Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Cheviolla
Waktu istirahat pun tiba.
Kantin kampus mulai ramai, dipenuhi suara tawa dan denting sendok garpu, juga deretan aroma makanan yang menggoda. Namun bagi Raka, semua itu hanyalah latar kabur dari satu fokus utama: mencari Cheviolla.
Ia berjalan pelan menyusuri koridor, melewati meja-meja makan yang sebagian besar justru dipenuhi bisik-bisik tentang dirinya. Tatapan-tatapan mengikuti langkahnya, seperti radar tak kasat mata yang terus menembus jaket lusuh dan tas selempangnya yang penuh coretan.
> "Itu dia... cowok cupu itu."
"Gila, masih berani keluyuran ya..."
"Mau nyamperin Cheviolla lagi? Seriusan?"
Telinga Raka menangkap semua itu. Tapi ia tetap berjalan, napasnya tenang, sorot matanya menyapu setiap sudut kantin.
Akhirnya ia melihat Cheviolla.
Gadis itu sedang duduk di meja panjang di sisi kiri kantin, tengah menyantap makan siangnya bersama seorang temannya — perempuan juga, berambut pendek dan berkacamata.
Langkah Raka sempat melambat.
Jantungnya berdebar aneh — bukan karena grogi, tapi karena ia tahu... semua perhatian akan langsung meledak saat ini juga.
Dengan kepala sedikit tertunduk dan wajah tampak malu-malu tapi berani, Raka menghampiri meja itu dan... duduk di hadapan Cheviolla.
Suasana kantin langsung berubah.
Suara gemerincing sendok pun terasa seperti sirene besar di telinga semua orang yang melihatnya.
> "Sumpah... duduk depan Cheviolla?"
"Berani banget dia..."
"Tolong... ini drama apa..."
Bahkan teman Cheviolla langsung menghentikan suapan dan memandang Raka, kaget.
Cheviolla sendiri hanya tersenyum kecil, lalu melipat tangannya di atas meja.
“Ada apa, Raka?”
Raka menelan ludah. Ia tahu ini saatnya memainkan peran itu—si mahasiswa cupu yang terlalu tulus dan terlalu jujur untuk menyembunyikan niatnya.
> “De... dengan terbata-bata... aku ingin berbicara serius…”
(Tatapannya sekilas melirik teman Cheviolla.)
Teman Cheviolla langsung memasang ekspresi tidak enak, setengah menoleh ke Cheviolla.
Namun Cheviolla hanya mengangguk pelan, seolah sudah menduga ini akan terjadi.
> “Ayo, pindah tempat,” ujarnya sambil berdiri. “Kamu mau bicara, kan? Jangan di sini.”
Tanpa bicara banyak, ia membawa nampan makanannya dan mengajak Raka menuju pojok kantin—sebuah area yang agak tersembunyi, jauh dari meja-meja utama dan tak terlalu terdengar dari keramaian.
Mereka duduk di sana. Angin sepoi dari jendela terbuka menyapu pelan rambut Cheviolla yang tergerai rapi.
> “Sekarang, katakan. Kamu ingin bicara serius tentang apa?”
Raka menatapnya. Wajahnya masih membawa nuansa canggung yang dibungkus ketulusan palsu—bagian dari penyamarannya. Namun matanya yang tajam sekilas menunjukkan kilatan berbeda...
Sesuatu yang tak bisa ditangkap oleh mata biasa.
> "Bisakah kamu... membantuku?"
Cheviolla menyipitkan mata. “Apa?”
Raka terlihat gugup. Tangannya mengepal di pangkuan. Walaupun selama ini ia dikenal sebagai pria yang ceria dan banyak canda, namun ini adalah pertama kalinya dia meminta sesuatu... kepada seorang perempuan.
Suara Raka nyaris sehalus bisikan.
> "Jadi... pacarku."
Cheviolla memiringkan kepala, bingung apakah ia baru saja salah dengar.
> “Hah? Apa?”
Raka menunduk, lalu—masih dengan suara pelan—mengulang:
> “Jadi pacarku.”
Hening sejenak. Suara riuh kantin seakan lenyap dari telinga Cheviolla.
Mata gadis itu membulat, bibirnya terbuka setengah, seolah tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Ia memandang Raka dengan tatapan antara kaget dan geli.
> “Kau... kau demam, ya?”
Raka mengangkat wajah sedikit. Ia tertawa kaku—canggung—lalu buru-buru menunduk lagi, menghindari sorot mata Cheviolla.
> “Enggak… aku serius.”
Kali ini suaranya sedikit lebih jelas. Tapi bukan itu yang membuat dadanya berdetak lebih cepat.
Dalam hati, Raka berkecamuk.
> "Aku ingin minta dia berpura-pura jadi pacarku. Kubawa pulang ke nenek, demi membuat nenek tenang… Tapi kalau kukatakan itu, nenek pasti curiga. Apalagi Cheviolla ini bukan tipe gadis yang gampang diajak bercanda soal beginian. Lagipula..."
Matanya melirik gadis di depannya sekilas.
> "...aku memang sedikit menyukai gadis kutub ini. Dingin... tapi selalu bikin penasaran. Tapi... gimana kalau dia menolak? Gimana kalau dia pikir aku gila? Gimana kalau dia—”
“Raka?”
Suaranya terhenti. Pikiran berlarian. Raka menarik napas dalam-dalam. Ia mengangkat kepalanya sedikit, memaksakan senyum paling santai yang bisa ia buat.
> “Aa a a aku serius, Cheviolla. Aku... ingin kamu jadi pacarku.” masih dengan suara lirih.
Sudut bibir Cheviolla sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang sulit diartikan. Tatapannya tetap tenang, bahkan terkesan dingin, saat dia berkata:
> “Aku tidak tahu kamu serius atau cuma becanda… atau mungkin kamu punya rencana lain. Tapi, kalau kamu berani berdiri dan bilang dengan keras, mungkin aku akan mempertimbangkannya.”
Belum selesai kata-kata itu mendingin di udara, Raka langsung berdiri dari kursinya.
> “AKU RAKA! DAN AKU INGIN CHEVIOLLA JADI PACARKU!”
Suara lantang itu memecah kantin.
Semua kepala menoleh.
Seseorang tersedak hingga memukul-mukul dadanya sendiri.
Seorang mahasiswa lain terjatuh dari kursi dengan ekspresi shock.
Suasana hening sejenak—sebelum berubah menjadi riuh rendah bisik-bisik.
Tatapan semua orang tertuju ke arah Raka, penuh kebodohan, keheranan, dan ketidakpercayaan.
> “Apa dia gila?”
> “Dia serius? Sama Cheviolla?”
> “Jangan-jangan dia mengira Cheviolla benar-benar suka padanya, cuma karena kemarin dibela…”
Beberapa orang tertawa pelan, sebagian lagi menggelengkan kepala, seolah menyaksikan lelucon hidup. Tapi Raka tetap berdiri tegak, meski jantungnya hampir meloncat keluar dari dada.
Cheviolla sendiri masih terdiam di kursinya. Tatapannya sedikit berubah—ada keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Dia tidak menyangka Raka akan benar-benar melakukannya.
Perlahan, dia bangkit. Langkahnya tenang, tidak tergesa. Ia berdiri di hadapan Raka, memandang anak laki-laki dengan setelan cupu dan wajah polos itu.
Lalu dengan nada datar, tapi cukup keras untuk didengar seluruh kantin, ia berkata:
> “Oke. Aku terima.”
Kantin benar-benar meledak.
Teriakan, sorakan, tawa, bahkan jeritan histeris dari beberapa mahasiswi yang menyaksikan langsung kejadian itu.
Bahkan lebih dari itu—beberapa mahasiswa sudah sejak awal mengangkat ponsel mereka, merekam momen tersebut.
Dan ketika Cheviolla berkata “aku terima”, rekaman itu langsung tersebar.
> [Video: "Si Cupu Nembak Dewi Kampus, dan Diterima!? 😱🔥"]
Diposting oleh akun anonim di forum kampus, dalam waktu lima menit, video itu sudah mendapatkan ratusan komentar dan ribuan tayangan.
Judul-judul clickbait mulai bertebaran:
— "Cheviolla akhirnya buka hati?!"
— "Raka... siapa dia sebenarnya?"
— "Dewi Kampus dan si Cupu: cinta atau jebakan?"
Komentar pun beragam:
> “Kok bisa sih?”
“Demi apa… dia diterima!?”
“Gue yakin ini ada konspirasi.”
“Bukan kah itu cowok yang naik vespa itu?”
---
Sementara itu, Raka masih berdiri seperti patung, matanya membulat tak percaya dengan jawabannya sendiri, dan terutama—jawaban Cheviolla.
> Dia beneran... nerima?
Cheviolla menatap Raka datar, lalu membisik perlahan agar hanya dia yang mendengar:
> “Kau yang mulai permainan ini… jangan berhenti di tengah.”
>"aku tidak bermain aku serius, ini juga pertama kalinya aku punya pacar, aku juga sedikit suka denganmu