Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh cinta
Membayangkan senyum Camelia saat menerima hadiah darinya sudah cukup membuat perut Sena dipenuhi ribuan kupu-kupu. Dalam pikirannya, ia yakin gadis itu tidak akan menolak. Bahkan mungkin, akan sangat senang dan jika itu terjadi, setidaknya langkah pertamanya menuju hati Camelia tidak sepenuhnya sia-sia.
Beberapa hari sebelum buku itu sampai ke tangan Camelia, Sena sempat menghubungi salah satu teman lamanya, Abby. Seorang dosen pula, meski mengajar di universitas yang berbeda.
Pertemuan mereka disepakati berlangsung di sebuah restoran semi-formal di tengah kota. Tempat yang tenang, dengan interior hangat dan makanan yang menggoda selera.
Sena dan Abby duduk berhadapan, menyantap makan malam sambil bertukar kabar. Keduanya tak bertemu cukup lama, dan pertemuan itu terasa seperti jeda dari rutinitas yang melelahkan.
“Lama banget kita nggak ketemu ya, Sen? Setahun lebih kayaknya?” tanya Abby sembari menyeka sudut bibirnya dengan sapu tangan.
Sena mengangguk kecil, mengambil napas sejenak sebelum menjawab. “Kurang lebih, ya … setahun. Sama-sama sibuk. Kamu gimana? Kerjaan lancar? Dengar-dengar, istrimu hamil lagi? Ngebut banget hidupmu,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Abby ikut terkekeh. “Iya, alhamdulillah. Anak kedua. Samara udah tujuh bulan hamil sekarang.”
Sena tersenyum. “Wah, selamat, ya. Semoga sehat-sehat terus.”
Abby memandang Sena sejenak, lalu bertanya, “Kamu kapan? Nggak pengen nyusul?”
Pertanyaan klasik, yang terdengar seperti formalitas dalam usia mereka sekarang. Tapi tetap saja, membuat Sena terdiam sejenak, lalu menjawab dengan senyum datar.
“Doain aja, lagi berusaha.”
Abby menatapnya lekat. Ia tahu, dan tak perlu disebutkan pun tahu. Luka lama masih membekas. Kisah dengan Sasa, mantan kekasih yang sempat Sena perjuangkan mati-matian, tapi berakhir dengan pengkhianatan, adalah cerita yang Abby cukup paham luar dalamnya.
“Semoga yang kali ini nggak nyakitin kamu, ya,” ucap Abby.
Sena mengangguk, lalu menyesap air putihnya sebelum berkata, “By, sebenarnya aku juga mau minta tolong sesuatu.”
Abby mengangkat alis, sedikit terkejut. “Apa, nih?”
“Kamu masih kolektor buku, kan? Apalagi novel-novel asing yang nyaris mustahil didapat di sini.”
“Masih, emangnya kenapa?”
“Aku lagi cari satu novel. Best seller genre romance, katanya puitis banget. Penulis luar. Aku udah cari ke mana-mana, toko fisik maupun online, tapi tetap nggak dapat.”
Abby menyimak, lalu mengangguk. “Judulnya?”
Sena menyebutkan judul novel yang dimaksud, lengkap dengan nama penulisnya.
“Aku yakin kamu bisa dapetin, By. Bayarnya lima kali lipat pun nggak apa-apa. Asal dapat.”
Abby tertawa pendek, bukan karena jumlah uang yang disebutkan, melainkan karena melihat kesungguhan di wajah temannya itu. Ia tahu betul, Sena bukan tipe lelaki yang tertarik dengan novel-novel romansa. Bahkan bisa dibilang, cukup skeptis terhadapnya.
“Buat kamu?” tanya Abby heran.
Sena tersenyum kecil. “Bukan, buat seseorang.”
“Wah, spesial, nih.” Abby menyipitkan mata. “Pacar?”
“Calon, mungkin,” Sena terkekeh. “Dapat informasi dari Mamanya, katanya dia lagi cari buku itu. Udah muter-muter tapi belum berhasil. Mamanya juga bilang, kalau aku yang berhasil ngasih buku itu ke dia, peluangku bisa lebih besar.”
“Wah... kamu masih sama, ya. Kalau sudah ingin, diusahakan sampai dapat,” sahut Abby sambil menggeleng, tak bisa menahan kekagumannya.
Sena hanya tertawa pelan, lalu meneguk minumnya.
“Oke, aku bantu cari. Tapi kasih waktu, ya. Paling cepat tiga hari. Nggak bisa langsung.”
“Deal.” jawab Sena cepat, matanya berbinar.
Kini, buku itu kemungkinan besar sudah berada dalam pelukan Camelia, dan Sena yang duduk di ruang kerjanya dengan cahaya matahari siang menyelinap dari jendela, hanya bisa membayangkan ekspresi Camelia saat membuka paper bag itu.
Apa dia tersenyum? Apa jantungnya berdebar seperti aku sekarang?
Entahlah.
Tok! Tok! Tok!
Lamunan Sena buyar seketika. Suara ketukan pintu ruangannya membuatnya segera kembali ke dunia nyata. Ia buru-buru memperbaiki raut wajah, menghapus senyum yang sedari tadi menghiasi bibirnya dan menggantinya dengan ekspresi serius. Tangannya pun dengan cepat merapikan tumpukan dokumen di atas meja, berlagak seperti sedang tenggelam dalam pekerjaan.
“Masuk.” ucapnya.
Pintu terbuka perlahan dan seseorang melangkah masuk. Langkah itu tenang, namun cukup memberi dampak besar pada jantung Sena yang seketika berdetak lebih cepat, dan ketika ia mengangkat wajah, matanya membelalak.
“Mel?” panggilnya, sedikit tak percaya. “Tumben. Ada perlu apa?” lanjutnya sambil bangkit dari duduknya.
Camelia berdiri di ambang pintu, tanpa ekspresi. Pandangannya tajam, bibirnya rapat. Ia hanya diam, diam yang membuat ruang kerja Sena terasa sesak dan dingin.
Sena, yang semula sumringah, kini mulai diliputi tanda tanya. Ia mengikuti arah pandangan Camelia yang mengarah ke sebuah paper bag hitam di atas mejanya, paper bag yang ia titipkan lewat ibunda Camelia.
Dadanya berdebar. Jangan bilang ….
Sambil mencoba mencairkan suasana, Sena mengambil paper bag tersebut. “Hm … kamu suka?” tanyanya.
Namun, alih-alih mendapatkan jawaban positif, Camelia justru menjawab dengan nada dingin yang menusuk.
“Bisa tidak berhenti bersikap seperti ini? Anda itu dosen saya, Pak. Dan saya tidak ingin semua mahasiswa di kampus ini berspekulasi buruk tentang saya. Apapun yang terjadi, Anda tetap dosen saya. Jadi, saya mohon, jaga batas Anda. Jujur, saya terganggu dan saya harap, ini menjadi peringatan terakhir. Tolong hargai privasi saya.”
Sena terdiam. Kata-kata itu bagai tamparan keras di wajahnya. Tangannya yang memegang paper bag mulai bergetar, sambil menelan ludah dengan susah payah.
“Mel, ini semua nggak seperti yang kamu kira. Aku cuma—”
“Cuma apa, Pak?” potong Camelia. “Baru berangkat bareng Anda saja, sudah banyak yang menggunjing saya. Apalagi kalau mereka tahu Anda seperti ini? Selama ini, hidup saya cukup tenang. Saya berusaha sebisa mungkin menjauhi hal-hal yang berisik dan merepotkan. Tapi ternyata, kebaikan saya disalah artikan. Saya harap Anda bisa memahami maksud saya. Maaf kalau saya terdengar tidak sopan. Saya permisi.”
Ia pun berbalik, bersiap meninggalkan ruangan itu. Namun belum sempat ia mencapai pintu, Sena buru-buru melangkah mengejarnya dan meraih pergelangan tangan gadis itu.
“Mel, tolong … tunggu sebentar. Aku minta maaf, sungguh.”
Camelia menoleh, menatap pria itu. Ada sesuatu di mata Sena yang belum pernah ia lihat sebelumnya, ketulusan yang mentah, penuh keraguan, tapi juga keberanian.
“Aku tahu kamu mungkin akan menolak, tapi … tolong lihat aku bukan hanya sebagai dosen. Lihat aku sebagai pria yang ingin membuatmu bahagia. Buku itu, hadiah kecil, aku hanya ingin melihatmu tersenyum.”
Camelia tetap diam.
“Memangnya salah kalau aku memberikan sesuatu untukmu? Apa salahnya jika... aku merasa tertarik padamu?” lanjut Sena, semakin rendah suaranya. “Aku tahu, ini tidak seharusnya. Tapi aku juga hanya manusia, Mel. Dan... aku jatuh cinta.”
Camelia mengerutkan kening. Ia terdiam sesaat, mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya. Lalu ekspresinya berubah, terkejut, kesal, tidak percaya.
“Pak, jangan bercanda. Ini tidak lucu!” sentaknya, menghempaskan tangan Sena dari genggaman.
“Aku tidak bercanda. Maaf jika aku lancang, tapi—”
Camelia tidak menunggu kalimat itu selesai. Ia membalikkan badan dan melangkah cepat keluar dari ruangan itu.
Pintu tertutup dengan suara pelan, namun meninggalkan dentuman yang begitu keras di dada Sena. Ia terdiam di tempat, memejamkan mata.
“Sial! Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Seharusnya aku sabar!” gumamnya lirih, menyesali keberaniannya yang terlambat ia sadari mungkin bukan pada tempatnya.
......................
Langkah Camelia terasa cepat, hampir seperti lari kecil saat meninggalkan ruang dosen itu. Tapi bukan karena takut, bukan juga karena malu. Hanya saja, emosinya benar-benar tak tertahankan dan ia butuh ruang. Butuh udara dan butuh jeda.
Jantungnya masih berdetak kencang, serta nafasnya tidak beraturan. Flat Shoes yang dikenakannya menghantam lantai koridor dengan suara ritmis yang entah kenapa malah menambah gaduh isi kepalanya.
Astaga... tadi itu apa? batinnya kalut.
Ia baru saja ditatap, disentuh, dan diucapkan pernyataan cinta oleh dosennya sendiri. Bukan sekadar dosen, tapi Girisena Pramudito, sosok yang selama ini ia anggap dingin, disiplin, dan tak tersentuh oleh hal-hal seperti cinta. Tapi nyatanya, “Jatuh cinta?” gumamnya nyaris tak bersuara, merasa kalimat itu masih bergema di kepalanya.
Camelia mencengkram tali tas selempangnya dengan kuat, seakan sedang mencoba menahan sesuatu yang nyaris tumpah dari dadanya.
Marah? Ya. Kaget? Tentu. Tapi juga, ada hal lain yang ia tidak ingin akui.
Ia menghentikan langkah, berdiri di salah satu sisi koridor kampus yang agak sepi. Punggungnya bersandar ke dinding dingin dengan mata terpejam.
Camelia tidak pernah mengizinkan dirinya terlalu dekat dengan siapapun, terutama pria. Dunia mode yang ia geluti saja sudah cukup melelahkan dengan segala penilaian, ekspektasi, dan standar tinggi dari luar. Ia tidak ingin menambahkan drama personal ke dalam daftar beban harian yang harus ia hadapi.
Tapi sekarang? Dosennya, yang seharusnya menjadi sosok profesional, justru menambah daftar kekacauan emosinya.
“Bodoh!” rutuknya sendiri, meninju pelan dadanya. Ia menunduk. Hatinya penuh, pikirannya sesak.
Namun di sela amarah itu, ada satu hal yang tidak bisa ia tolak, rasa bersalah. Ia merasa jahat karena telah menyakiti perasaan orang lain. Terlebih, seseorang seperti Sena yang selama ini tidak pernah memperlihatkan sisi rentannya pada siapa pun, kecuali barusan.
“Tapi bukan berarti aku bisa menerima perlakuan kayak tadi. Dia tetap dosenku dan aku tetap mahasiswanya.Harus ada batas!” tekannya dalam hati.
Camelia melangkah lagi, mencoba membawa tubuhnya kembali ke realita, walau pikirannya masih tercekat oleh ucapan terakhir Sena.
‘Aku jatuh cinta.’
Kalimat itu, anehnya, terus terngiang, berulang, seolah belum selesai tertanam di dalam dirinya.