Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buka Diri
Untuk kedua kalinya dalam kurang dari satu bulan terakhir, kejadian Amori tertidur lelap sehabis menangis di pelukan Lucas berakhir sama. Ketika bangun dari tidurnya, Amori berada di kamar Lucas, dan pria itu sudah tak ada di ranjang. Bedanya kali ini, ia langsung bangkit dari sana.
Ketika turun ke lantai dasar, Lucas terlihat sedang berbicara di telepon dengan posisi membelakanginya. Samar-samar Amori mendengar Lucas bicara dengan intonasi yang terdengar serius.
“I don’t want this issue to escalate any further. If she needs financial support for her child, give what we reasonably can, and after that I don’t want to be disturbed again with this matter.”
*Saya tidak mau masalah ini bertambah jauh. Jika dia butuh uang untuk anaknya, berikan sejumlah uang yang kita bisa, dan setelah itu saya tidak mau diganggu lagi soal masalah ini
Langkah Amori sengaja dibuat pelan. Ia akan menunggu Lucas selesai dengan urusannya, karena ia ingin berterima kasih langsung pada pria itu. “Whatever statement you decide to make, that’s up to you. I just want my name to stop being associated with that woman.”
*Terserah kalian mau membuat pernyataan seperti apa. Saya cuma ingin nama saya berhenti disangkut pautkan dengan wanita itu
Amori melihat Lucas menutup panggilan itu dengan kesal. Tangannya naik, memijat keningnya yang mungkin sakit karena apapun perbincangan yang baru saja selesai itu, jelas membuatnya kesal dan frustasi.
Namun wajah kesalnya langsung menghilang ketika melihat Amori berdiri di dekat tangga. Agak jauh, dan ragu-ragu. Seolah menunggunya memberikan izin untuk mendekat..
“Hei.” Lucas langsung menghampiri Amori dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Sebuah kecupan hangat Lucas berikan di pelipisnya Amori yang tak menolak lagi.
Amori suka dan merasa sangat hangat dengan perlakuan Lucas. “Gimana, kamu ngerasa lebih baik?” Lucas mengelus pipi Amori dengan ibu jarinya pelan-pelan. “Masih bengkak, tapi saya harap sakitnya udah reda.” Amori mengangguk. Ia mendongak untuk membalas tatapan Lucas.
“Udah nggak sakit.” senyumnya terbit walau tipis. “Terima kasih, Lucas.”
“Untuk?”
“Untuk perhatian, dan waktu kamu. Maaf, karena saya tiba-tiba ganggu istirahat kamu, padahal kamu baru aja selesai terapi.” Lucas menggeleng pelan.
“Bukan masalah.” katanya. “Lapar?” Amori spontan melihat ke belakang tubuh Lucas, ke arah area meja makan dimana disana, ada bekas kemasan sebuah resto yang tercecer.
“Saya, harusnya yang buat makan malam.” kata Amori penuh sesal.
“Nggak apa-apa. Saya bukan bos jahat, yang akan maksa kamu kerja saat sedang kurang sehat.” Lucas menggenggam tangan Amori, dan membawanya mendekat ke arah meja makan.
“Kalau Dani sakit, kamu juga begini?” Lucas terkekeh. Ia mendudukkan Amori di salah satu bangku, lalu membuka sebuah kemasan makanan baru untuk gadis itu.
“Cuma sama kamu.” Amori berusaha menahan tawa, tapi pipinya sudah merona terang karena tersipu. “Makan dulu.” tatapan Amori mengikuti Lucas yang berjalan memutar, dan duduk di hadapannya. “Setelah ini, saya mau kamu cerita soal apa yang kamu alami hari ini.”
“Lucas, tapi—”
“Saya sudah terlanjur ikut campur saat kamu masuk kamar saya dan menunjukkan wajah kamu yang memar, Amor. Saya harus tau.” Amori tak sanggup membantah. Ia menarik napas dalam dan akhirnya mengangguk. Ia kemudian makan, karena perutnya benar-benar lapar.
“Pelan-pelan.” Amori hampir tersedak karena Lucas menyeka sudut bibirnya dan dengan santai menjilat sisa saus yang ada di jarinya. Namun seolah menikmati ekspresi Amori yang kaget sekaligus malu, Lucas terkekeh dan malah semakin giat mengganggu gadis itu.
Setelah selesai makan dan membersihkan diri, Amori dan Lucas kembali berkumpul di ruang tengah. Hari sudah hampir tengah malam, dan Lucas seolah tak lelah merawatnya walau kondisi lututnya pun belum pulih benar. Segelas teh hangat tersedia di atas meja ketika Amori datang, dan langsung membuat dada Amori hangat walau belum meminumnya.
“Sini, masuk.” Lucas membuka selimut yang ia kenakan, dan menanti Amori ikut masuk ke dalamnya. Setelah Amori masuk dan duduk bersisian dengannya, Lucas masih juga sibuk memastikan kaki Amori tertutup sempurna dengan selimut, walau gerakannya terbatas. Kaki kanannya naik ke atas meja, dengan perban besar yang menarik perhatian Amori.
“Gimana tadi, terapinya? Lutut kamu masih nyeri?”
“Nggak, udah jauh lebih baik. Besok perbannya udah bisa dibuka.” Amori tidak terlihat yakin, membuat Lucas gemas dan mencuri kecupan pada pipi Amori.
“Beneran. Saya nggak bohong.” Lucas meraih cangkir teh hangat dan menaruhnya di tangan Amori. “Minum dulu. Disini bukan saya yang harus dikhawatirkan.” ucapnya pelan dan tenang. Tatapannya meneliti sisi wajah Amori yang masih memerah, walau bengkaknya sudah jauh berkurang.
Amori menunduk, menyesap sedikit untuk menenangkan degup jantungnya. Keheningan di antara mereka yang terjadi walau hanya untuk beberapa saat membuat hantinya semakin berdebar. Setelah tenggorokannya tak lagi kering, Amori menaruh cangkirnya.
“Amor.” Kini Lucas benar-benar mengambil alih situasi. Suaranya jadi lebih dalam daripada sebelumnya. Matanya mengunci pada Amori, dengan posisi duduk yang agak miring agar bisa melihat wajah Amori lebih jelas.
“Saya pernah janji, nggak akan memaksa kamu untuk cerita kalau kamu belum siap. Tapi lihat saya—” tangannya mengangkat dagu Amori perlahan, memaksa mata mereka bertemu. “---kamu pikir saya bisa tenang setelah lihat kamu pulang dengan wajah yang lebam seperti tadi?”
Amori buru-buru menurunkan pandangannya, bibirnya bergetar. “Lucas, saya—”
Lucas menghela napas berat, lalu jemarinya menggenggam tangan Amori lebih erat. “Terus terang, tanpa kamu cerita pun saya sudah suruh Dani untuk cari tahu. Tapi saya berharap besar, saya tahu semua itu dari kamu. Saya berharap, kamu akan melibatkan saya, dan kasih saya sedikit kepercayaan untuk membantu kamu. Melibatkan saya bukan hanya untuk ada disaat kamu terpuruk dan terlanjur terluka seperti tadi, tapi juga untuk jaga kamu. Dan mencegah kamu terluka lagi.”
Bibir Amori melengkung turun. Ia ingin menangis lagi karena terharu. Perutnya terasa hangat dan geli karena perhatian Lucas. Entah mengapa, ia benar-benar merasa tenang mendengar ucapan Lucas. Entah bagaimana, ia merasakan ketulusan yang penuh dari pria yang belum genap satu bulan ia kenal itu.
“Jadi kasih tau saya, siapa yang melakukan ini ke kamu?”
Amori terdiam. Hatinya berkecamuk. Disatu sisi, ia ingin sekali mengadu, ingin melepas semua beban. Tapi rasa takut dan rasa bersalah menahannya. Air matanya menggenang lagi, dan Lucas hanya bisa mendesah pelan sebelum menarik Amori lebih rapat ke pelukannya.
“Amor, saya cuma mau jaga kamu.” Amori membalas pelukan Lucas tak kalah erat. Ia merasa, belakangan ia benar-benar suka saat berdekatan dengan Lucas. Ada rasa ingin selalu dekat, dan kecewa ketika mereka harus berjauhan.
“Damian, Lucas. Damian yang tampar aku.” adunya seperti anak kecil. Mendengar Amori yang akhirnya membuka diri, Lucas mendesah lega. Tangannya terus menarik tubuh Amori agar lebih dekat, walau tubuh mereka nyatanya sudah menempel erat.
“Thank you, thank you for telling me. Setelah ini, saya pastikan dia nggak akan berani nyakitin kamu lagi. Saya jamin dia nggak akan berani ngasi lihat wajahnya ke kamu lagi.” Lucas mencium pelipis Amori dalam-dalam. Dan malam itu, Dani tidak pulang. Meninggalkan Amori dan Lucas yang sama-sama tidak rela melepas pelukan, dan berakhir tertidur di sofa.
***
Bersambung....