkan,” katanya pelan. “Aku kenal seseorang di Kota Yanzim. Dia tahu banyak soal sejarah keluarga besar di sana. Kalau dia tidak tahu, aku masih bisa menggunakan koneksi lamaku di Night Watcher untuk mengakses data. Tidak mungkin keluarga sebesar itu tidak meninggalkan jejak apa pun.”
Raysia menoleh pelan, lalu tersenyum lembut. “Kamu salah paham. Aku tidak sedang khawatir. Aku cuma… terpikat oleh pemandangan yang sudah lama tidak kulihat. Dunia luar ini, ternyata masih seindah yang kuingat.”
Rangga tertegun sejenak, baru sadar dugaannya keliru.
Raysia lalu menatapnya dengan tatapan menggoda. “Ngomong-ngomong, kita akan tinggal di hotel. Menurutmu, kita dapat satu kamar… atau dua kamar?”
Pertanyaannya terdengar ringan, tapi cukup untuk membuat Rangga terbatuk kikuk. “Dua kamar lah! Astaga, jangan berpikir aneh-aneh, Tante Raysia. Bahaya kalau ada yang salah paham!”
Raysia spontan melotot. “Kalau kau panggil aku ‘tante’ lagi, mulutmu akan kurobek, Rangga!”
“Tante Raysia!” Rangga dan Devan berteriak bersamaan, menahan tawa.
Raysia hanya bisa memutar bola mata sambil tersenyum kecil. Walau kesal, hatinya hangat. Bersama mereka, ia merasa seperti kembali ke rumah — tempat yang penuh kehangatan dan tawa.
Sesampainya di bandara, Devan menepuk bahu Rangga. “Pergilah cepat, dan pulanglah lebih cepat,” katanya tegas.
Rangga mengangguk. Ia tahu misi kali ini tidak akan mudah, tapi bersama Raysia, ia yakin bisa menghadapinya.
Menurut Raysia, keluarga Stanley ini tidak lebih kuat dari Dimpsay. Dan Rangga sudah berhasil menumbangkan Dimpsay. Maka, Rangga rasa melawan keluarga itu, tak akan butuh banyak orang.
Mereka pun melangkah menuju area keberangkatan.
Sementara itu, di markas besar Night Watcher, suasana masih ramai. Di halaman depan, Puquh berdiri termenung menatap gunung dari kejauhan. Udara pagi terasa segar menusuk paru-parunya.
Krish yang lewat di dekatnya langsung menepuk bahunya. “Hei, Kak Puquh! Ngapain bengong di sini? Gimana? Udara di sini lebih segar dari Barbar City, kan?”
Puquh menoleh dengan wajah serius. Ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada yakin, “Aku… sepertinya sudah naik tingkat. Mungkin… sudah setara dewa!”
Krish melongo, sementara yang lain tertawa terbahak-bahak.
Malam panjang itu pun berakhir dengan tawa yang menggema di lembah Lyren Haven.
Wah berarti Di Tim Rangga udah ada 4 Tingkat Dewa dong ya.. Makin keren nih.. gimana ya Kisah selanjutnya..
Bersambung.
thumb up buat thor