Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taktik Licik Tunggak
Tanpa peduli dengan keterkejutan Mahesa Sura, Cempakawangi langsung mendorong tubuh sang penguasa baru Pakuwon Wilangan hingga jatuh ke ranjang. Tak berhenti sampai disitu, Cempakawangi segera melompat ke atas tubuh Mahesa Sura dan langsung menggigit leher sang murid ayah kandung nya.
Sementara Mahesa Sura sedang susah payah menghadapi terkaman Cempakawangi, Dewi Jinggawati malah cepat-cepat mengenakan pakaian nya dan buru-buru melangkah ke luar kamar tidur.
"Yayi Jinggawati, bantu aku.. ", pinta Mahesa Sura yang tak berdaya dalam rengkuhan Cempakawangi.
" Maaf ya Kangmas Mahesa. Kali ini aku tidak bisa menolong mu jadi tolong selesaikan masalah ini sendiri saja hihihihi.. ", jawab Dewi Jinggawati sembari mengedipkan sebelah mata sebelum berlari keluar kamar pribadi sang akuwu.
" Kau... "
Begitu sampai di luar kamar pribadi akuwu, Dewi Jinggawati segera menutup pintu kamar itu. Setelah itu ia lekas berjalan ke arah dua orang dayang yang sedang duduk di dekat pintu ruang pribadi akuwu.
"Kalian berdua, untuk hari ini jangan coba-coba masuk ke dalam kamar pribadi akuwu jika Gusti Dyah Mahisa Danurwenda tidak keluar sendiri. Apapun yang terjadi, jangan masuk! Ingat baik-baik.. ", perintah Dewi Jinggawati sembari menatap tajam ke arah mereka.
" Kami mengerti Gusti Dewi.. ", jawab 2 dayang itu sambil menghormat.
Setelah itu, Dewi Jinggawati berlalu pergi sambil mengulum senyuman. Ia sedang membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam kamar tidur akuwu Wilangan itu sekarang.
Pendopo Pakuwon Wilangan sudah penuh dengan orang-orang kepercayaan Mahesa Sura. Mereka menunggu sejak pagi karena biasanya putra Dyah Mahisa Rangkah itu selalu bangun pagi-pagi sekali. Namun hingga matahari sepenggal naik ke ufuk timur, batang hidung Mahesa Sura tak kunjung nampak di pendopo Pakuwon Wilangan.
"Kira-kira Gusti Dyah Mahisa Danurwenda sedang apa ya kok sampai sekarang belum juga hadir di sini? ", tanya Rakai Sambu yang duduk bersebelahan dengan Jayeng rekan nya.
" Apa jangan jangan beliau sedang tidak enak badan? Tapi tadi malam beliau baik-baik saja.. ", sahut Jayeng sedikit lirih karena khawatir suaranya di dengar orang lain.
" Tidak mungkin juga beliau sakit, masak cuma gara-gara minum twak semalam ia jadi sakit? Itu sangat tidak mungkin lah.. ", sergah Bekel Candramawa yang mendengar obrolan mereka.
Di tengah-tengah perbincangan lirih tentang dugaan dugaan pada keterlambatan Mahesa Sura, yang dibicarakan datang dengan langkah terhuyung-huyung tanpa diapit oleh dua perempuan nya.
Rakai Pamutuh segera berdiri dan mendekati Mahesa Sura yang berjalan sambil memegangi pinggangnya.
"Butuh bantuan Raden? ", tawar Rakai Pamutuh yang dibalas dengan lambaian tangan Si Iblis Wulung.
" Tidak perlu, Paman Rakai. Aku masih bisa berjalan sendiri", jawab Mahesa Sura seraya menginjakkan kakinya pada anak tangga Pendopo Pakuwon Wilangan.
Melihat kedatangan Mahesa Sura yang sedikit sedikit meringis menahan rasa nyeri di pinggangnya, Dewa Pedang Lembu Peteng tak tahan untuk tidak bersuara.
"Masih muda tetapi sudah sakit pinggang begitu, apa kau ini temasuk pemuda jompo? ", celetuk Lembu Peteng Si Dewa Pedang yang membuat Mahesa Sura menggerutu dalam hati.
'Ini semua karena ulah putri kesayangan mu itu, Dewa Pedang! Gara-gara tingkah polah nya yang seperti kuda liar, pinggang ku rasanya mau patah'
Mahesa Sura tersenyum kecut mendengar celetuk Dewa Pedang dari Lembah Seratus Pedang ini.
"Aku baik-baik saja Dewa Pedang. Tadi sewaktu mandi, aku terpeleset karena lantai pemandian nya berlumut. Tapi tadi sudah diurut, jadi sudah tidak apa-apa. Cuma masih tersisa nyeri sedikit saja.
Semuanya, maafkan atas keterlambatan ku. Tetapi mulai hari ini aku akan mulai mengumpulkan pasukan yang lebih besar dari sebelumnya untuk persiapan melawan Kertabhumi. Untuk sementara, pelatihan nya akan berada di kaki barat daya Gunung Pandan yang masih masuk ke dalam wilayah kita. Ini juga untuk menghindari masalah yang datang sebelum kita benar benar siap berperang melawan pasukan Dyah Sindupati.
Bekel Candramawa, Ki Menjangan Rajegwesi! Tugas pelatihan ini aku percayakan pada kalian.. ", titah Mahesa Sura seraya mengangkat tangannya.
" Sendiko dawuh Raden.. ", jawab kedua orang yang ditunjuk oleh Mahesa Sura itu bersamaan.
" Rakai Sambu aku minta memimpin pasukan patroli ke seluruh wilayah Wilangan sambil menyebarkan berita tentang perekrutan prajurit baru. Jaga ketat wilayah kita, laporkan setiap kejadian yang terjadi dan jangan biarkan mata-mata Dyah Sindupati bebas berkeliaran di Wilangan ", lanjut Mahesa Sura segera.
" Hamba mengerti Raden.. ", sahut Rakai Sambu sembari menghormat.
" Untuk Jayeng, aku tugaskan untuk menata pasukan telik sandi ke Sekar Pudak dan Berbek. Dalam satu purnama ke depan, sudah harus ada berita tentang apa dan bagaimana dua pakuwon itu adanya. Aku tidak mau menyerbu mereka tanpa tahu apa-apa tentang mereka ", Mahesa Sura mengalihkan perhatian pada Jayeng yang memang jagoan telik sandi.
" Hamba siap melaksanakan tugas, Gusti Raden.. ", jawab Jayeng segera.
" Urusan keamanan Kota dan Istana Pakuwon Wilangan, biar Paman Sempani yang mengatur. Dewa Pedang dan Ki Wisanggeni cukup bertindak jika ada hal yang tak bisa Paman Sempani selesaikan.
Sedangkan untuk urusan pemerintahan, Paman Rakai Pamutuh dan Nyai Landhep yang menata nya. Jalankan tata pemerintahan sebagaimana mestinya, jangan sampai mengecewakan rakyat yang baru kita pimpin ini. Apa semuanya sudah paham? ", Mahesa Sura mengedarkan pandangan ke seisi Pendopo Pakuwon Wilangan.
" Kami mengerti Raden.. ", jawab semuanya bersama-sama.
"Tunggu dulu..
Dimana Tunggak? Biasanya pagi pagi begini sudah siap paling awal? Kenapa hari ini malah membolos dari pisowanan? ", tanya Mahesa Sura segera.
" Raden tidak usah cemas. Dia sedang merasakan panasnya gelora asmara dengan seorang wanita, wajar saja jika sedikit lupa pada tugas dan kewajiban nya", sahut Resi Agastya, yang sudah resmi menjadi penasehat bagi sang penguasa baru Pakuwon Wilangan ini.
Hemmmmmmmm...
" Mabuk cinta boleh tetapi kewajiban tidak boleh ditinggalkan. Dimana dia sekarang? Siapapun yang tahu, tolong panggil dia kemari sekarang juga ", lanjut Mahesa Sura segera.
" Eh itu biar hamba saja yang memanggilnya, Raden. Mohon ijin untuk berangkat ", sahut Rakai Pamutuh sembari cepat menghormat dan bergegas pergi meninggalkan Pendopo Pakuwon Wilangan.
Di dalam penjara istana Wilangan...
Banowati menelan ludahnya melihat Tunggak sedang mengunyah paha ayam panggang yang masih mengepulkan uap panas diatasnya. Sejak kemarin siang, Tunggak tidak datang berkunjung ke penjara karena sibuk dengan persiapan kemenangan Mahesa Sura. Karena Tunggak melarang siapapun untuk masuk ke penjara istana Wilangan ini, ia tidak makan sejak kemarin siang dan ini sangat membuatnya kelaparan.
Apalagi dua putri nya yang masih kecil, Rara Kartika dan Rara Wulan hanya minum air saja sejak kemarin siang, tentu saja mereka berdua sangat lapar. Dua gadis kecil itu terus melihat Tunggak yang sepertinya sengaja membuat mereka tertarik pada makanan yang ia bawa.
"Kalian mau? ", tanya Tunggak dengan senyum manis terkembang di wajahnya yang sedikit bulat.
Dua gadis kecil itu mengangguk pelan.
" Mau Paman.. ", jawab Rara Kartika yang membuat Tunggak kembali tersenyum licik.
" Boleh tapi ada syaratnya. Kalian bisa tidak? ", tanya Tunggak kemudian.
Rara Kartika dan Rara Wulan saling pandang. Dua gadis kecil yang sudah kelaparan itu segera menoleh ke arah Tunggak sambil mengangguk cepat.
" Apa syaratnya Paman? ", kali ini Rara Wulan bersuara.
" Panggil paman dengan sebutan romo. Jika kalian bersedia, jangankan cuma paha ayam saja, paha gajah pun Paman akan berikan ", bual Tunggak yang membuat dua gadis kecil itu langsung sumringah.
" Benarkah itu Paman?", tanya mereka bersamaan.
"Eh aku ini bukan orang yang suka bohong. Sekarang panggil aku romo.. ", kembali Tunggak tersenyum penuh kemenangan.
" Romo, kami mau ayam nya.. ", kata Rara Kartika segera.
" Wulan juga mau Romo... ", imbuh Rara Wulan tak mau kalah.
" Hehehe anak pintar. Ini habiskan semuanya.. "
Tunggak mengulurkan sepiring penuh ayam panggang pada dua gadis kecil itu. Kedua gadis kecil itu langsung menyambar dua potongan daging ayam panggang dan melahapnya dengan terburu-buru.
"Jangan buru-buru. Tidak ada yang berebut makan dengan kalian.. ", ujar Tunggak lembut sebelum menoleh ke arah Banowati yang terus memperhatikan kelakuan dua putri kecilnya itu.
" Kau juga mau? ", tanya Tunggak segera.
" A-apa aku juga boleh makan? ", Banowati nampak ragu-ragu.
" Tentu saja, tapi syaratnya tetap berlaku ", jawab Tunggak sembari mengedipkan matanya.
" Panggil romo juga? "
Hampir saja Tunggak mengamuk mendengar apa yang dikatakan oleh Banowati. Tetapi ia langsung menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikiran nya.
"Enak saja Romo! Aku belum setua itu tahu...!!
Panggil sayang dong, biar keliatan mesra", Tunggak cengar cengir sambil berkata demikian.
Banowati terdiam sejenak mendengar omongan Tunggak. Ia tahu saat ini dia bukan lagi seorang istri akuwu yang dihormati, tetapi seorang wanita boyongan yang derajatnya tak lebih tinggi dari seorang pelayan. Suaminya sudah mati dan dia harus berjuang jika masih ingin hidup damai.
Walaupun Tunggak penampilan nya mirip dengan bekas tukang kebun yang pernah bekerja pada nya dulu tetapi saat ini ia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di Wilangan. Jika ia bisa bersamanya, dua gadis kecil nya tidak akan menderita lagi di masa depan. Melihat mereka begitu lahap menyantap ayam panggang, hati Banowati pun merasa nyaman.
"Sa-say... sayang ku.. ", ujar Banowati lirih.
Hati Tunggak hampir meledak mendengar nya. Tetapi ia sok tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Banowati.
" Bilang apa tadi? Aku tidak dengar sama sekali.. ", ujar Tunggak sambil mendekatkan telinga nya ke arah Banowati.
Belum sempat Banowati bicara lagi, tiba-tiba...
" Nggak, Raden Danurwenda mencari mu..!! "
dibikin series kolosal pasti bagus