Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Anak penjual snack
Suasana tegang menyelimuti seantero toko itu. Ia tak dapat membendung amarahnya. Yang ingat dengar hanya kata bunuh. Itu membuat Riski frustasi, ia hanya ingat kesedihan yang saat ini ia rasa rasakan. Ia tak peduli lagi apa yang akan terjadi jika ia melakukan sebuah pembunuhan lagi. Ia diam sejenak, meratapi nasibnya yang ia rasa sudah sangat malang. Dan membunuh mungkin adalah salah satu cara ia melepaskan stresnya itu.
Tiba-tiba, dalam kebimbangan itu ia teringat suatu momen. Hujan itu membangunkan memori yang pernah lalu.
Suatu ketika Riski berjalan keluar kostnya itu, ia menatap langit. Hujan deras terus membasahi sekujur tubuhnya. Sesekali air matanya menetes. Meratapi nasibnya yang tak seberuntung orang lain tak ada orang tua, tak ada neneknya lagi. Ia hidup sendirian di tengah dunia yang luas ini. Gemuruh guntur menghiasi malam itu. Berjalan tanpa arah dan tujuan."Tuhan... Kenapa kau terlahir begini.....!" Riski berteriak ke arah langit. Perjalanannya terhenti di depan sebuah trotoar. Di depannya terlihat ada anak yang menggigil, di bawah payung kecilnya ia menjajakan makanan Kemudian, ia menghampiri anak itu. "Dek, beli snacknya, berapa satu?"
Anak itu menyodorkan jualannya." Lima ribu rupiah kak"
Riski membeli jajanan itu," Dek, kamu umur begini jualan ketika hujan. Seharusnya kamu itu di rumah, nanti kamu sakit. Orang tuamu kemana? "
"Saya yatim piatu kak, orang tuaku meninggal karena kecelakaan, saya pun berjualan untuk biaya sekolah, karena tidak ada yang mengurusi saya "
Ucapan anak itu membuat Riski tertegun. Ia terdiam sejenak matanya menatap anak itu dengan dalam, hampir tak berkedip. "Dek, kembaliannya simpan yah," ia memberikan anak itu uang Lima puluh ribu rupiah.
"Maaf kak, bukan saya menolak rejeki. Tapi saya berusaha untuk diri saya , tidak berharap dikasihani orang selagi saya masih kuat." Riski terdiam sejenak.
Kemudian ia mengambil uang kembaliannya itu dari tangan anak itu. Hujan tak kunjung reda. Riski pun pamit ke anak itu." Dek, saya pergi dulu, ada sesuatu yang harus saya selesaikan. "
Anak itu pun menatap Riski sejenak." Kak, semangat yah, Mata kakak seperti orang yang tak ada arah tujuan. Tapi ingat kak , selalu tersenyum selama kita masih di beri nafas oleh tuhan."
Riski membelai pelan kepala anak itu dan ia pun berlalu pergi. Uang itu ia sisipkan di jualan anak itu. Anak itu ternyata menyadari hal itu. " Kak.. uangnya?" Anak itu berteriak memanggil Riski. Tapi Riski tetap lanjut berjalan pulang .
"Rezeki dari tuhan melalui saya, simpan saja ." Riski tak menoleh, ia hanya melambaikan tangannya sembari tetap berjalan.
Riski seolah mendapatkan pelajaran dari hal itu, bahwa hidupnya yang sekarang masih lebih baik dari orang lain. Jadi dia akan melanjutkan perjalanan hidupnya meski berliku. Dan ia mendapatkan jawaban atas kebimbangan yang ia hadapi. Ia mendapatkan jawaban atas amarah atau kesedihan yang ia hadapi. Ia mendapatkan jawaban bahwa tak selamanya ia sendiri. Ia masih bersama orang-orang yang mengasihinya.
Nafas Riski perlahan sedikit pelan. Ia teringat hal itu. Seolah membuka matanya agar tidak gegabah dalam melakukan sesuatu. Ia bangkit, tapi ia tak melanjutkan aksinya itu. Kedua pria itu terkapar. Ia memilih untuk kembali memeriksa keadaan Rizal. "Rizal... Rizal... " Ia mengecek denyut nadi temannya. Temannya masih hidup ia hanya tak sadarkan diri. Apakah ada sesuatu agar temannya bisa bangkit. Ia tak mungkin pergi sementara, kedua pria itu masih ada di tempat. Khawatir dengan keadaan temannya. Ia merobek lengan bajunya kemudian membungkus mika temannya itu . Tak berselang lama Rizal bangun. "Riski? " Suara Rizal pelan.
"Hey sobat, mereka berdua dimana?" Rizal mencoba untuk tetap berbicara meski ia merasakan sakit.
"Mereka pingsan, bela harus di cari dulu. Kamu kalau melihat mereka bangun, langsung lari sekuat tenaga. Aku percaya kamu "
Riski menggenggam tangan temannya itu.
"Pergilah Riski. Percaya dengan saya." Rizal lanjut berbaring.
Dengan tubuh yang tak fit lagi, Riski pergi mencari Bela. Ia mencoba menahan rasa sakit itu. Ia meninggalkan Rizal sementara. Ia pun berjalan mengikuti jejak kaki yang samar di lantai toko yang berdebu.
Malam kian larut. Suasana toko itu sepi dan senyap.
Aroma debu dan lembap yang menyatu membuat suasana makin tak karuan. Suara tikus yang berlarian menghiasi tempat itu. Sesekali terdengar suara burung hantu yang melolong di luar, menambah kesan angker tempat itu.
Tak... Tak... Tak... terdengar suara langkah kaki yang menggema di kegelapan, semakin mendekat.
Bela menggenggam tangannya erat-erat. Keringat tak berhenti mengucur. Ia hanya bisa duduk meringkuk—terdiam di sudut tembok. Hanya dus-dus kosong yang melindunginya.
Riski ingin berteriak, tapi tenaganya belum pulih sepenuhnya.
Dalam kegelapan, ia berjalan pelan.Tak lama kemudian ia melihat sosok yang sedang meringkuk. Sesekali terdengar isak tangis yang ditahan.
“Bela?” Riski berjalan di antara dus-dus itu, sesekali menepikan dus yang menghalanginya melangkah.
Bela mengangkat kepalanya. Ia melihat Riski di depannya. Untuk sejenak, ia pun menatap wajah Riski dalam-dalam. Ia mengucek matanya, seolah tak percaya.
“Huuu... Riski... Aaaaaa..” Tangis Bela pecah. Air matanya mengucur deras. Ia langsung melompat dan memeluk Riski.
Riski memegang tangan Bela . “Dingin sekali tanganmu.”
Bela tak menjawab. Ia hanya memeluk Riski. Kepalanya disandarkan di dada Riski. Tangan Riski membelai rambut Bela.
“Hiks... Hiks... Sa—saya kira tadi mau diculik atau... atau dijual... Hmmm... atau saya dibunuh...”
“Syuuttt...” Riski menempelkan jari telunjuknya ke mulut Bela.
“Sudah, jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu sudah aman sekarang, yah.” Riski memeluk Bela yang terlihat kedinginan.
Tak berselang lama, Riski terdiam. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. Di sudut matanya ia melihat siluet tinggi di sudut ruangan.
Riski tak berkedip, ia fokus memperhatikan apa yang akan dilakukan sosok itu.
“Riski, kenapa? Kok tiba-tiba diam begitu? A—ada hantu, kah?” Bela menggigil—bulu kuduknya berdiri ketika merasakan aura tak mengenakkan.
“Ahh, tidak ada apa-apa.”
Riski menyadari keberadaan sosok itu hanya sebatas penunggu toko tua itu. Ia tahu Bela yang sedari awal ketakutan pasti tidak akan siap dengan hal itu, meski sosok itu tak mengganggu.
"Kita temui Rizal, ia sedang terluka juga." Riski menatap mata bela.
"Rizal ikut kah? Dimana dia, kenapa kalian bisa terluka? " Riski menempelkan jarinya ke bibir Bela." Jangan dulu matilah bertanya," Bela seketika memalingkan wajahnya. Pipinya merah merona secara tiba-tiba ketika mendapat perlakuan itu dari Riski. Ia kembali menatap Riski." Ris.. Emm.."
Riski merasa heran dengan yang terjadi, tapi ia tak ingin terlalu berlarut-larut. Ia pun langsung berjalan dengan Bela menuju ke tempat Rizal...