Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka dibalik Cinta
Malam itu sunyi.
Namun di dada Aruna, suara detak jantungnya bergemuruh tak terkendali.
Ia duduk di tepi ranjang apartemen, lutut tertekuk, kepala tertunduk. Bayangan dua orang penjaga yang terkapar berlumuran darah terus berulang dalam benaknya. Suara tembakan masih menggema di telinga, seakan menolak pergi.
Untuk pertama kalinya sejak mengenal Leonardo, Aruna menyadari satu hal: cinta yang dimilikinya bukan hanya tentang perlindungan… tapi juga tentang belenggu yang mengerikan.
Aruna mengusap wajahnya, berusaha mengusir air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Bagaimana aku bisa jatuh hati pada pria seperti dia? Bagaimana mungkin aku masih tetap di sisinya setelah melihat semua itu?
---
Pintu kamar berderit.
Leonardo masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja hitam yang sebagian kancingnya terbuka. Wajahnya tampak datar, tapi matanya menyimpan bayangan lelah yang tak bisa disembunyikan.
Aruna menoleh, tatapannya basah. “Kau baru saja membunuh dua orang, Leo… seakan itu hal yang biasa.”
Leonardo berhenti, lalu perlahan mendekat. “Aku sudah bilang, kau tidak seharusnya ikut melihat.”
“Aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya!” sergah Aruna, suaranya bergetar. “Dan sekarang aku tahu… kau bukan hanya pelindung. Kau… kau monster.”
Hening. Kata itu menggantung di udara, seakan menusuk dada Leonardo.
Namun alih-alih marah, ia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Aruna. Ia menatap dalam, tatapannya bukan dingin, melainkan penuh luka yang tak bisa dijelaskan.
“Aruna,” katanya perlahan, “tidak ada yang lahir sebagai monster. Aku… juga dulu hanyalah seorang anak.”
---
Aruna tertegun.
Untuk pertama kalinya, Leonardo menyebut masa lalunya dengan nada yang rapuh.
“Sejak kecil aku sudah dikelilingi darah dan senjata. Ayahku adalah King Mafia generasi sebelumnya. Keras, dingin, kejam. Satu-satunya bahasa yang ia kenal adalah kekerasan.”
Leonardo menghela napas panjang. “Aku ingat, saat berusia tujuh tahun, aku ingin belajar menggambar. Tapi ayahku menyobek kertas gambarku dan berkata: ‘Lelaki dalam keluarga ini tidak punya waktu untuk mimpi. Kau dilahirkan untuk berperang, bukan untuk berkhayal.’”
Aruna menutup mulutnya, merasakan perih dalam kata-kata itu.
Leonardo melanjutkan, suaranya bergetar tipis. “Aku belajar membaca bukan dari buku sekolah, tapi dari catatan transaksi narkoba. Aku belajar disiplin bukan dari guru, tapi dari cambukan sabuk kulit ayahku karena terlambat lima menit menghadiri pertemuan. Dan pelajaran pertama tentang kesetiaan… adalah saat aku dipaksa melihat pamanku ditembak mati. Karena mencoba melindungi ibuku.”
Tatapannya kosong, namun rahangnya mengeras. “Ayahku berkata: ‘Begitulah nasib pengkhianat. Ingat, anakku—lebih baik kau membunuh saudaramu sendiri daripada membiarkannya mengkhianatimu.’”
---
Aruna merasakan dadanya sesak. Luka di balik ketegasan Leonardo perlahan terbuka di hadapannya.
“Sejak hari itu, aku tahu aku tidak boleh menangis. Tidak boleh lemah. Jika aku menunjukkan kelembutan, maka kelembutan itu akan dihancurkan.”
Ia terdiam sebentar, lalu menatap Aruna, tatapannya tajam namun basah. “Aku membenci ayahku… tapi pada akhirnya, aku menjadi dirinya.”
Seketika, hening melingkupi ruangan. Aruna tidak tahu harus berkata apa.
Namun ia bisa merasakan, untuk pertama kalinya, Leonardo tidak hanya bicara sebagai King Mafia, melainkan sebagai manusia yang terluka.
---
Aruna memberanikan diri, meraih tangannya perlahan. “Leo… kau tidak harus terus hidup dengan cara ini. Kau masih bisa berubah. Kau bisa memilih jalan lain.”
Namun Leonardo menggeleng cepat. Tatapannya berubah gelap. “Tidak. Kau tidak mengerti. Dunia ini tidak memberi pilihan. Jika aku berhenti menjadi monster, aku akan hancur. Dan jika aku hancur… aku akan kehilanganmu.”
Tangannya menggenggam jemari Aruna lebih erat, hampir menyakitkan. “Aku sudah kehilangan segalanya dalam hidupku. Ibu, masa kecil, kebebasan. Aku hanya punya satu hal yang tersisa—kau. Jika harus kubayar dengan darah, dengan ketakutan, dengan dosa… aku akan melakukannya.”
Air mata Aruna kembali jatuh. “Tapi bagaimana jika aku tidak sanggup, Leo? Bagaimana jika suatu hari aku sendiri yang ingin pergi?”
---
Pertanyaan itu membuat Leonardo terdiam. Rahangnya menegang, matanya berkaca-kaca namun mengeras.
“Kalau itu terjadi…” suaranya rendah, hampir seperti bisikan maut, “…aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
Aruna terperanjat. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada suara tembakan yang pernah ia dengar. Untuk pertama kali, ia benar-benar menyadari: obsesi Leonardo bukan hanya pelindung. Obsesi itu juga kurungan.
Namun anehnya, di balik rasa takut yang mencekik, Aruna juga merasakan detak halus di dadanya: detak cinta. Luka Leonardo… entah bagaimana… menjerat hatinya.
---
Leonardo mengangkat tangan, menyentuh wajah Aruna dengan lembut, kontras dengan ancaman barusan. “Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai dengan benar. Yang kutahu hanyalah melindungi dengan segala cara, bahkan jika itu berarti kau harus membenciku.”
Aruna menatap matanya, melihat pertempuran di sana—antara monster dan lelaki rapuh yang haus kasih sayang.
“Aku tidak tahu harus mencintaimu… atau takut padamu,” bisiknya.
Leonardo memejamkan mata, lalu menyandarkan keningnya pada kening Aruna. Suaranya serak, nyaris seperti doa. “Cintai aku. Biar aku yang mengurus ketakutanmu.”
---
Malam itu, mereka berdiam lama dalam pelukan.
Bukan pelukan yang manis, melainkan pelukan penuh luka, air mata, dan obsesi.
Aruna tahu, semakin dalam ia menyelami hati Leonardo, semakin ia tenggelam ke dalam kegelapan masa lalunya. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa berhenti.
Karena luka di balik cinta Leonardo, perlahan… juga mulai melukai dirinya.
Dan mungkin, itu adalah awal dari tragedi yang tak terhindarkan.