NovelToon NovelToon
Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Anak Kembar / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.

Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.

Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.

Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.

Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.

Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.

📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.

Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18.Jebakan

Begitu kelopak matanya bergetar dan terbuka, Keira terbangun dalam ruang sempit dengan aroma tajam obat-obatan menusuk hidung. Lampu neon putih pucat menggantung di langit-langit, berkelip pelan, membuat bayangan di dinding bergerak samar. Ruangan itu terlalu sepi. Terlalu sempit. Terlalu mirip... neraka kecil yang pernah mengurungnya.

Tubuhnya langsung menggigil. Jemarinya mencengkeram seprai tipis di bawahnya, napasnya pendek-pendek seperti dikejar sesuatu yang tak terlihat.

"Leo..." bisiknya nyaris tak terdengar, tapi detik berikutnya berubah menjadi pekik melengking penuh teror. "Leo!"

Aldi, yang sejak tadi duduk di kursi tepi ranjang dengan kepala menunduk menungguinya, sontak tersentak. Kursi itu bergeser sedikit saat ia berdiri terburu-buru, lalu ia berlari menghampiri.

Tapi di mata Keira yang kabur oleh trauma, sosok yang mendekat itu bukan Aldi. Ia melihat Leo—Leo yang bengis, Leo yang pernah menghancurkannya.

"Leo! Maafin aku!" Keira menjerit, suaranya pecah. Tubuhnya bergetar hebat. "Aku nggak bermaksud menipu kamu! Jangan marah! Jangan marah, Leo!"

Aldi memegang kedua pundaknya, berusaha menahan guncangan itu. "Keira... ini aku. Aku Aldi..." ucapnya, suaranya pelan tapi tegas.

Namun Keira seperti tak mendengar. Matanya liar, menatap Aldi seolah menatap ancaman. Ia menepis tangan Aldi seperti benda menjijikkan, punggungnya menempel ke sandaran ranjang hingga tubuhnya nyaris terlipat.

"Leo, jangan sentuh aku!" jeritnya, suaranya naik satu oktaf. Ia menggeliat seperti terperangkap di api, tangannya meraih udara seolah mencari pegangan yang tak ada. "Jangan bawa aku ke ruangan itu lagi! Tolong! Jangan kunci aku, Leo! Jangan pukul aku!"

Aldi merasakan dadanya seperti diremas dari dalam. Wajahnya tegang, tapi matanya berkaca-kaca. Ia langsung meraih Keira, memeluknya dari samping, mencoba menahan tubuh yang meronta seperti sedang diseret kembali ke masa lalu.

"Keira, dengerin aku... ini aku, Aldi!" suaranya memohon tapi masih tegas. "Bukan Leo! Dia nggak ada di sini! Dia nggak akan nyakitin kamu lagi! Lihat aku, Keira. Lihat aku!"

Tapi jeritan Keira menembus semua itu, memantul di dinding sempit. Aldi akhirnya mengangkat wajahnya, menatap tepat ke mata Keira yang basah oleh air mata dan ketakutan.

"KEIRA! SADAR!" teriak Aldi, kali ini suaranya mengandung kekuatan dan luka sekaligus. Ia menekankan setiap kata. "Nggak ada Leo di sini! Kamu aman. Kamu aman sekarang..."

Suara itu—dan tatapan mata itu—mata yang tak pernah memukul atau mengurungnya, tiba-tiba merobek kabut di kepala Keira. Napasnya tercekat. Jeritannya berhenti mendadak.

Perlahan, pandangannya mulai jernih. Wajah di depannya... bukan Leo. Itu Aldi. Aldi yang matanya penuh kekhawatiran, bukan kemarahan.

Tubuhnya langsung kehilangan tenaga, jatuh lunglai. Dan tangisnya meledak tanpa suara, lalu berderai menjadi isakan keras di pelukan Aldi. Bahunya berguncang, tubuhnya menggigil seperti anak kecil di tengah badai.

Aldi memeluknya erat, telapak tangannya mengusap punggung Keira berulang-ulang, seakan berusaha menghalau semua bayangan buruk yang menempel. Biarkan saja air matanya membasahi bahunya.

"Tenang... aku di sini..." bisiknya, suaranya menurun jadi sangat lembut di telinga Keira. "Kamu nggak sendiri lagi. Aku nggak akan ninggalin kamu."

Di antara pelukan itu, dua jiwa yang sama-sama retak menemukan sedikit ruang untuk bernapas. Meski dunia di luar masih keras, di sini—di pelukan ini—mereka aman.

$$$$$

Siang itu, cahaya matahari menembus kaca besar di lantai lima, membentuk garis-garis tipis di atas lantai marmer yang mengilap. Arga melangkah dengan ritme santai namun terukur, matanya menyapu ruangan dengan tatapan seperti pemburu yang telah mengunci target.

Di sudut ruangan terbuka, meja magang Revan berdiri sepi—kursi didorong setengah keluar, tumpukan kertas berantakan, dan ponsel hitamnya tergeletak di sisi laptop yang layarnya mati. Arga tahu, anak itu tak pernah tahan duduk lama di sini. Sejak awal, Revan hanyalah pelengkap penderita di perusahaan ini—sebuah nama tanpa kuasa, bahkan keluarganya sendiri tidak mengakuinya.

Arga melirik kiri-kanan. Tak ada yang memperhatikan. Senyum tipis menyelinap di wajahnya. Tangannya yang panjang dan cekatan menyambar ponsel itu dalam satu gerakan mulus, seperti pencopet berpengalaman. Ia menyelipkannya ke saku jasnya tanpa suara, lalu berbalik meninggalkan meja seolah tak pernah berhenti di sana.

Langkahnya mengarah ke pintu kayu besar berlapis kaca buram—ruangan Leo. Ketika ia masuk, aroma tembakau dan wangi kayu cendana langsung menyergap. Leo duduk bersandar di kursinya yang empuk, jas hitamnya rapi, satu tangan memegang cerutu yang nyaris padam.

Arga mengeluarkan ponsel itu dari saku dan menyodorkannya. "Sesuai rencana," ucapnya pendek.

Leo mengangkat alis, lalu meraih ponsel itu dengan jemari panjangnya. Bibirnya melengkung membentuk senyum miring, senyum yang tak pernah membawa kabar baik bagi siapa pun.

"Hmm... Revan, Revan," suaranya rendah, nyaris seperti bisikan mengejek. "Kau terlalu polos untuk ikut bermain dalam dunia ini."

Ia memutar ponsel itu di tangannya, memperhatikan sejenak, lalu dengan jari yang mantap mengetik kombinasi angka di layar kunci. Seketika layar terbuka, dan Leo mengeluarkan tawa pendek, dingin.

"Ah... tanggal lahir ibumu?" Ia menatap layar sambil berbicara, seakan Revan ada di depannya. "Ibu yang tega meninggalkanmu demi dunia gemerlap? Kau benar-benar naif."

Jarum detik jam dinding berdetak pelan, bersaing dengan suara gesekan jarinya yang cepat di layar. Chat demi chat ia buka, matanya menyipit ketika menemukan percakapan antara Revan dan Keira. Ada ketulusan di sana, bahkan sedikit harapan—sesuatu yang Leo anggap sebagai kelemahan.

Ia menghela napas pendek, lalu bibirnya melengkung lagi. "Masih percaya pada berandalan sepertimu setelah ini? Kita lihat saja."

Dengan gerakan cekatan, ia mengetik sebuah pesan dari nomor Revan:

'Keira, temuin gue di depan ruang pendingin sore ini. Ada yang mau gue sampaikan. Ini soal Leo.'

Pesan itu terkirim. Di tempat lain, Keira membacanya tanpa curiga, lalu membalas singkat: Iya.

Leo menatap layar itu beberapa detik, membiarkan rasa puas meresap. Kemudian ia menghapus pesan tersebut dari riwayat chat ponsel Revan, memastikan jejaknya bersih.

Ia melempar ponsel itu ringan ke arah Arga, seperti melempar mainan tak berharga. "Letakkan lagi di mejanya. Jangan sampai ada yang curiga."

Arga menangkapnya, mengangguk singkat, lalu keluar ruangan dengan langkah cepat.

Sementara itu, Leo menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, matanya terpejam sesaat. Ujung bibirnya terangkat—ia sudah bisa membayangkan kehancuran Revan dimulai dari sore ini.

____

Setelah merapikan dokumen terakhir di mejanya, Kayla buru-buru menutup laptop dan meraih tas selempang yang sudah ia gantung di kursi. Jemarinya sempat merapikan sedikit rambut yang berantakan, sementara pikirannya terus memutar pesan singkat dari Revan.

Temuin gue di depan ruang pendingin sore ini. Ada yang mau gue sampein. Ini soal Leo.

Pesan itu berputar-putar di kepalanya tanpa henti, menimbulkan campuran degup gugup dan keyakinan. Tidak ada secuil pun rasa curiga—bagi Kayla, Revan adalah orang yang bisa ia percayai sepenuhnya. Jika ini tentang menghancurkan Leo, ia siap. Bahkan hatinya berdebar sedikit lebih kencang membayangkan langkah pertama mereka.

Langkah kakinya cepat dan teratur saat ia menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Lampu-lampu di langit-langit meredup setengah, menambah nuansa hening yang hanya dipecahkan oleh suara langkah hak sepatunya di lantai. Dari kejauhan, Revan melintas dari arah berlawanan, memeluk setumpuk dokumen hasil fotokopi menuju ruangan HRD.

Mata Revan menangkap sosok itu. “Keira?” gumamnya pelan, keningnya mengernyit. Dari jarak itu, ia bisa mengenali siluet tubuhnya. “Dia mau ke mana?”

Ia melirik jam tangannya—masih ada sedikit waktu. Dengan napas sedikit memburu, ia mempercepat langkah, berniat menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin agar bisa menyusul.

Sementara itu, Kayla telah tiba di depan ruangan pendingin. Udara di sekitar sini lebih dingin dari koridor lain, berasal dari celah pintu logam tebal di depannya. Ia memandang kanan-kiri, matanya mencari sosok Revan di antara bayangan lorong. Tidak ada siapa pun.

“Revan?” panggilnya pelan. Tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tetap hening.

Dengan sedikit rasa bingung, ia merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan hendak meneleponnya. Namun layar hanya menampilkan satu kalimat yang membuatnya mendesah kesal: Baterai habis.

Kayla menggigit bibir bawahnya. “Kenapa tadi lupa nge-charge…” gumamnya jengkel, tapi suaranya mengandung sedikit rasa cemas yang belum ia sadari.

Tatapannya kembali ke pintu pendingin. Cat logamnya sedikit terkelupas di pinggir, gagangnya terasa dingin bahkan sebelum ia menyentuh. Dalam hati, ia mencoba menepis pikiran buruk—mungkin Revan hanya sedang menunggu di dalam. Rasa penasaran mendorongnya lebih dari rasa ragu.

Ia memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Anehnya, tidak terkunci. Hembusan udara dingin langsung menyentuh wajahnya seperti semburan es.

“Revan?” panggilnya lagi, suaranya kini mulai terdengar waswas.

Ia melangkah masuk. Cahaya lampu putih pucat memantul di rak-rak besi tinggi yang dipenuhi kotak-kotak logistik. Bau plastik dan logam dingin memenuhi hidungnya.

Belum sempat ia menoleh ke belakang, pintu menutup dengan bunyi gedebuk pelan. Dari luar, seorang pria berbadan besar—suruhan Leo—memutar kunci sekali. Suara kliknya nyaris tak terdengar di dalam, tapi cukup untuk membuat Leo di lantai atas tersenyum puas.

Kayla tidak menyadarinya. Ia melangkah semakin dalam, menelusuri lorong sempit di antara rak, napasnya mengembun tipis di udara. Dinginnya menusuk kulit, membuat bulu kuduknya berdiri, tapi pikirannya hanya fokus pada satu hal: menemukan Revan.

“Revan! Kalau ini candaan, sumpah gue bakal marah!” serunya, nada suaranya setengah kesal, setengah gelisah.

Hanya gema yang kembali padanya—gema yang terdengar seperti suaranya diputar ulang oleh dinding logam.

Ia mempercepat langkah, matanya menyapu setiap sudut, mencari bayangan manusia. Tidak ada siapa pun.

Dingin mulai merayap dari pergelangan kaki ke betisnya. Ia memeluk dirinya sebentar, mencoba menghangatkan tubuh, lalu berbalik menuju pintu.

Saat ia meraih gagang pintu dan menariknya—tidak bergerak. Terkunci rapat.

Panik mulai menjalari nadinya.

“Jangan bercanda, Revan! Bukain pintunya!” teriaknya sambil menggedor pintu keras-keras, suaranya pecah oleh rasa takut yang merayap cepat.

Ia berhenti sebentar, lalu kembali berteriak, kali ini lebih keras, nadanya bergetar: “Halo! Ada orang! Tolong! Bukain pintunya!”

Tetap tak ada balasan.

Hanya udara dingin yang kian menggigit, suara detak jantungnya yang terasa memekakkan telinga, dan jeritan yang terpantul bolak-balik di ruangan logam, seolah tembok itu sendiri ikut mengejek ketakutannya.

.

.

.

Bersambung

1
Dedet Pratama
luar biasa
Alyanceyoumee
mantap euy si Revan
Kutipan Halu: hahah abis di kasih tutor soalnya kak 😄😄
total 1 replies
Bulanbintang
Iri? bilang boss/Joyful/
Kutipan Halu: kasih paham kakak😄😄
total 1 replies
CumaHalu
Suami setan begini malah awet sih biasanya 😤
Kutipan Halu: awett benerrr malahan kak😄
total 1 replies
iqueena
Kasar bngt si Leo
iqueena: sharelok sharelok
Kutipan Halu: kasih tendangan maut ajaa kak, pukulin ajaa kayla ikhlas kok🤣
total 2 replies
Pandandut
kay kamu mantan anak marketing ya kok pinter banget negonga
Kutipan Halu: kaylanya sering belanja di pasar senin kak🤣
total 1 replies
Dewi Ink
laahh, pinter nego si Kayla 😅
Kutipan Halu: biasa kakk valon emak2 pinter nego cabe di pasar😄😄
total 1 replies
Alyanceyoumee
nah gini baru perempuan tangguh. 😠
Kutipan Halu: iyaa kak greget jugaa kalau lemah muluuu, org kek leo emng hrs di kasih paham😄😄
total 1 replies
Yoona
😫😫
CumaHalu
Kapok!!
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂
Kutipan Halu: diaa memilih abnormal kak☺☺
total 1 replies
Pandandut
mending ngaku aja sih
Kutipan Halu: emng bisaa ya kak, kan udh terlanjut bohong gituu org2 udah juga pada percaya, klu aku jadi keira sih juga pasti ngambil jln dia juga😭😭
total 1 replies
Pandandut
pinter juga si revan/Slight/
iqueena
pintar juga Revan
Dewi Ink
mending ngaku duluan si dari pada ketahuan
Yoona
leo juga harus ngerasain
Alyanceyoumee
mantap...👍
CumaHalu
Wah, hati-hati Kayla.😬
Kutipan Halu: waspada selalu kak☺
total 1 replies
CumaHalu
Astaga😂😂😂
Bulanbintang
dua kali lebih lama, 😩😒
Bulanbintang
kompak bener😅
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!