JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. SEMAKIN PARAH
Malam itu, hujan baru saja reda. Bandung kembali diselimuti kabut tipis yang merayap di sela-sela pepohonan dan genting rumah. Jalanan masih basah, lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat yang bergetar diterpa angin. Di kamar Dewa, hanya ada suara detak jam dinding dan desiran angin yang sesekali menembus celah jendela.
Dewa berbaring, matanya terpejam, tapi pikirannya gelisah. Sejak 'ritual' aneh di rumah Ki Jatmiko dua minggu lalu, perasaan tidak nyaman seperti terus mengikuti dirinya. Malam-malam seminggu sebelumnya ia hanya dihantui mimpi samar, bayangan hitam, suara orang berbisik, dan jeritan yang tidak jelas asalnya. Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa nyata.
Ia ingat dua hari lalu ia melihat sosok perempuan mengerikan di sudut kamarnya, bahkan sebuah tulisan di kaca yang mana langsung menghilang ketika Dewa ingin menghapusnya.
Dia benci akan rasa tidak tenang ini.
"Sialan," umpat Dewa kesal, entah kesal kepada apa.
Klek.
Lampu kamar Dewa berkedip sekali. Dewa membuka mata. Ia menoleh ke arah lampu, yang masih menyala redup. Napasnya terasa berat, seperti ada udara dingin menekan dadanya. Ia mencoba kembali memejamkan mata, tapi telinganya menangkap suara samar.
"Dewaaa ...."
Bisikan itu lirih, tapi jelas, terdengar tepat di telinga kanannya. Dewa langsung terlonjak bangun, memandang sekeliling kamar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
"Ah, halusinasi," gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun detik berikutnya, ia melihat sesuatu. Dari pojok kamar, dekat lemari, ada bayangan hitam. Awalnya samar, seperti coretan gelap di udara. Lalu perlahan semakin jelas: sesosok tubuh kurus tinggi dengan wajah buram, matanya kosong seperti lubang hitam.
Dewa tercekat. Tubuhnya kaku. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri mematung sambil menatapnya.
"Si-sial." Dewa meraih ponselnya di meja samping tempat tidur, menyalakan layar untuk cahaya tambahan. Tapi ketika cahaya ponsel menerangi sudut kamar, sosok itu menghilang.
Deg. Deg. Deg.
Jantung Dewa berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Ia buru-buru mematikan lampu kamar dan mencoba tidur lagi. Namun begitu matanya hampir terpejam, ia mendengar suara lain.
Ketukan.
Pelan, ritmis, dari arah jendela kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
Dewa menahan napas. Dengan berani ia menoleh ke arah jendela. Hanya tirai putih tipis yang bergoyang diterpa angin malam. Tapi ketukan itu terus berulang. Lebih keras.
Tok. Tok. Tok.
"Siapa?!" teriak Dewa dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban.
Ia memberanikan diri bangkit dari ranjang, melangkah ke arah jendela, dan menarik tirai dengan cepat. Kosong. Jalan di luar sepi, hanya basah sisa hujan. Tidak ada orang. Tidak ada apa pun.
Dewa menghela napas lega. Tapi saat ia hendak menutup tirai kembali, sesuatu tiba-tiba menempel di kaca jendela.
Sebuah wajah pucat, penuh luka lebam, mata melotot keluar dari rongganya, menatap lurus ke arah Dewa. Darah menetes dari sudut bibirnya, membentuk garis merah di kaca.
"AAARGHH!!!"
Dewa menjerit dan jatuh terduduk. Wajah itu lenyap seketika, meninggalkan kaca jendela yang basah oleh embun malam.
Napasnya memburu. Tangannya gemetar. Ia berlari kembali ke ranjang, menyelimuti tubuhnya hingga kepala, berusaha menutup mata rapat-rapat. Tapi justru dalam kegelapan selimut itu, bayangan-bayangan muncul lebih jelas.
Sosok-sosok tak berbentuk merayap, tangan-tangan kurus berusaha meraih dirinya. Suara rintihan memenuhi kepalanya.
"Ikut ... ikut ... ikut kami ...."
Dewa hampir menangis. Ia memejamkan mata lebih kuat, menggenggam kepalan tangannya, berusaha tidak peduli. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa banyak hal tidak masuk akal yang ia dengar dan lihat akhir-akhir ini? Membuatnya stres dan merasa seperti orang gila.
Namun tubuhnya tiba-tiba terasa berat ketika Dewa sibuk dengan pikirannya, seperti ada yang menindih. Dewa tercekik. Napasnya terhenti.
Matanya terbuka paksa, dan di atas tubuhnya, ada sosok perempuan berambut panjang kusut, wajahnya putih biru seperti kulit yang membusuk dalam air. Sosok itu menatap langsung ke wajah Dewa dari jarak hanya beberapa senti.
Mata perempuan itu melotot, bola matanya putih semua, dan dari mulutnya keluar suara erangan panjang.
"DEWAAA ...."
Dewa menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya tertahan, seolah kerongkongannya dicekik. Ia meronta, dan tiba-tiba ... semuanya hilang.
Lampu kamar kembali menyala stabil. Tidak ada sosok di atas tubuhnya. Napasnya kembali lega, meski tersengal. Ada jejak air mata di sudut mata Dewa karena rasa takut yang luar biasa.
Dewa terduduk di tepi ranjang, wajah pucat, tubuh gemetar.
"Apa-apaan ini? Apa yang terjadi sebenernya?" gumam Dewa frustrasi.
Dewa tidak tidur semalaman. Ia hanya duduk di sudut ranjang, menatap pintu kamar, takut jika sesuatu kembali muncul.
Keesokan paginya, matanya sembab, wajahnya lelah. Teman-temannya yang biasanya ramai di sekolah menertawakannya karena terlihat seperti zombie. Dewa hanya diam, tidak menceritakan apa pun. Ia takut dianggap gila. Bahkan diejek lebih parah lagi.
Namun teror itu tidak berhenti di malam itu saja. Malam-malam berikutnya semakin parah.
Di kamar mandi, ia melihat bayangan lain di cermin, padahal ia sendirian.
Di dapur, pintu lemari terbuka sendiri, piring jatuh berhamburan tanpa sebab.
Di jalan pulang, ia merasa ada yang mengikutinya, bayangan yang selalu terlihat dari ekor matanya.
Dan setiap malam, suara-suara bisikan itu selalu memanggil namanya.
"Dewa ...."
"Sadewa ...."
"Ikut kami ... ikutlah ...."
Rasa takut berubah menjadi teror. Dewa tidak hanya diganggu, tapi seperti dikejar. Rasanya menyesakkan. Tidak ada ketenangan sedetik pun tanpa melihat atau mendengar apa pun.
Sampai puncaknya terjadi pada malam Jumat.
Dewa mencoba menenangkan diri dengan menonton video di ponselnya sebelum tidur. Lampu kamar sengaja ia biarkan menyala. Namun tepat tengah malam, listrik rumah padam seketika. Gelap total.
"Brengsek," umpat Dewa seraya mencari-cari ponselnya untuk cahaya, tapi entah kenapa baterainya tiba-tiba habis, padahal tadi masih 40%.
Gelap itu pekat. Sunyi. Lalu terdengar suara langkah.
Tok ... Tok .... Tok
Langkah itu pelan, mendekat, mendekat… dari arah pintu kamarnya. Dewa menahan napas. Ia tahu pintu itu terkunci dari dalam, jadi apa yang bisa masuk?
Tiba-tiba pintu berderit perlahan.
Kreeeek ....
Padahal kuncinya jelas masih terpasang di lubang kunci. Bergoyang ketika pintu terbuka perlahan.
Dewa mundur ke sudut kamar. Dan dari balik celah pintu yang terbuka, masuklah sosok tinggi kurus dengan kepala miring, wajah hitam hangus, dan mata merah menyala. Dan kepala yang hanya ditumubuhi beberapa helai rambut usam.
Sosok itu melangkah pelan, menyeret kakinya, mendekati Dewa. Bau anyir dan busuk memenuhi kamar. Ingin rasanya Dewa muntah saking baunya.
Dewa ingin menjerit, tapi suaranya tercekat. Sosok itu semakin dekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan Dewa. Tangannya yang panjang kurus terulur, jemarinya menyentuh wajah Dewa.
Dingin. Sangat dingin.
"Kau ... milik kami ...."
Dewa menjerit histeris, dan semuanya mendadak gelap. Ia pingsan di tempat.
Pagi harinya, Dewa ditemukan ibunya tergeletak di lantai kamar, wajah pucat pasi, bibir biru, seperti orang kehabisan tenaga. Ibunya panik, mengira anaknya sakit. Namun Dewa tahu, ini bukan sakit biasa.
Ini awal dari sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.
Dan Dewa mulai takut ... kenapa semakin banyak yang mendatanginya?"
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???