Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Motor Jack melaju dengan kecepatan rendah di jalan raya, semilir angin sore berhembus menerpa kulitnya. Pemuda itu membelokan motornya Kearah jalan yang menuju komplek perumahan miliknya.
Namun, saat dia berada di pertengahan jalan tiba-tiba segerombolan pemotor muncul. Jack menatap para pemotor itu dari kaca spion, dia merasa tidak asing dengan para pemotor itu.
Detik berikutnya, dia menggeram marah dan menambah laju motornya dengan kecepatan tinggi.
"Sialan!" umpatnya kasar.
Dari arah belakang para pemotor itu berteriak heboh, menyuruhnya untuk berhenti tapi Jack sama sekali tidak menggubris perintah tersebut.
Jalan yang dia lalui cukup sepi, Jack yang panik malah membawa motornya jauh ke dalam hutan. Dia benar-benar tidak punya niat untuk berkelahi saat ini, tanpa sengaja dia melihat jurang di depannya.
"Brengsek! Kok bisa ketemu mereka di sini sih?" ujarnya panik.
Saat dia hendak menarik rem motornya, jurang itu sudah berjarak sangat dekat hingga dia tak punya kesempatan untuk menyelamatkan motornya, Jack melompat dari motornya dan membiarkan kendaraan itu jatuh begitu saja.
Tepat saat itulah segerombolan pemuda datang dan berhenti di depan Jack. Senyum mereka tampak menyebalkan, terlebih seorang pemuda yang yang berdiri di barisan paling depan.
"Mau kabur ke mana lo?" tanya pemuda bernama Deva itu.
"Mau apa lo ke sini?"
"Mukul lo." Jawab Devan tanpa beban.
Detik berikutnya, para anggota itu mengeroyok Jack. Sebisa mungkin Jack melawan, tapi mereka yang berjumlah lebih dari tiga orang membuatnya kewelahan. Pada akhirnya dia tak bisa menangkis semua serangan yang datang.
"Ini akibatnya kalo lo berani ngusik geng gue." Kata Devan dingin.
Jack meludah ke samping, darah keluar dari mulutnya. "Gue nggak pernah ngusik geng kalian."
"Berisik! Kalo lo nggak mau kejadian kayak gini terulang, suruh kakak lo balik ke geng gue."
Setelah mengatakan hal itu, Devan dan gengnya bergegas pergi dari sana tanpa ada niat untuk menolong Jack lebih dulu.
***
"Shhh..." Jack menghapus darah yang keluar dari dahinya dengan punggung tangan.
Hampir saja dia kehilangan nyawanya setelah tadi nyaris jatuh ke dasar jurang, meski dia tak bisa menghindari pukulan dari Devan dan gengnya setidaknya dia masih bisa pulang ke rumah.
Menarik napas panjang, Jack berjalan ke arah rumah kedua orang tuanya. Dia melangkah tertatih menuju pintu utama setelah gerbang terbuka oleh satpam yang berjaga di sana.
Saat hendak meraih handle pintu, tiba-tiba saja pintu itu terbuka lebih dulu menampilkan sosok ayahnya yang sudah berdiri di depannya dengan tatapan tajam.
"Di mana motormu?" John bertanya dengan suara serak.
Pria itu sudah terbiasa melihat putranya pulang dengan kondisi babak belur, entah itu di bagian wajahnya atau bagian tubuh lainnya.
"Di hancurin sama geng motor."
"Geng motor?" tanya John ragu.
Jack mengangguk.
"Kamu punya masalah sama geng motor, Jack?"
"Nggak."
John menaikan sebelah alisnya, ''Jangan bohong."
Jack berdecak. "Bisa nggak sih, Papi percaya sama aku sekali aja."
"Cukup." Potong John. "Di mana motor kamu sekarang? Jawab jangan banyak alasan."
Jack tidak menjawab pertanyaan John.
"Jawab Papi, Jack."
Namun, lagi dan lagi Jack mengabaikan pertanyaan ayahnya.
"Jawab! Atau Papi pukul."
Jack tersenyum sinis. "Memangnya Papi berani mukul aku?"
"Jack..." nada suara John terdengar mengancam.
Jack menghela napas kasar. "Motor aku jatuh ke jurang, Pi."
John menatap putra tak percaya, "Kamu itu sudah besar, Jack. Kenapa bisa ceroboh kayak gitu? Apa belum cukup semua kekacauan yang kamu lakukan selama ini? Kapan kamu mau berubah, Jack?!"
Jack tertegun saat ayahnya membentaknya. Dia menatap ayahnya sekilas sebelum akhirnya dia berbalik dan keluar dari rumah besar itu. Dia mengabaikan panggilan dari ayahnya yang menyuruhnya kembali ke dalam rumah.
Jack terus berlari dan membuka gerbang dengan paksa, mengabaikan tatapan satpam yang berjaga di pos tersebut. Setelah berhasil keluar, dia melanjutkan langkahnya dengan tertatih menuju ke arah trotoar jalan.
Malam ini, Jack memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Dia menghentikan langkahnya di bawah pohon besar yang menjulang tinggi di pinggir jalan, suasana jalan itu sangat sepi hanya ada cahaya dari lampu di tepi jalan yang menerangi sebagian jalanan itu.
Setelah kematian tunangannya, dia seperti kehilangan arah dan arti hidup. Sejak itu pula Jack belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, dia belum siap untuk membuka hatinya kembali.
Meski tak di pungkiri kalau dia kesepian, sendirian, dan begitu menyedihkan sebagai seorang laki-laki.
Jack memejamkan mata, menikmati angin malam yang berhembus kencang menerpa wajahnya.
"Salsa..." Jack tersenyum getir hingga tanpa sadar air matanya yang sejak tadi ditahannya mengalir turun. Jack merindukan Salsa. "Apa gue harus mati supaya bisa ketemu lagi sama Salsa?"
"Bodoh namanya kalo lo berpikir kayak gitu."
Jack membuka mata setelah mendengar suara seseorang dari balik punggungnya. Dia berbalik badan dan melihat sosok Deva yang entah sejak kapan sudah ada di sana. Gadis itu membenarkan letak ranselnya yang sempat melorot dan melangkah ke arahnya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Jack parau.