"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Pagi itu Liora melangkah anggun memasuki area kampus. Dua bodyguard yang disewa papanya mengikuti dari kejauhan. Mereka menjelma bayangan yang tak terpisahkan. Dalam hati Liora tersenyum, teringat akan ekspresi Nayshila yang iri sekaligus dengki sebab bagaimanapun juga papanya lebih mengutamakan dia.
Kalau dipikir-pikir selama ini keenakan Nayshila jika aku pergi dari rumah. Dia menjadi sok berkuasa dan menganggap sudah menang telah merebut papa. Oh tidak—mulai sekarang hidupmu tidak akan pernah tenang lagi.
"Nona, kita sudah sampai kampus!" ucap salah satu bodyguard yang bernama Mark. Sementara Julio dengan gesit membukakan pintu mobil.
“Aku tidak ingin jadi bahan gosip. Tunggu saja di parkiran, nanti jemput aku sepulang kuliah,” ucapnya tegas. Kedua pria itu saling pandang, kemudian mengangguk patuh.
Sejenak, Liora merasa lega. Setidaknya ia bisa menikmati hari seperti mahasiswi normal. Namun rasa aman itu hanya bertahan sebentar.
Saat jam istirahat, ia masuk ke toilet perempuan. Hanya ada dirinya di dalam, hingga tiba-tiba suara pintu berderit perlahan. Jantungnya mencelos.
Sosok itu berdiri menutup jalan keluar—Daichi.
Mata tajamnya menyala seperti bara, bibirnya melengkung dalam senyum smirk yang Liora kenal betul.
“Sayang…” bisiknya lirih, suaranya mengalir dingin. “Mau sepuluh bodyguard sekalipun, aku tetap bisa ada di hadapanmu. Kalau aku ingin, tak ada yang bisa menghalangi.”
Liora mundur selangkah, punggungnya hampir menyentuh dinding. “Aku tidak mempekerjakan mereka untukmu. Aku takut Nayshila menyuruh orang mencelakaiku,” suaranya bergetar, tapi tetap berusaha terdengar waras.
Daichi mendekat selangkah demi selangkah, hingga napas panasnya beradu dengan hembusan nafas Liora. “Alasan yang manis. Tapi aku datang bukan untuk membicarakan mereka.” Ia mencondongkan tubuh, menunduk di sisi telinga Liora. “Aku datang untuk menagih janji kecilmu semalam.”
“Tidak di sini,” Liora berbisik panik. “Ini kampus.”
Daichi terkekeh pelan, nadanya berbahaya. Tatapannya dalam, aura dominannya menekan ruang sempit itu. Ujung jarinya menyusuri rahang Liora, lalu turun ke tengkuk, membuat gadis itu merinding.
“Kau pikir aku peduli tempat?” suaranya rendah, nyaris seperti mantra. “Janji tetaplah janji.”
Ketika bibirnya hampir menyentuh, Liora merasa seluruh roh seakan tercabut. Campuran takut, malu, dan sesuatu yang tak berani ia akui membelit dirinya.
Tapi Daichi menarik pinggangnya, lalu melumat bibirnya dengan rakus. Awalnya Liora mencoba memberontak, tapi sungguh siapkan tubuhnya kalah oleh sensasi liar dan membara yang Daichi berikan.
Nafas Liora tersengal-sengal, tangannya berusaha mendorong dada Daichi tapi lelaki itu justru berganti mengecup lehernya bahkan menghisapnya dengan kuat.
"Ahh, apa kau vampir!" umpat Liora meringis kesakitan.
Daichi melepaskan Liora, sudut bibirnya tersenyum smirk. " Aku hanya memberimu peringatan, jangan lupa jika sebulan belum berakhir!"
"Iya aku tahu!" sungut Liora merasa kesal.
Daichi pun mengusap pundak Liora dengan lembut, " Jadi—kapan kamu akan kembali ke apartemen mu? Aku tidak bisa tidur nyenyak tanpamu."
Pertanyaan Daichi terdengar ambigu, membuat Liora bergidik merinding.
"Aku nggak akan tinggal di apartemen lagi, jika aku pergi dari rumah terlalu menguntungkan bagi Nayshila!" jawab Liora pada akhirnya.
"Kau menghindariku?" sela Daichi mulai menatap tajam.
"Tidak! Untuk apa aku menghindarimu? Toh aku pulang di rumah papa kamu juga bisa menyusup ke sana bukan?" sela Liora mencari-cari alasan.
Daichi menganggukkan kepalanya, jawaban Liora barusan dianggapnya masuk akal.
"Apa kau tidak rindu masakan aku?" tanya Daichi kemudian.
Liora kembali terdiam, demi apapun setelah mencoba masakan Daichi selera makannya menjadi pemilih.
"Bagaimana jika sepulang dari kampus aku ke apartemen, tapi malamnya aku pulang ke papa? Dengan begitu kita bisa makan siang bersama," tawar Liora mencoba membujuk. Yang penting dia tidak melupakan tugasnya sebagai 'pacar' Daichi. Tapi juga dalam zona nyaman sebab jika di rumah papanya Daichi tak mungkin akan berbuat yang berbahaya.
"Oke, kalau gitu aku nanti akan memasakkan sesuatu yang enak untukmu," jawab Daichi. Siapa sangka, jika lelaki itu akan menyetujuinya semudah ini. Bahkan sebelum pergi, Daichi memeluknya sebentar dan mengecup keningnya.
Liora terpana untuk sejenak, padahal dia hanya mainan tapi kenapa Daichi mulai bersikap baik?
*
Langkah Liora terasa berat ketika meninggalkan ruang kuliah sore itu. Matahari condong ke barat, menyinari wajahnya yang tampak lelah. Seharian ia berusaha menjadi mahasiswi biasa—menyimak materi, menyapa teman, tertawa kecil. Namun bayangan Daichi tetap melekat, seolah mengikuti ke mana pun ia pergi.
Dua bodyguard yang disewa papanya, Mark dan Julio, menunggu di parkiran sesuai perintah. Liora sengaja meminta mereka tidak menempel terlalu dekat. Ia tidak ingin jadi bahan gosip di kampus. Tapi di hatinya, ia sadar semua itu percuma. Sepandai apa pun ia menghindar, Daichi selalu menemukan celah. Lelaki itu seperti belenggu yang mustahil dilepaskan.
Baru saja ia menghela napas panjang, suara menyebalkan memecah pikirannya.
“Eh, tadi aku lihat sesuatu di toilet.”
Queensha menghadang jalannya. Gadis itu berdiri dengan senyum sinis, tangan terlipat di dada, menatap Liora dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya penuh provokasi.
Liora berhenti sejenak, suaranya datar. “Apa urusannya denganmu?”
Queensha terkekeh. “Kau kira aku tidak tahu? Ada cowok asing masuk toilet bersamamu. Dia jelas bukan mahasiswa sini. Jangan sok suci, Li.”
Liora memilih diam. Ia melangkah ingin melewati, tetapi Queensha kembali menghadang, kali ini lebih tajam.
“Kau itu sudah punya pacar. Jangan gatal dengan cowok lain. Malu-maluin.”
Kata-kata itu menusuk, tapi Liora tidak ingin meladeni. Tenaganya sudah terkuras oleh ketakutan pada Daichi. Menghadapi ocehan Queensha terasa terlalu remeh.
Namun sebelum Liora sempat bicara, dua sosok tegap mendekat. Mark dan Julio muncul dari arah gerbang, langkah mereka mantap.
“Nona, ada masalah?” tanya Mark, suaranya dalam, penuh wibawa.
Queensha sempat tertegun. Ia tidak menduga Liora benar-benar dikawal. “Ini… bukan urusan kalian.”
Julio berdiri di sisi lain, tatapannya dingin menusuk. “Kalau bukan urusan kami, jangan berani menghadang jalan nona. Mundur sebelum kami yang menyingkirkanmu.”
Queensha menggertakkan gigi, wajahnya memerah. Ia melirik ke sekeliling, menyadari beberapa mahasiswa mulai memperhatikan. Dengan kesal ia mundur selangkah, meski masih mencoba menjaga harga diri.
“Huh, ternyata memang benar kau bawa bodyguard. Liora yang katanya sederhana… ternyata manja juga.” Ucapannya sengaja dilontarkan keras, biar terdengar orang lain.
Liora menatapnya sekilas, lalu menghela napas. Ia terlalu lelah untuk membantah.
Mark segera merunduk hormat kecil. “Mari, nona. Kami antar ke mobil.”
Julio menambahkan, suaranya rendah tapi tegas. “Tak usah hiraukan kata-kata orang. Tugas kami hanya memastikan nona aman.”
Liora akhirnya mengangguk. Bukan karena ia ingin, melainkan karena tenaganya sudah habis. Ia membiarkan kedua bodyguard itu mengapitnya, membawa pergi dari kerumunan.
Di balik langkahnya yang tenang, hatinya tetap resah. Ia tahu, ancaman terbesar bukan Queensha dengan mulut beracunnya. Ancaman terbesar tetaplah Daichi—sosok yang bisa menembus semua pengamanan, bahkan dinding hatinya yang rapuh.
semoga sehat selalu
gemes deh bacanya