Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Di balik pintu kaca ganda ruang bedah, suasana yang biasanya tertata rapi berubah menjadi medan tempur antara hidup dan mati. Senja terbaring tanpa daya di bawah lampu operasi yang memancarkan cahaya putih yang kejam. Dokter bedah utama baru saja mengangkat bayi kedua dengan terampil, sebuah tangisan lemah terdengar, namun perhatian tim medis mendadak tersedot ke arah monitor anestesi.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit...
Bunyi itu panjang, statis, dan mematikan. Monitor jantung Senja menunjukkan garis lurus.
"Henti jantung! Pasien asistol!" seru perawat anestesi dengan nada mendesak.
"Lakukan RJP sekarang! Siapkan defibrilator!" perintah dokter bedah. Ia segera menyerahkan bayi kedua ke asisten dan beralih fokus sepenuhnya pada rongga perut Senja yang mengalami perdarahan hebat. Rahim Senja lemas, darah merah pekat menggenang, membuat situasi semakin kritis. Tim medis berpacu dengan waktu satu dokter melakukan pijat jantung manual sementara bayi ketiga diangkat dengan terburu-buru demi menyelamatkan nyawanya sebelum pasokan oksigen dari sang ibu benar-benar terputus.
Di luar, di lorong rumah sakit yang berbau karbol, Damar luruh ke lantai keramik yang dingin. Ia tidak lagi mampu berdiri tegak. Namun, kesunyian lorong itu dipecah oleh derap langkah cepat Binsar, pengawal bayangan yang ia sewa. Wajah Binsar kotor, napasnya tersengal, dan matanya memancarkan rasa bersalah yang dalam.
"Tuan Damar," Binsar berbisik, berlutut di samping Damar. "Ini bukan kecelakaan biasa. Saya sudah memeriksa TKP dan rekaman kamera dasbor dari mobil di belakang kejadian. Pengemudi SUV hitam itu tidak menginjak rem sama sekali. Dia sengaja menambah kecepatan saat melihat Nyonya menyeberang. Ini adalah upaya pembunuhan yang direncanakan secara matang."
Mendengar kata "pembunuhan," amarah yang belum pernah Damar rasakan seumur hidupnya seolah membekukan darah di nadinya. Ia berdiri perlahan, matanya yang memerah menatap Binsar dengan tatapan yang bisa membunuh.
"Cari dia, Binsar. Cari siapa pun yang menyetir mobil itu. Aku ingin namanya, alamatnya, dan siapa yang membayarnya dalam waktu satu jam. Jika kau butuh sumber daya apa pun, ambil. Tapi temukan keparat itu!"
Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka dengan dentuman keras. Beberapa perawat berlarian keluar dengan wajah panik, membawa peralatan darurat dan berlari menuju bank darah untuk mengambil kantung-kantung darah cadangan tambahan. Damar mencoba mencegat salah satu perawat, namun ia hanya dilewati.
"Istriku! Bagaimana istriku?!" teriak Damar, suaranya parau oleh ketakutan yang mencekam.
Damar nyaris lepas kendali dan mencoba menerobos pintu ruang operasi jika tubuhnya tidak dipeluk paksa dari belakang oleh ayahnya, bagus, yang baru saja tiba bersama ibunya, Fatimah.
"Damar, tenanglah! Jangan membuat kekacauan yang bisa membahayakan tim medis!" bagus memeluk putranya dengan kekuatan penuh, menahan rontaannya.
"Ayah... Senja berhenti berdetak! Aku melihat mereka membawa banyak sekali darah!" Damar meraung di pundak ayahnya, tangisnya meledak tak terkendali. Fatimah hanya bisa jatuh terduduk di kursi tunggu, merapal doa dengan bibir gemetar, menggenggam tasnya sekuat tenaga hingga buku jarinya memutih. Bau antiseptik dan ketakutan akan kematian seolah mengisi setiap inci lorong itu.
Di tengah badai emosi itu, ponsel Damar yang digenggamnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Binsar yang berisi tangkapan layar bukti transfer bank dalam jumlah fantastis dari rekening rahasia milik Paramita ke seorang narapidana residivis yang baru keluar penjara—pria yang menyetir SUV itu. Binsar juga menyertakan rekaman suara singkat yang didapat dari penyadapan telepon yang sempat ia lakukan
"Pastikan dia tidak pernah sampai ke angkringan itu. Hancurkan kandungannya, hancurkan hidupnya."
Genggaman Damar pada ponselnya mengencang hingga layarnya nyaris retak. "Paramita," geram Damar, suaranya kini terdengar seperti suara iblis dari neraka.
Tanpa ragu, Damar menghubungi kenalannya di markas besar kepolisian. "Aku punya bukti percobaan pembunuhan berencana oleh Paramita. Kirim pasukan sekarang ke rumahnya. Jika dia mencoba melawan, lakukan apa pun yang diperlukan agar dia tidak pernah melihat matahari di luar jeruji besi lagi!"
Malam itu juga, pengepungan terjadi di kediaman mewah Paramita. Polisi mendobrak pintu jati yang mahal saat wanita itu sedang duduk tenang, menyesap teh impor di ruang tengahnya yang sunyi. Saat polisi menyeretnya keluar, Paramita berontak, meneriakkan makian keji, menyumpahi Senja sebagai anak yang tidak tahu terima kasih. Namun, saat Binsar muncul di depan mobil polisi dan menunjukkan bukti di ponselnya, wajah Paramita langsung pucat pasi. Kekuasaannya berakhir malam itu.
Senja berhasil melewati operasi sesar darurat, namun ia jatuh ke dalam koma yang dalam. Tubuhnya menolak untuk sadar. Ia dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU), di kelilingi oleh selang dan bunyi bip monitor yang monoton.
Di dalam alam bawah sadarnya, Senja berdiri di sebuah taman yang dipenuhi kabut putih yang hangat dan aroma bunga melati yang sangat ia sukai. Di ujung jalan setapak, ia melihat seorang pria yang sangat ia kenali.
"Ayah?" Senja berlari kencang dan menubruk tubuh Baskara. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan ayahnya. "Yah, di sini tenang sekali. Tidak ada sakit, tidak ada amarah. Bolehkah aku tetap di sini bersamamu?"
Baskara mengusap kepala putrinya dengan kelembutan yang tidak bisa diberikan dunia nyata. "Anakku yang malang... kau sudah berjuang begitu keras. Tapi lihatlah ke belakangmu, Nak."
Senja menoleh. Di kejauhan, ia melihat pemandangan lorong rumah sakit yang suram. Ia melihat Damar yang tidur meringkuk di lantai di samping tempat tidurnya, memegang tangannya seolah nyawanya bergantung pada jemari Senja. Dan ia melihat tiga titik cahaya keemasan yang menangis tanpa henti—anak-anaknya.
"Suamimu, Damar... dia hampir hancur tanpa cahayamu. Dan ketiga cucuku... mereka membutuhkan pelukmu untuk tumbuh besar. Waktumu di dunia belum berakhir, Senja. Cinta Damar adalah jangkarmu. Kembalilah pada mereka, buatlah Ayah bangga dengan menjadi ibu yang hebat bagi mereka."
"Tapi ayah aku ingin disini bersamamu"
"Tidak nak suamimu dan anak anakmu masih sangat membutuhkan dirimu, kembalilah dan hiduplah dengan bahagia, ayah akan selalu ada disini di hatimu. Jika kau rindu ayah doakan saja ayah nak, kebahagiaanmu juga kebahagiaan ayah sayang" ujar Baskara
Sedangkan si dunia nyata, sudah hari ketiga. Dokter mengatakan peluang Senja menipis jika ia tak kunjung sadar. Damar merasa dunianya sudah runtuh sepenuhnya. Dalam usaha terakhir yang didorong oleh keputusasaan, Damar meminta bantuan para perawat.
"Tolong... bawa anak-anakku kemari. Mungkin mereka bisa memanggil ibunya kembali," pinta Damar dengan suara yang hancur.
Tiga bayi yang kini sudah stabil di dalam inkubator dibawa masuk dengan sangat hati-hati. Mereka diletakkan di sisi kanan dan kiri tubuh Senja yang masih diam mematung. Seakan merasakan penderitaan sang ibu, ketiga bayi itu menangis serentak. Suara tangis bayi kembar tiga itu memenuhi ruangan ICU, memecah kesunyian yang mencekam.
Monitor jantung Senja mendadak bergejolak. Tubuhnya yang lemah mulai mengalami kejang-kejang ringan. Damar panik, mengira istrinya sedang menghadapi ajalnya. "Dokter! Suster! Ada apa ini?!" "Sayang kumohon jangan tinggalkan aku."