Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 HUJAN YANG MENYATUKAN
Waktu terus merambat, seolah enggan bergerak maju. Detik-detik panjang terasa seperti abadi. Langit di atas mereka telah kehilangan segala warna, menyisakan hitam legam yang menggantung berat, menunduk di atas kepala.
Di dalam lubang pohon itu, suara hujan terdengar seperti ribuan peluru—jatuh dari langit, menghantam daun, tanah, dan tubuh mereka tanpa belas kasihan.
Angin mulai menderu, liar, menembus celah-celah batang kayu, membawa serta hawa dingin yang bukan sekadar udara. Ia menyelinap, menusuk kulit, menyusuri aliran darah, dan menggigilkan tulang hingga ke sumsum.
Zia semakin mengeratkan selimut tipis itu ke tubuhnya.
“Sepertinya hujan belum mau berhenti,” gumamnya, pelan.
“Tenang saja. Jake pasti akan datang.” Nada suara Viren terdengar yakin.
“Jika tidak?”
Viren menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Zia yang mulai pucat.
“Dia pasti datang,” ulangnya, kali ini lebih tegas, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, suara lain menggema di ruang sempit itu—bukan petir, bukan pula gemuruh hujan. Tapi suara perut yang kosong, memprotes dengan kerasnya.
Zia menoleh pada Viren yang membuang muka, tampak malu. Ia lalu meraih ranselnya, mengaduk-ngaduk isinya dengan harapan.
“Aku masih punya makanan,” ucapnya.
Viren melirik. Ia melihat Zia mengangkat sebuah apel merah yang sudah penyok, mungkin karena benturan saat jatuh tadi. Juga satu kotak kecil susu.
“Hanya itu?”
Zia kembali menyusuri isi tasnya.
“Ini dia,” katanya antusias.
“Senter?” gumam Viren saat sebuah senter kecil muncul dari dalam tas.
“Kau benar-benar siap kali ini.”
Terlalu siap malah, pikirnya.
Zia menyalakannya, dan cahaya hangat dari senter mulai mengusir pekat di dalam lubang kayu. Sejak baterai ponsel mereka mati satu per satu, ini jadi satu-satunya cahaya yang tersisa.
“Aku lihat kau seperti akan mendaki gunung, jadi aku minta Emi menyiapkan perlengkapan hiking,” jelasnya sambil tersenyum kecil.
“Termasuk semangka?”
Zia cengengesan. “Itu… ideku.”
Viren menghela napas, lalu membuka ranselnya sendiri. Ia mengambil sebotol air dan meneguknya sampai tetes terakhir.
Zia menggosok apel yang kotor ke bajunya. “Kau makan ini. Sudah bersih.”
“Kau pikir aku akan keracunan hanya karena apel kotor?”
“Ya,” jawab Zia singkat, tanpa ragu.
Ia menggigit roti sisa yang tadi dibungkus seadanya. Aroma ragi basi bercampur dengan hujan.
Viren masih menatap apel itu, ragu. Perutnya memberontak, tapi ada ego yang menahannya. Ia enggan meminta.
Tanpa berkata-kata, Zia meraih tangannya dan menyerahkan apel itu. “Kau bisa bayar nanti di rumah,” katanya pelan.
Akhirnya mereka makan. Tak banyak. Satu apel penyok, dua susu kecil, sepotong roti sisa, dan sebotol air yang kini tinggal kenangan. Tapi di saat seperti ini, itu semua terasa seperti perjamuan yang mewah.
Sementara itu, jauh dari tempat mereka, Manuel mengemudi dalam gelap. Jalanan licin, dan kabut mulai menebal, menghapus batas antara langit dan tanah.
Ia mengemudi dengan kecepatan sedang. Tak bisa lebih. Setiap tikungan bisa jadi jebakan.
Tangannya sibuk mencoba menelepon—satu per satu.
“Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan…”
“Sial!”
Manuel memukul setir. Baik Viren maupun Jake tak menjawab. Ia tidak punya nomor Zia. Atau lebih tepatnya, ia tidak pernah meminta. Satu kesalahan kecil yang kini terasa besar.
Dingin mulai menyusup ke dalam mobil, meskipun pemanas sudah menyala. Di luar, hujan semakin menggila. Kabin mobil seperti terkurung dalam tekanan dan waktu.
Raut wajah Manuel menegang. Rahangnya mengeras.
“Bertahanlah, Tuan…” gumam Manuel lirih, kedua tangannya tetap erat di kemudi, memaksa mobil menembus jalanan kabut yang kian menebal.
Di tempat lain, beberapa kilometer di atas lereng yang basah dan licin, Jake berdiri di tengah kerumunan tim penyelamat lokal. Jam di tangannya telah menunjuk pukul delapan malam. Langit telah benar-benar menutup diri, tak menyisakan cahaya sedikit pun—hanya hitam pekat dan gemuruh hujan yang menggila.
Butir-butir air jatuh tanpa ampun dari langit, menghantam jaket tebal yang kini terasa tak ada gunanya. Dingin berhasil menyelinap masuk, menggigit kulit hingga ke tulang.
Jake melipat tangannya ke depan dada, diam, matanya terus menatap ke atas—ke arah jalur sempit yang kini terhalang batang pohon besar yang tumbang sejak sore tadi.
Di balik sana...
Di balik rintik yang tak terlihat ujungnya...
Zia dan Viren.
“Sial…” desisnya, pelan namun penuh tekanan. Rahangnya mengeras.
Sejak kejadian sore tadi—saat Zia terdorong dan kehilangan pijakan, disusul Viren yang dengan refleks menolong dan ikut terjatuh—Jake belum bisa bernapas lega. Bahkan belum bisa bernapas utuh. Bagaimana kondisi mereka sekarang? Terluka? Kedinginan? Basah kuyup? Atau... lebih buruk dari itu?
“Tuan, Anda belum makan apa-apa,” ucap seorang pria tua yang berdiri tak jauh darinya. Ketua tim penyelamat lokal.
“Aku tidak lapar,” sahut Jake cepat.
“Tapi Anda butuh tenaga. Begitu angin dan petir berhenti, kami akan mulai menebang pohon itu,” lanjut pria tua itu, menunjuk batang besar yang menutup jalur utama. Kayunya basah, berat, dan keras. Hujan membuat semuanya lebih lambat dari seharusnya.
Jake tak merespons. Ia melangkah menjauh, kemudian berhenti di depan seorang pria muda yang duduk diam di antara para penyelamat. Jaketnya kebasahan, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil. Namun Jake tak melihatnya sebagai korban.
Tanpa banyak kata, Jake mencengkram kerah pria itu dan mengangkatnya sedikit dari duduknya.
“Kalau saja kau hati-hati saat turun... ini semua mungkin tidak akan terjadi!” suaranya tajam, nyaris berubah menjadi raungan.
Pria itu panik. Ia mengangkat kedua tangannya. “A-Aku minta maaf,” katanya tergagap. “Aku tidak sengaja menyenggolnya—aku sungguh tidak—”
Jake mengangkat tangan kanannya, nyaris menghantam wajah pria itu, jika saja dua orang penyelamat tak segera menariknya mundur.
“Tuan!” seru salah satunya, menahan lengan pria itu dengan kekuatan penuh.
Jake menghempaskan tangannya kasar. “Ck.” Ia mendengus. Wajahnya menegang, bukan karena ingin memukul, tapi karena rasa bersalah yang semakin mencengkram.
Ia ingat jelas bagaimana pria itu turun tergesa, dengan langkah arogan, menyenggol Zia tanpa permisi. Tak lama kemudian, segalanya berubah—satu terjatuh, satu ikut menyusul.
Dan sekarang... entah mereka masih hidup atau tidak.
Jake melangkah menjauh, menghantamkan sepatu boots-nya ke tanah berlumpur. Pikirannya gelap, setara dengan langit di atas sana. Ia merasa gagal. Gagal menjaga nyawa seseorang. Gagal melindungi... Tuan-nya.
Malam di luar terus mengamuk, seolah langit tak ingin memberi ampun. Hujan turun tanpa henti, derasnya membentuk tirai suara yang menelan seluruh dunia. Petir menganga di langit, menyayat kabut yang mulai turun di sela-sela batang pohon seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Viren menatap Zia—perempuan itu kini duduk menunduk, memeluk lututnya yang terlipat, menggigil dalam diam. Ia tak lagi banyak bicara. Selimut basah membalut tubuh mereka, berusaha mempertahankan sisa-sisa hangat yang terus terkikis.
Tapi sesuatu terasa berbeda.
“Hei?” bisik Viren.
Zia mencoba menjawab, namun rahangnya terkunci. Tubuhnya mulai lemas. Jari-jarinya kaku, tak lagi bisa digerakkan dengan normal.
Gemetarnya bukan gemetar biasa. Ritmenya tak beraturan—cepat, lalu terhenti, lalu kembali menggila. Napasnya pendek-pendek, tersengal. Warna kulitnya yang tadi memerah karena dingin, kini memudar. Ujung jarinya membiru, begitu juga bibirnya.
“Zia, lihat aku.”
Zia perlahan mengangkat kepala, mencoba membuka matanya, namun pandangannya kosong. Pupilnya membesar. Matanya tidak bisa fokus. Tubuhnya seperti kehilangan kendali.
Viren segera menarik tubuh Zia mendekat ke dalam pelukannya. Selimut yang tadinya menghangatkan kini hanya menyimpan dingin.
“Zia...” Suaranya tak lagi tenang. Ia menepuk pipi Zia pelan. “Dengar aku. Lihat aku.”
Zia hanya bergumam, lemah dan tak jelas. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar. Pandangannya mengambang. Napasnya terengah—kecil, pendek—seperti seseorang yang mencoba bertahan di ujung batas.
Ia mencoba tersenyum, namun gagal.
Hipotermia.
Kata itu menghantam kepala Viren seperti palu. Ia tahu gejalanya. Ia tahu bahayanya. Dan ia tahu, mereka terlalu jauh dari bantuan.
Ia menyentuh dahi Zia—dingin seperti batu. Panik mulai menyusup ke dadanya, tapi tak boleh terlihat. Ia menarik tubuh Zia lebih dekat lagi, mencoba memindahkan panas tubuhnya ke tubuh yang mulai kehilangan suhu itu.
“Bertahan. Zia, dengarkan aku,” bisik Viren sambil memeluknya lebih erat.
Sudah cukup lama ia bertahan di dalam pohon, menunggu, namun hujan belum juga reda. Petir masih memecah langit setiap beberapa menit. Viren menunduk, menempelkan pipinya ke kepala Zia, berharap kehangatannya bisa menyusup masuk.
Cahaya satu-satunya berasal dari senter kecil yang Zia bawa. Redup, tapi cukup untuk melihat bahwa waktu bergerak terlalu lambat malam ini.
Viren menyelipkan tangannya ke balik jaket Zia, langsung menyentuh kulit. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi malu. Hanya ada satu hal yang penting: membuat tubuh Zia tetap hidup.
“Dengarkan aku,” ucapnya pelan, bibirnya menempel di kening Zia yang membeku. “Jangan tidur. Kau harus tetap bangun. Ini hanya hujan. Ini hanya malam. Kita akan keluar dari sini.”
Zia bergumam lirih. Bukan kata. Mungkin hanya sisa napas.
Viren memindahkan tubuhnya, memeras selimut seadanya, lalu duduk menghadap angin, menjadi dinding terakhir yang melindungi dari udara yang menggigit. Ia tak bicara lagi. Ia tahu, kata-kata tak akan menghangatkan. Satu-satunya yang bisa ia beri adalah tubuhnya. Keberadaannya.
Tangan kirinya yang masih dibalut perban kini lemas di sisi tubuh. Tangan kanannya erat merengkuh Zia ke dalam dadanya. Dagu Viren menyentuh ubun-ubun Zia yang basah. Ia mendengarkan napas Zia—satu per satu, semakin pelan.
“Kau tak boleh pergi,” bisiknya.
Bukan kepada musuh. Bukan kepada dirinya sendiri. Tapi pada perempuan yang kini ia peluk seperti satu-satunya sisa dunia.
Zia tak menjawab. Tapi perlahan, tangannya bergerak. Refleks. Mencari sesuatu.
Jari-jarinya menyentuh jaket Viren—lalu menggenggam kain itu, lemah.
Seolah ingin berkata, "Aku masih di sini. Aku dengar."
Viren mencium ubun-ubunnya, diam.
Sekilas, pelukan itu bukan lagi tentang kehangatan—tapi tentang hidup.
Dan di ruang sekecil itu, di tengah badai dan malam yang membeku, satu hal yang paling nyata bukanlah suara. Bukan api. Bukan tempat berlindung.
Tapi detak jantung.
Detak jantung Viren yang tetap stabil—dan detak jantung Zia yang pelan, tapi masih ada.
Viren menempelkan wajahnya ke pipi Zia, menghembuskan napas hangat ke kulitnya yang dingin.
“Jangan pergi...” gumamnya lagi. Kali ini bukan perintah. Bukan permintaan. Tapi doa.
Untuk pertama kalinya, Zia mendengar suara itu bukan sebagai milik pria pendiam dan tangguh. Tapi milik seseorang yang takut kehilangan.
Detik-detik terus berjalan, dan Zia perlahan membuka matanya. Ia masih menggigil, tapi bibirnya membentuk satu kata—lemah, nyaris tak terdengar.
“...Viren...”
Ia menyebutnya bukan dengan sinis, bukan dengan tanya. Tapi seperti seseorang yang memanggil rumah di tengah badai.
Viren menunduk. Mata mereka bertemu sesaat. Tak ada senyum. Tak ada pelukan dramatis. Tapi waktu berhenti.
Semua suara lenyap. Yang tersisa hanya hujan yang menunduk dan dua manusia yang saling menemukan dalam kehancuran kecil mereka.
Viren mengusap pipi Zia perlahan. Air dan air mata bercampur di sana. Tapi ia tak peduli.
Zia kembali memejamkan mata. Bibirnya tetap membiru. Tapi tubuhnya masih dalam pelukan Viren. Di sanalah ia tinggal. Dan Viren tak akan membiarkannya pergi.
Mereka diam.
Dalam badai, dalam malam, dalam tubuh yang saling bersandar satu sama lain—tak ada lagi kata-kata.
Tapi keduanya tahu: ini malam ketika segalanya berubah.