Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kamu Bukan Untuknya
Langit sore di rumah Achazia tampak memudar warnanya, seakan ikut meredup bersama perasaan yang berkecamuk di dalam hati gadis itu. Di ruang makan yang megah, dengan lampu gantung kristal yang berkilauan, Achazia duduk bersama Papa dan Mamanya. Namun, tak ada kemewahan yang bisa meredakan ketegangan di antara mereka.
Papa duduk tegak, tangannya bertaut di atas meja. “Za, Papa sudah cukup memberi kamu kebebasan, kan?” tanyanya pelan, tapi tegas.
Achazia mengangguk pelan, merasa firasatnya benar. Percakapan ini… pasti soal Elvareon.
“Papa tidak ingin kamu dekat dengan anak itu lagi.”
Perkataan Papa meluncur cepat, tajam, tanpa jeda.
Achazia mencoba menahan napas, menyembunyikan kegelisahannya. “Kenapa, Pa? Dia teman yang baik. Dia kerja keras, dia bukan orang jahat.”
Papa mengerutkan dahi. “Za, Papa tahu latar belakangnya. Papa tahu keluarganya. Bukan berarti Papa meremehkan dia, tapi… dunia ini keras, sayang. Dunia Papa ini bukan dunia dia.”
Mama yang sejak tadi diam, menyentuh tangan Papa pelan, mencoba meredam suasana. Tapi Papa sudah terlanjur terbawa emosi.
“Kamu tahu betapa keras Papa bekerja agar kamu tidak perlu merasakan susahnya hidup, Achazia,” lanjut Papa. “Papa tidak mau kamu masuk ke dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian hanya karena rasa iba atau kekaguman sesaat.”
Achazia meremas jemari tangannya sendiri. “Pa, aku tidak kasihan pada Elvareon. Aku kagum, iya. Tapi dia temanku. Dia sudah seperti keluarga kedua aku di Crystal Heights dulu. Kenapa Papa melihatnya hanya dari sepedanya yang tua, atau rumahnya yang sederhana?”
Papa terdiam sejenak. Hening itu terasa berat.
“Karena begitulah dunia memandang, Za,” jawab Papa lirih tapi tegas. “Kamu boleh menuduh Papa kolot, tapi Papa tahu dunia nyata. Hubungan kamu dan dia... akan lebih banyak menghadapi tembok daripada jembatan.”
Achazia tahu, berdebat lebih jauh hanya akan memanaskan suasana. Dia memutuskan diam, menunduk, meski hatinya menjerit.
Di sisi lain, di sebuah kota yang berbeda, Elvareon duduk di bangku taman kecil dekat asrama mahasiswa St. Aurelius University. Malam itu udara cukup dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.
Kaivan memberi pesan kepada Elvareon.
“Papa Achazia sudah mulai ‘bergerak’, El,”
Tak ingin membuat temannya makin tertekan. “Brianna cerita, Achazia dimarahi habis-habisan tadi di rumah.”
Elvareon menghela napas panjang. “Sudah kuduga. Mungkin ini saatnya aku menjauh. Aku nggak mau dia disalahkan karena dekat sama aku.”
Kaivan membaca pesan Elvareon, tak tega. “Tapi kalian sama-sama suka. Kenapa harus menyerah?”
“El, kamu lupa?” Kaivan lanjut mengetik. “Dari dulu kamu yang ngajarin aku dan Brianna untuk nggak menyerah meski keadaan susah. Sekarang kamu sendiri nyerah begitu aja?”
Elvareon tersenyum pahit. “Beda, Van. Ini bukan cuma tentang aku dan dia. Ini tentang dunia dia dan dunia aku. Aku nggak mau Achazia terluka.”
Kaivan terdiam. Malam itu, Elvareon benar-benar terlihat lelah.
Keesokan harinya, di grup chat Masa SMA Paling Chaos 🌀, suasana terasa aneh.
Achazia: “Kalian di kampus gimana?”
Brianna: “Lagi di lab. Kamu sendiri?”
Kaivan: “Gue bareng Brianna. Biasa, sibuk sama laporan.”
Elvareon: “Aku di IGD. Maaf nggak banyak bisa balas.”
Achazia: “Hati-hati ya kalian…”
Tak ada lagi candaan khas mereka. Semuanya terasa... formal. Tak seperti dulu.
Achazia menatap layar ponselnya. Rasanya ingin menelpon Elvareon, ingin menanyakan kabarnya, ingin mendengar suaranya. Tapi dia tahu, setiap panggilan masuk bisa saja membuat Mama atau Papa curiga.
Elvareon pun merasakan hal yang sama. Di sela-sela jam jaga IGD, ia menatap ponselnya, jarinya melayang-layang di atas ikon pesan, tapi tak pernah benar-benar menekan tombol kirim.
Di kamar Achazia, malam itu, ia duduk di meja belajarnya, mengambil secari kertas dan mulai menulis.
"Elvareon, aku tahu kita sekarang seperti berada di dua dunia berbeda. Papa tidak menyukaimu, bukan karena kamu salah, tapi karena dia takut aku terluka. Tapi aku tidak takut, El. Aku ingin kamu tahu itu.
Semoga surat ini sampai ke kamu. Kalau tidak, setidaknya aku sudah menuliskan perasaanku.
Jangan pernah menyerah menjadi dokter, meski dunia kita ini belum berpihak. Aku akan terus mendukungmu, dari jauh sekalipun.
- Achazia"-
Achazia melipat surat itu pelan, memasukkannya ke dalam amplop. Ia berencana menitipkannya ke Kaivan nanti lalu menyuruhnya mengirim surat itu ke asrama Elvareon karena mereka di kota yang berbeda.
Di sisi lain, Elvareon, di kamarnya yang sederhana, juga menulis sesuatu di notes kecilnya.
"Achazia, aku ingin bilang kalau aku... ingin memperjuangkan kamu. Tapi aku sadar, ada dinding besar bernama 'restu' yang menghadang.
Tapi aku akan tetap berjalan, meski tertatih. Karena aku ingin suatu hari, saat kamu melihatku, kamu bisa bangga._
- Elvareon"-
Namun catatan itu tak pernah dikirimkan.
Seminggu berlalu.
Kaivan dan Brianna bertemu di kampus, duduk di kantin sambil memegang amplop. Milik Achazia yang ingin dikirim Brianna ke Elvareon
“Mau diapain nih?” tanya Kaivan, menatap Brianna.
Brianna menghela napas panjang. “Kalau kita kirim sekarang, bukannya malah makin rumit?”
Kaivan mengangguk. “Iya, kayaknya lebih baik kita simpan dulu. Tunggu waktu yang tepat.”
Akhirnya, amplop itu dimasukkan ke dalam laci meja Kaivan. Terkunci rapat, menunggu saat yang entah kapan akan tiba.
Achazia semakin sering menatap ponselnya dengan harapan nama Elvareon muncul di layar. Namun yang ada hanyalah hening.
Di malam-malam yang sepi, ia hanya bisa menulis di buku diary-nya.
"Aku rindu, tapi aku tahu aku harus kuat. Karena kalau aku menyerah, semua ini akan sia-sia."
Di kota lain, Elvareon juga menatap langit-langit kamar asramanya, bertanya dalam hati, “Kalau aku bukan untuknya… kenapa hatiku selalu tertuju padanya?”
Achazia duduk di balkon rumahnya, menatap langit malam, memeluk lututnya, dengan surat di tangannya yang tak pernah sampai ke Elvareon.
Elvareon duduk di lorong rumah sakit, di sela-sela jadwal jaga malam, memegang notes kecil yang bertuliskan pesan untuk Achazia, namun tak pernah berani dikirimkan.
Surat-surat yang tak pernah sampai, menjadi penghubung rasa mereka yang tertahan.
Pak Gino melihat Achazia yang termenung duduk di balkon rumahnya lalu menghampirinya.
"Non," panggil Pak Gino
"Kamu pasti sangat sedih ya, bapak tahu itu." ucap Pak Gino
Achazia mengangguk.
"Kalau mau berbagi cerita, kamu tahu pasti kalau bapak juga dari keluarga yang kurang mampu. Tapi sampai sekarang bapak berusaha dan sangat bersyukur bisa kerja di keluarga kamu"
Pak Gino menghela nafas
"Tapi kamu harus ingat, tidak selamanya cinta itu berujung bahagia. Toh bapak juga cerai kan sama istri bapak. Itu juga salah bapak tidak berhasil melindungi istri bapak."
"Tapi kan istri bapak udah gak ada," ucap Achazia ragu dan pelan.
"Itulah Nona Zia. Andai dulu bapak tidak meninggalkan mereka. Pasti istri dan putri bapak selamat dan udah seumuran sama kamu. Bapak kesepian waktu itu. Tapi karena kamu, bapak tidak kesepian lagi. Bapak udah menganggap kamu sebagai putri bapak sendiri. Bapak tahu rasanya jadu seorang ayah walaupun sebentar."
Percakapan itu membuat mata Achazia berbinar. Dia ingat sekali saat istri dan putri Pak Gino sedang membeli kue. Ya, kue ulang tahun putri Pak Gino. Tapi, saat mereka menyebrang, kecelakaan terjadi. Dalam sekejap kedua orang yang disayanginya sudah tiada.
Andai waktu itu Pak Gino ikut membeli kue itu dan tidak menunggu di mobil, pastinya istri dan putrinya selamat. Tapi sekarang apalah daya. Kejadian itu tak dapat diulang semua hanya akan menjadi penyesalan.
Setelah satu jam di balkon, Achazia permisi untuk kembali ke kamar dan Pak Gino mengangguk.
Bibi Eli melihat Achazia dengan wajah murung dan menghampirinya
"Non, ada apa? Kok murung?" tanya bibi Eli
Achazia menggelengkan kepalanya lalu masuk ke kamar. Bibi Eli, asisten rumah tangga yang sudah ada sejak Achazia masih bayi. Bibi yang sangat sayang kepada Achazia dan sudah menganggapnya sebagai putrinya sendiri.