Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Kabar itu menyebar seperti api.
“Pengusaha Ardan akan segera menikahi mahasiswi muda, Raisa Salsabila.”
Judul berita itu terpampang di semua portal media. Foto mereka berdua di acara publik, dengan tangan saling menggenggam, menjadi bahan perbincangan nasional. Ada sebagian dari mereka yang pro dan ada juga yang menghalangi hubungan mereka.
Di kampus, gosip semakin panas.
“Udah gue bilang kan, dia pasti ngincer duit.”
“Gila, dari mahasiswi jadi nyonya besar. Pinter banget, ya.”
“Ya ampun, itu kan bisa jadi bapaknya sendiri. Jijik banget.”
Bisik-bisik itu menghantam Raisa setiap kali ia melangkah di lorong. Bahkan beberapa dosen mulai memperlakukannya berbeda—seolah ia bukan lagi mahasiswa biasa.
Tapi juga ada juga yang setuju.
Cocok sih, Pak Ardan ganteng, Raisa juga cantik...
Siang itu, Raisa duduk di kantin, sendirian. Dina, sahabatnya, menatap prihatin dari seberang meja.
“Rai, kalau kamu mau cuti kuliah dulu… itu wajar, loh,” kata Dina pelan.
Raisa menggeleng. “Kalau aku cuti, berarti mereka menang. Mereka bisa bilang aku malu.”
“Tapi kamu juga nggak harus dengerin semua omongan orang.”
Raisa menatap Dina, senyum tipis di wajahnya. “Aku udah pilih jalan ini, Din. Jadi aku harus kuat.”
Malamnya, Ardan menjemput Raisa. Ia tak langsung mengantarnya ke apartemen, melainkan membawa Raisa ke sebuah gedung kaca tinggi di tengah kota.
“Om… ini apa?” tanya Raisa, bingung.
Ardan hanya tersenyum kecil. “Ikut aja.”
Lift berhenti di lantai teratas. Pintu terbuka, menampilkan pemandangan menakjubkan: sebuah taman kecil di rooftop, dihiasi lampu gantung berkilauan, bunga-bunga segar, dan meja makan berdua di tengah.
Raisa tertegun. “Om… ini—”
“Dinner,” potong Ardan sambil menarik kursinya. “Tapi ada sesuatu yang lebih penting dari itu.”
Setelah makan malam sederhana yang justru membuat Raisa semakin gugup, Ardan berdiri.
Ia berjalan ke arah Raisa, lalu berlutut di depannya.
Raisa membeku.
“Raisa,” suaranya dalam, namun lembut. “Sejak kamu datang ke hidupku, semuanya berubah. Aku berhenti jadi pria yang cuma hidup untuk pekerjaan. Kamu bikin aku inget rasanya pulang. Dan malam ini… aku mau kamu jadi rumahku selamanya.”
Ardan mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru hitam, membukanya. Di dalamnya, cincin sederhana dengan berlian kecil yang berkilauan.
Raisa menutup mulutnya, air mata langsung jatuh.
“Raisa Salsabila,” lanjut Ardan, “kamu mau nikah sama aku? Bukan karena media, bukan karena gosip… tapi karena kamu juga mau jalanin hidup ini sama aku?”
Raisa terisak, tidak peduli riasannya mungkin berantakan. Ia menunduk, memeluk Ardan erat.
“Ya,” bisiknya. “Om… ya.”
Ardan tersenyum lega, lalu mengenakan cincin itu di jari manis Raisa. Ia berdiri, menarik Raisa ke dalam pelukan, dan menempelkan keningnya pada kening gadis itu.
“Sekarang kamu resmi milikku,” bisiknya.
Ciuman mereka malam itu berbeda.
Jika sebelumnya ada ragu, kini hanya ada kepastian. Jika sebelumnya ada pelarian, kini hanya ada penerimaan.
Raisa membalas ciumannya dengan tenang, memejamkan mata, membiarkan dirinya benar-benar percaya—bahwa meski dunia menolak, ia memilih untuk tetap di sini.
Saat mereka pulang, Raisa menatap cincin di jarinya. Senyumnya kecil, tapi tulus.
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia merasa tak peduli apa kata orang.
Karena ia tahu, ini bukan tentang mereka. Ini tentang dirinya… dan juga tentang Ardan.