Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17~
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
...happy reading...
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
Aris mengangkat tangan untuk memukulnya.
Slap!
Tangan Aris tidak sempat menyentuh pipi Amirul. Seekor tangan kuat menahan pergelangan tangannya—Raka yang tiba tepat pada waktunya.
"Hey! Apa-apaan kau ini? Ini urusan aku dan dia! Kau orang luar tidak pantas ikut campur," kata Aris dengan nada ketus, matanya memancarkan api. Dia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Raka tetap kaku.
"Hey kau itu sudah main fisik! Mau aku aduin sama bu guru? Atau mau kubilang ke kepala sekolah?" tanya Raka dengan geram.
Aris menarik tangannya kembali dengan kasar, menatap Raka dengan pandangan tajam yang seolah ingin menusuk. Kemudian, pandangannya bergeser ke arah Amirul yang berdiri kaku, wajahnya pucat dan tubuh sedikit menggigil.
"Kemaren ibuku datang untuk membuat surat pernyataan pemutus hubungan, tapi kenapa kau tidak datang? Hah! Apa kau tidak mau pisah dengan keluarga dinata? Atau kau mau terus memanfaatkan kita?" tanya Aris dengan nada menyindir, lidahnya melengkung ke samping.
Amirul mulutnya terbuka, ingin menjawab tapi, Raka langsung menjawabnya.
"Hey! Itu libur karena sakit! Kau benar-benar keterlaluan banget sih," kata Raka, membela Amirul dengan tegas. Dia meletakkan tangannya di pundak Amirul untuk memberinya kekuatan.
Amirul tersenyum lembut, matanya sedikit memerah karena sempat menahan air mata. Dia bisa melihat ketulusan di wajah Raka—suatu hal yang jarang dia dapatkan selama ini. Teman seperti itulah yang sangat ia inginkan: yang tidak melihatnya sebagai "pencuri kebahagiaan" seperti yang dikatakan Aris.
Tapi senyum Amirul segera hilang ketika Aris mengangkat suaranya lebih tinggi, menggelegar di lapangan yang kini mulai disaksikan beberapa murid yang lewat.
"Asal kamu tahu! Gara-gara dia! Aku hidup miskin selama 16 tahun! Sementara dia anak angkat enak hidup dalam kekayaan orang tua ku! Siapa yang tidak sakit hati!" teriak Aris, tangannya menggoyangkan keras, matanya memerah kemarahan dan sedih yang menyatu.
Berita tentang pertukaran anak itu memang sudah beredar di sekolah sejak setahun lalu, suatu omongan kosong yang selalu membuat Amirul merasa terasing.
Tapi meskipun begitu, Aris ingin semua sekolah tahu, bahkan orang luar sekolah juga harus mengetahui: bahwa Amirul yang telah merenggut kebahagiaannya yang seharusnya. Dia melihat beberapa murid berhenti untuk mendengar, dan bibirnya sedikit melengkung ke atas dengan senyum yang penuh dendam.
Raka menyadari bahwa situasi akan semakin parah jika tidak diajak bicara tenang. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dengan nada yang lebih tenang tapi tetap tegas: "Tapi itu bukan salah dia! Kalian yang tertukar sejak kecil, orang tuamu yang salah, kenapa langsung tidak tes DNA aja dulunya, biar tidak sampai begini?"
Kata-kata itu seperti minyak dalam api. Aris semakin kesal, wajahnya memerah lebih banyak. Dia melangkah mendekat Raka, jarak antara mereka hanya beberapa sentimeter. "Malah menyalahkan orang tuaku? Kau tahu apa saja tentang kehidupanku yang susah? Orang tuaku malah bekerja keras hanya untuk memberi makan dia, sementara dia dikelilingi barang-barang mahal yang seharusnya milikku!"
Amirul maju cepat ke samping Raka, melindunginya. "Jangan marah pada dia, Aris. Jika kau ingin marah, marah saja padaku."
"Jangan bicara bodoh!" teriak Raka sekaligus, menoleh ke arah Amirul. "Kamu tidak bersalah sama sekali. Yang salah adalah rumah sakit yang membiarkan hal ini terjadi, dan orang yang terlalu malas untuk mencari kebenaran!"
Beberapa di antara siswa merekam dengan kamera ponsel, merekam setiap detik keributan dengan tangan yang sedikit gemetar karena kegembiraan.
"Ei, ambil video bagus ya! Biar langsung ke FYP TikTok!" ujar seorang siswa perempuan sambil menyesuaikan sudut kamera sambil berbisik
"Yaudah, tambahin caption yang seru biar banyak yang lihat!" tambah temannya di sampingnya.
Di kejauhan, di pintu masuk kantin, seorang sosok wanita berpakaian baju guru melihat kerumunan yang membesar. Dia menghela nafas panjang, wajahnya langsung memerah karena marah.
Tanpa ragu, dia melangkah cepat menuju kantin, langkah sepatunya membuat bunyi klak-klak yang terdengar jelas meskipun suara siswa ramai.
Ketika dia sampai di tengah kerumunan, dia mengangkat suaranya dengan keras, sehingga semua orang terkejut dan berhenti berbicara:
"Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut! Apa tidak ada kerjaan lain kalian?!" tanya Bu Wati, guru matematika yang dikenal ketat dan tegas di sekolah dengan wajah yang terlihat sangat marah.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪