Gadis, sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan di rumah keluarga angkatnya yang kaya. Dia dianggap sebagai anak pembawa sial dan diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Puncaknya, ia dijebak dan difitnah atas pencurian uang yang tidak pernah ia lakukan oleh Elena dan ibu angkatnya, Nyonya Isabella. Gadis tak hanya kehilangan nama baiknya, tetapi juga dicampakkan ke penjara dalam keadaan hancur, menyaksikan masa depannya direnggut paksa.
Bertahun-tahun berlalu, Gadis menghilang dari Jakarta, ditempa oleh kerasnya kehidupan dan didukung oleh sosok misterius yang melihat potensi di dalam dirinya. Ia kembali dengan identitas baru—Alena.. Sosok yang pintar dan sukses.. Alena kembali untuk membalas perbuatan keluarga angkatnya yang pernah menyakitinya. Tapi siapa sangka misinya itu mulai goyah ketika seseorang yang mencintainya ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHIDUPAN SETELAH PELARIAN
"Kita sudah sampai,” kata Ferdo, menghentikan langkahnya di depan rumah mungil berwarna biru muda dengan pagar bambu yang rimbun.
Dia membuka pintu dengan kunci yang sudah dia terima melalui kurir seminggu lalu, dan menyoroti ruangan dalam dengan senter hp-nya. Rumah itu sederhana, hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dengan dua kursi dan meja kecil, dapur yang sempit tapi bersih, dan kamar mandi.
Gadis melangkah masuk, mata memandang sekeliling dengan rasa kagum dan bingung.
"Wah.. rumahnya mungil, tapi nyaman. Cukup untuk kita berdua," kata Gadis, begitu senang. Ia menebarkan pandangannya ke tiap sudut rumah.
Ini pertama kalinya dia tinggal di tempat yang jauh dari keluarga penindas! Gadis menghirup udara dalam-dalam, udara kebebasan dari keluarga tuan Antonio.
Udara di dalamnya sejuk dan segar, berbeda dengan udara di rumahnya tuan Antonio, yang bagi Gadis selalu terasa sesak karena takut dan sakit hati.
Ferdo menyalakan lampu, dan ruangan segera terang. "Maaf ya, rumahnya kecil,” ujar Ferdo sambil meletakkan tas mereka di lantai. “Tapi ini yang bisa saya beli dengan uang yang saya punya. Nanti kalo saya sudah kerja, kita bisa pindah ke tempat yang lebih baik.”
Gadis menggeleng. “Tidak apa-apa, Ferdo. Ini sudah bagus sekali.” Suaranya lembut, seperti angin.
Dia duduk di salah satu kursi, kepalanya terjatuh ke depan. Kelelahan sudah menyelimuti tubuhnya.
Ferdo duduk di sampingnya, menepuk bahunya lembut. “Istirahat dulu ya. Besok kita pikirkan hal yang lainnya.”
Namun ketika malam semakin larut, Gadis mulai merasa tidak nyaman. Dia memandang kamar tidur yang hanya ada satu ranjang, lalu memandang Ferdo yang sudah mulai membuka baju luarnya. Bibirnya terkatup rapat, jari-jarinya memegang kain baju dengan erat.
Ferdo menyadari kebingungannya. “Apa ada masalah?” tanyanya dengan tatapan memperhatikan.
Gadis menunduk, malu.
“Kita… kita akan tidur di kamar yang sama?” suaranya hampir tidak terdengar.
Meskipun usia mereka hanya berbeda tiga tahun, Ferdo tampak jauh lebih dewasa. Tangannya kuat, wajahnya yang seringkali serius, dan sikapnya yang selalu melindunginya. Gadis merasa kecil dan tidak siap.
Ferdo tersenyum lembut. “Oh, maaf ya, aku lupa. Kalau kamu tidak mau, aku tidur di kursi ini aja. Tidak masalah.”
Dia segera berdiri dan mengambil bantal dari ranjang, meletakkannya di kursi ruang depan. “Tenang aja, aku tidak akan menyakitimu. Yang penting kamu nyaman.”
Gadis melihatnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak pernah merasakan perhatian semacam itu sebelum ini.
Di rumah tuan Antonio, orang hanya peduli dengan aturan dan pekerjaan. Tak ada yang pernah peduli apakah dia nyaman atau tidak. “Terima kasih, Ferdo,” ujarnya perlahan.
Malam itu, Gadis tidur nyenyak di ranjang yang lembut, sementara Ferdo tidur miring di kursi yang sempit. Walaupun badan terasa pegal, hatinya penuh damai. Akhirnya mereka aman.
Tak terasa akhirnya pagi menjelang..
Ferdo memasak bubur untuk sarapan. Gadis bangun ketika bau harum bubur itu menyebar ke kamar tidur.
Gadis melihat Ferdo sedang sibuk di dapur, mengenakan baju kaos yang sederhana, dan merasa hatinya berdebar. Dia merasa tenang ketika ada di sampingnya.
"Pagi Ferdo.. Maaf, aku bangun kesiangan." Gadis malu-malu. Wajahnya memerah, ia duduk di kursi meja makan, memperhatikan Ferdo yang sedang sibuk masak.
“Sudah bangun?” tanya Ferdo ketika melihatnya sudah duduk di meja makan.
"Udah.." jawab Gadis, singkat.
"Sarapan sudah siap.” Ferdo terlihat senang, ia membawa dua mangkuk yang sudah diisi dengan bubur buatannya.
Mereka makan bersama di meja kecil dapur, dalam keheningan yang nyaman. Setelah selesai, Ferdo menghembuskan napas panjang. “Gadis, kita perlu membicarakan hal penting,” ujarnya, matanya tajam menatap Gadis.
Gadis mengangguk, merasa jantungnya berdebar kencang. Dia tahu apa yang akan dibicarakan.
“Kita sudah melarikan diri dari keluargaku. Mereka pasti akan mencari kita, dan kalo mereka temukan, mereka akan mengambilmu kembali, atau bahkan lebih buruk dari itu." Ferdo terdiam sesaat, memikirkan kata-kata yamg akan disampaikannya.
"Selain itu, dalam pandangan masyarakat, kalau dua orang dewasa tinggal bersama tanpa status, akan ada banyak fitnah yang muncul. Kita bukan suami istri, tapi kita tinggal satu rumah. Orang akan berpikir hal-hal buruk tentang kita.”
Gadis menunduk, jari-jarinya memainkan pinggiran piring. Dia tahu Ferdo benar. Di tempatnya dulu, orang selalu mudah mengkritik dan menyebarkan gosip.
"Jadinya gimana?" tanya Gadis, pura-pura belum mengerti.
“Jadi, saya mau mengajukanmu sesuatu,” lanjut Ferdo, suara nya sedikit gemetar.
"Kamu mau kan menikah denganku? Sehingga kita punya status yang jelas, dan tidak ada orang yang bisa menyentuhmu lagi?”
Gadis mengangkat kepala, matanya memandang Ferdo dengan kaget. Pernikahan? Dia baru berusia 18 tahun, belum siap untuk itu. Dia masih punya impian yang belum tercapai.
" Ferdo… saya… saya mau emang mau menikah denganmu, itu cita-citaku..Tapi setelah aku pikir-pikir, aku mau sekolah dulu,” ujar Gadis. Pikirannya diselimuti rasa bingung
“Setelah kamu pergi ke luar negeri, kedua orang tuamu tak menyekolahkanku. Aku jadi tertinggal satu tahun dan belum punya ijasah SMA. Aku mau lulus dulu, juga mau kuliah nanti.”
Ferdo mengangguk, seolah sudah menyangka jawabannya. Dia menyentuh tangan Gadis yang terlipat di meja.
“Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu, Gadis. Aku janji akan menyekolahkan kamu. aku akan mencari kerja secepatnya, dan uang gajiku akan dipakai untuk biaya sekolahmu. Tapi aku hanya meminta satu hal sama kamu." Ferdo kembali terdiam..
"Mau minta apa?"
" Mau tidak kamu menikah dulu, hanya untuk menghindari fitnah? Setelah itu, kamu bisa fokus sekolah, dan aku akan menunggu sampai kamu siap untuk hal yang lain.” tanya Ferdo meminta kepastian Gadis.
Gadis berpikir sebentar. Dia tahu Ferdo tidak akan menyakitinya. Dia tahu dia bisa mempercayainya. Dan memang, status pernikahan akan melindunginya dari gosip dan dari upaya Nyonya Isabella dan Tuan Antonio untuk mengambilnya kembali.
“Baiklah, Ferdo. Aku mau menikah denganmu.” Gadis tersenyum, ia tertunduk malu..
Ferdo tersenyum lebar, Dia memegang tangan Gadis dengan erat.
“Terima kasih, Gadis. Saya berjanji akan selalu melindungimu dan memenuhi semua impianmu.”
Seminggu kemudian, mereka menikah secara sederhana di rumah mereka.
Hanya dihadiri oleh tetangga-tetangga dekat yang sudah mengenal mereka selama seminggu.
Tidak ada pakaian pengantin mewah, tidak ada dekorasi yang megah, hanya ada beberapa hidangan yang dibuat Ferdo sendiri.
“Saya menikahimu dengan tulus hati, Gadis,” ujar Ferdo di depan pemuka agama dan tetangga. “Saya berjanji akan mencintaimu, melindungimu, dan mendukung semua keinginanmu sampai akhir hayat.”
Gadis melihatnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Saya menerimamu dengan tulus hati, Ferdo. Saya berjanji akan mencintaimu dan selalu ada di sampingmu.”
Setelah acara selesai dan tetangga pulang, malam pertama mereka tiba. Gadis berdiri di depan kamar tidur, tangan memegang pintu dengan erat.
Hatinya berdebar kencang, dada terasa sesak. Meskipun sudah menikah, dia masih merasa takut-takut dengan hal-hal yang belum dia pahami, takut karena dia masih merasa terlalu muda.
Ferdo mendekatinya, melihat wajahnya yang khawatir. “Kamu tidak siap, ya?” tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.
Gadis mengangguk ragu. “Maaf, Ferdo. Saya masih takut. Saya merasa… saya masih terlalu muda.”
Ferdo tersenyum, menepuk kepala Gadis dengan lembut.
“Tidak apa-apa, sayang. Saya tahu kamu belum siap. Kamu baru berusia 18 tahun, masih muda dan punya banyak hal yang harus kamu jalani. Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap, sampai kamu merasa nyaman denganku. Yang penting adalah, status kita sudah jelas," sahut Ferdo.
Dia mengambil bantal dan selimutnya, lalu menuju ruang depan. “Saya tidur di kursi aja. Tidur nyenyak ya..”
Gadis melihatnya pergi, hatinya penuh rasa terima kasih. Dia tahu dia telah menemukan orang yang benar. Orang yang mencintainya sepenuhnya, tanpa memaksanya melakukan apa yang dia tidak mau.
Malam itu, Gadis tidur dengan hati yang damai. Esok hari, dia akan mulai proses pendaftaran untuk melanjutkan sekolah SMA yang tertinggal satu tahun. Sedangkan Ferdo akan mulai mencari kerja, untuk memenuhi kebutuhan mereka dan biaya sekolah Gadis.
Beberapa minggu kemudian, Gadis sudah kembali ke sekolah. Setiap pagi, Ferdo mengantarnya ke sekolah sebelum pergi kerja, dan setiap sore, dia menjemputnya pulang.
Mereka menghabiskan waktu sore bersama di rumah, Gadis belajar, dan Ferdo menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dia dapatkan.
Kadang-kadang, mereka berjalan-jalan ke taman terdekat, berbicara tentang masa depan, tentang ketika Gadis lulus SMA, tentang kuliah yang dia mau ambil, tentang impian mereka untuk punya rumah yang lebih besar nanti.
“Kamu yakin tidak capek, Ferdo?” tanya Gadis satu hari sore, ketika melihatnya sedang mengerjakan pekerjaan tambahan yang dia bawa pulang dari kantor. “Kamu bekerja seharian, lalu masih harus mengerjakan ini.”
Ferdo menatapnya, tersenyum. “Tidak capek. Semua ini untukmu, sayang. Untuk masa depan kita. Kalau kamu lulus SMA dan kuliah, aku akan senang banget. Itu impianmu, jadi aku akan lakukan apa saja untuk mewujudkannya.”
Gadis mendekatinya, mencium pipinya. “Terima kasih, Ferdo. Aku sangat mencintaimu.”
“Aku juga sayang sama kamu,” jawab Ferdo,
Ia memeluk Gadis dengan erat. Di dalam pelukannya, Gadis merasa aman dan penuh harapan. Meskipun jalan yang mereka tempuh tidak mudah, mereka memiliki satu sama lain. Dan itu sudah cukup untuk menghadapi semua tantangan yang akan datang..