Aku pernah merasakan rindu pada seseorang dengan hanya mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagiku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyeon Gee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Story 16
“Sudah gelap di luar?” bisik Seol Hee yang tengah memandangi langit malam dari balik tirai tipis ruang perawatannya.
Jun Su yang baru keluar dari kamar mandi pun tampak terkejut tatkala mendapati Seol Hee yang terlihat berusaha untuk duduk. Bergegas ia menghampiri dan membantunya yang masih begitu kesakitan karena bekas jahitan di perutnya.
“Hei, minta tolong kalau mau apa-apa,” omel Jun Su.
Mendengar omelannya, Seol Hee hanya melirik sinis dan membuat Jun Su tersenyum penuh rasa bersalah.
“Aku takut kau kenapa-kenapa,” ujar Jun Su melemah.
“Jadi, di mana yang lain?” tanya Seol Hee usai melihat sekeliling.
“Sudah pulang ke apartemenku bersama anak-anak. Kau mau makan?” tanya Jun Su.
“Kau sudah makan?”
“Belum. Tapi, aku sudah memesan makanan dan sudah tiba saat kau tidur. Kenapa?”
“Aku tidak mau makan sendirian.”
Segera, Jun Su menata meja di atas tempat tidur Seol Hee dan mulai makan bersamanya setelah mengatur duduk dengan nyaman di ranjang.
“Hasil DNA-nya sudah ada?” tanya Seol Hee disela kunyahannya.
“Hmm, sudah,” sahut Jun Su usai menelan makanannya.
“Apa mereka bermarga Ho?”
“Iya. Sudah pasti.”
“Kalau begitu ini makan malam terakhir kita,” ucap Seol Hee datar.
Jun Su yang baru akan menyuapkan supnya pun langsung terhenti dan perlahan meletakkan sendoknya. Dia beranjak dari ranjang dan meraih tasnya. Dikeluarkannya sebuah amplop cokelat dan seberkas kertas yang terlipat rapi di dalamnya. Dia kembali duduk dan menyerahkan kertas tersebut pada Seol Hee yang langsung menyambutnya.
“Di sana tertulis 99.9% mereka anakku. Dan kau Ibunya. Dan sekarang kau mengatakan kalau ini makan malam terakhir kita. Bagaimana kau bisa mengucapkan hal seberat itu DENGAN GAMPANG?!!”
Seketika Seol Hee terbelalak usai mendengar Jun Su berteriak diakhir kalimatnya. Kedua mata Jun Su yang kini menatapnya tajam tampak memerah dan perlahan menampung begitu banyak air mata di pelupuknya. Namun, sedetik kemudian Seol Hee berusaha bersikap biasa dan melanjutkan makannya hingga membuat Jun Su mengalihkan pandangan. Hanya sekali kedipan dan sebulir air mata jatuh membasahi kedua pipinya.
“Lanjutkan makanmu. Aku lelah. Aku ingin istirahat sekarang,” ujar Jun Su usai mengusap air matanya dan langsung membereskan makanannya.
Sementara, Seol Hee tetap diam dan mengunyah makanannya dengan santai tetapi, sedikitpun dia tidak ingin tatap mereka bertemu. Dan jam berlalu, malam semakin larut, Jun Su tampak terlelap di sofa dan meringkuk di balik selimutnya yang sedikit terbuka. Seol Hee hanya menghela napas pelan sebelum akhirnya memutuskan turun dari ranjang. Dia duduk di atas meja dan memandangi sisi wajah Jun Su yang tertidur membelakanginya.
“Apa bisa bersama dengan orang yang bahkan tidak bisa kau anggap sebagai apapun?” bisik Seol Hee sembari membetulkan selimut Jun Su.
“Bisa.”
Sahutan itu membuat Seol Hee terbelalak dan Jun Su pun langsung bangun dari tidurnya. Dia duduk menghadap Seol Hee yang masih sangat terkejut dan hanya bisa mengerjap cepat sesaat.
“Apa aku boleh bertanya?” tanya Jun Su.
“Apa?” sahut Seol Hee seraya menunduk.
“Sedikit saja, apa ada ruang di hatimu untuk mengukir namaku?”
Terdengar Seol Hee menghela napas pelan sebelum kemudian menatapnya kembali. Dia mengarahkan telunjuk kanannya ke dada Jun Su yang membuat keningnya berkerut.
“Di sini, apa ada ruang di hatimu untuk mengukir namaku? Karena, kata orang membesarkan anak tidak bisa hanya dengan satu cinta, satu sayang, dan satu rindu,” ujar Seol Hee yang kemudian menurunkan telunjuknya, “apa kau bisa tetap mencintaiku di saat aku lelah? Apa kau bisa tetap menyayangiku di saat aku terlihat sangat buruk? Apa kau bisa tetap merindukanku di saat jarak membatasi? Sebab dari sekian laki-laki yang pernah kutemui, baru Chang Yi yang mampu melakukannya dan menjaga hal itu dengan baik. Apa bisa?”
“Kau ingin aku bohong atau jujur?” bisik Jun Su.
“Bohong,” sahut Seol Hee ragu.
“Aku akan jujur kali ini.”
“Untuk apa kau bertanya kalau kau sendiri yang memilih?” omel Seol Hee.
“Karena aku ingin kau selalu sehat dan bahagia.”
“Jadi…kau akan tetap jujur?”
“Iya, aku akan jujur dan menjadi egois kali ini.”
“Ba, baik. Lakukan,” sahut Seol Hee gugup.
“Hari di mana Chang Yi berpura-pura memutuskan hubungan kalian, Kak Sae Rin mengirimiku foto rambutmu yang diwarnainya. Dan untuk pertama kali aku yang sangat menghindari wanita, merasa gugup hanya karena melihat warna rambut dan teringat kulit putihmu. Debaran itu semakin terasa saat kau tiba di depan pintu apartemenku, bahkan Chang Yi pun tidak sempat melihat betapa keindahan itu benar ada di depan mataku. Pikiranku kacau, bagaimana mungkin gadis yang sangat tidak tahu caranya berdandan bisa berubah sangat bersinar hanya dengan warna rambut yang mencolok. Dan setiap hari aku berusaha menjagamu agar tidak tersakiti.”
“Kau bohong,” sahut Seol Hee.
“Hatiku sakit saat mengetahui aku gagal menjaga Chang Yi namun, aku lebih sakit saat Chang Yi mengatakan pesan terakhirnya.”
“Apa?”
“Dia memaksaku untuk menggantikan posisinya di sisimu. Berat, karena antara terpaksa dan aku benci seolah aku hanya benda yang dibuat untuk menyenangkan mereka. Tetapi, melihatmu membenciku dan sangat, sangat menghindariku, ternyata lebih menyakitkan dari yang aku kira. Melihatmu menangis tanpa henti, aku pun melakukannya tanpa henti. Aku mengambil cuti untuk tugas akhir selama satu semester untuk menyembuhkan mataku.”
“Kenapa?” tanya Seol Hee dengan kening berkerut, “oh! Kacamata hi…”
“Hmm,” sahut Jun Su sembari mengangguk pelan sesaat, “aku hampir kehilangan penglihatanku karena menangis tanpa henti. Aku menyesali tentang bagaimana aku menyetujui ide Chang Yi yang tidak ingin keluarganya tahu tentang rencana operasinya walaupun aku tahu, kemungkinan berhasilnya hanya sedikit. Aku menyesali karena tidak bisa sepenuhnya menjelaskan kepadamu yang juga merasa sakit tentang hal ini. Dan Yu Mi…”
“Yu Mi yang telah mendampingimu?” tanya Seol Hee melemah.
“Iya, dia datang dan mendampingiku selama tiga bulan pertama. Dia teman yang kukenal sejak di bangku kuliah. Dia baik, perhatian dan penuh kasih. Namun, dibalik itu dia memiliki kebiasaan yang membuatku mungkin harus belajar menerimanya karena cinta,” jelas Jun Su yang kemudian tersenyum sinis, “bodoh? Iya. Karena aku benar-benar menolak untuk menjalankan amanat terakhir Chang Yi. Aku tetap bersikeras ingin menikahinya tapi, aku juga ragu pernikahan kami akan berjalan sehat. Makanya, aku yang sudah tahu tempat tinggalmu sengaja datang dalam kondisi mabuk untuk melakukan hal yang seharusnya tidak kulakukan.”
“Apa kau merasa nyaman saat melakukannya?”
“Munafik jika aku mengatakan kalau itu tidak nyaman di saat kau sendiri tidak melawanku,” sahut Jun Su yang kembali tersenyum sinis, “kau selalu menerimaku. Seakan hal itu untuk menyenangkanku dan jadi kebiasaan pada akhirnya.”
“Kau tidak pernah bertanya kenapa aku tidak pernah melawan saat kau melakukannya?”
“Kenapa?” tanya Jun Su yang berusaha menyembunyikan rasa penasaran.
“Detik di mana untuk pertama kalinya kita bertemu sejak empat tahun kalian tinggal di Seoul. Ada debaran tak wajar yang seharusnya tidak aku selipkan sebab, aku tahu, aku milik Chang Yi.”
Dan ada masa di mana bahkan sedikit sentuhan pun bisa membuatmu merasakan sebuah efek kupu-kupu di dalam perut. Rasa itu, takdir itu, Tuhanlah yang menciptakan. Waktu, tempat dan makhluk yang singgah itu hanya perantara…
...🌸🌸🌸...
Berproses itu langkah yang Tuhan ciptakan untuk manusia agar bisa mencapai keinginannya dengan benar…
“Kau sudah mengantar anak-anak ke sekolah dengan selamat?”
Tampak Jun Su kelelahan dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa sementara, Seol He masih terlihat sangat sibuk dengan semua cucian piring serta baju yang menumpuk. Sejenak, Jun Su menghela napas lalu beranjak membantu Seol Hee sebelum kemudian melangkah keluar membuang sampah dan kembali dalam beberapa menit. Tiba saat di mana Seol Hee bisa menikmati waktunya sebelum benar-benar membersihkan diri.
“Aku sudah tampungkan air panasnya. Kau bisa berendam setelah ini,” ujar Jun Su usai keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.
“Iya. Terima kasih,” sahut Seol Hee malas-malasan.
“Berbaliklah, biar aku pijat sebentar.”
Tanpa penolakan keras, Seol Hee pun memunggungi Jun Su yang sudah duduk di belakangnya. Dia memejam menikmati pijatan Jun Su yang baginya sangat nyaman.
“Kau benar tidak perlu orang untuk membantumu?” tanya Jun Su disela pijatannya.
“Tidak. Mungkin aku terlalu banyak menonton drama tapi, aku tidak ingin rumah ini hancur hanya gara-gara masalah puber keduamu. Biarkan anak-anak tumbuh besar dengan baik dulu. Setelah itu kau bisa pergi.”
“Kenapa kau selalu berusaha mengusirku, bahkan setelah tujuh tahun kita Bersama? Apa kau masih tidak yakin padaku?”
“Aku hanya ingin kau bebas. Yang penting kau pulang ke rumah demi Min Gyu dan Min Hee. Sampai detik ini pun aku masih tidak berani meminta lebih padamu.”
“Itu alasan kau masih bekerja sampai sekarang walaupun kita sudah memiliki rumah sendiri?”
“Aku mau mandi,” ujar Seol Hee yang kemudian beranjak.
“Hei, berhentilah menyetop pembicaraan tanpa solusi seperti ini,” omel Jun Su yang disusul bantingan pintu kamar mandi dari Seol Hee yang tak acuh.
Itu kenapa orang bilang, pertengkaran adalah bumbu dalam rumah tangga…
“Ayah tidak tidur bersama Ibu lagi?” tanya Min Gyu dengan suara kecilnya.
“Ayah ada sedikit pekerjaan, Sayang. Tidurlah duluan. Nanti selesai bekerja Ayah akan masuk ke kamar. Selamat malam.”
“Setiap malam alasan Ayah selalu sama,” kata Min Hee menimpali.
Jun Su hanya tersenyum melihat sepasang malaikat kecilnya dan menyelimuti mereka dengan baik usai mengecup kening keduanya sebelum mematikan lampu lalu keluar dari kamar.
“YA TUHAN!”
Pekikan Jun Su yang baru menutup rapat pintu kamar anaknya pun tidak sama sekali mengubah ekspresi datar Seol Hee yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di atas dada.
“Ikut aku,” perintahnya yang kemudian berlalu tanpa peduli akan keadaan Jun Su yang masih berdebar.
“Apa lagi yang akan kita debatkan tanpa solusi kali ini,” keluh Jun Su setibanya mereka di kamar utama.
Seol Hee tetap diam sampai mereka duduk berhadapan di tepi ranjang bersama selembar berkas.
“Kau benar tidak akan mengkhianatiku?” tanya Seol Hee ragu.
“Kita sudah menikah dan berjanji di depan Tuhan. Ayah bahkan membantu mengurus akta anak-anak agar mereka tetap bisa sekolah dengan lancar walaupun kau belum ingin pernikahan ini di daftarkan ke negara. Sudah sampai detik ini dan kau…”
“Karena berkurangnya cinta bukan di tahun ke tujuh. Namun, di saat anak-anak beranjak dewasa dan kita tidak memiliki waktu untuk lebih merasakan sayang. Kesibukanmu dan kesibukanku serta kegiatan anak-anak yang semakin banyak membuat kita lelah hingga hilang keinginan untuk melakukan hal yang seharusnya.”
“Haaa…kita bahkan belum pernah berpacaran. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.”
“Ya sudah, tidak ja…”
Hampir beranjak dan Jun Su pun langsung menarik tangannya hingga membuat ia kembali duduk, kali ini di pangkuan Jun Su.
“Kemarikan berkasnya aku akan tanda tangan. Kau benar ingin pisah? Aku turuti.”
Kening Seol Hee berkerut mendengar omelan suaminya dan saat Jun Su berhasil membaca berkas yang telah ia rebut, dia hanya melirik sesaat pada Seol Hee yang menatapnya tajam.
“Jadi, benar kau tidak ingin hidup bersamaku karena ma…kyaaa…”
“Ayo, membuat adik untuk Min Gyu dan Min Hee.”
“Hei, kau bahkan belum tanda tangan,” teriak Seol Hee dibalik selimut yang ditarik Jun Su.
“Aku lakukan setelah ini.”
“Dasar psiko. Hei…hahaha…aku tidak mau. Tanda tangan du…kyaaa…”
Bahkan ingatan tentang masa lalu pun akan hilang saat kau bersama orang yang Tuhan pilihkan…