Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan Rendra
Perjalanan pulang terasa panjang. Rendra fokus menyetir, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi Dinda gelisah dan tidak bisa diam.
"Kamu ngomong apa sama Mas Bima?" tanya Dinda akhirnya.
"Nothing."
"Mas--" Nada suara Dinda naik sedikit. "Dia kelihatan beda waktu balik tadi. Kamu pasti bilang sesuatu."
Rendra meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. "Aku cuma ngingetin dia soal batasan."
"Batasan apa?"
"Batasan antara sepupu." Rendra menoleh padanya, sudut bibirnya terangkat.
Dinda meremas jarinya. "Mas... kamu nggak ngomong hal-hal buruk ke dia kan? Mas Bima itu keluargaku."
Hening sesaat.
"Bima masih jadi dosen pembimbing kamu?" Tanya Rendra tiba-tiba, suaranya datar.
Dinda mendesah pelan. Rendra mengabaikan pertanyaannya, tapi akhirnya ia tetap menjawab dengan pasrah, "Masih. Kenapa emangnya?"
"Just asking." Rendra melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. "Kalian sekarang ketemu berapa kali seminggu?"
Dinda menghela napas. Dia tau ke mana arah percakapan ini. "Aku lagi bimbingan skripsi sama dia, Mas. Ya emang harus sering ketemu."
"How often is 'sering'?" Nada bicaranya tetap tenang, tapi ada tekanan di sana. "Twice? Three times?"
Dinda mengenali nada ini. Ini adalah nada bicaranya dalam mode meyerang.
"Tergantung progress aku. Kadang seminggu sekali, kadang lebih." Dinda mulai defensif. "Emang kenapa?"
Rendra terdiam sejenak, jari-jarinya mengetuk pelan di setir, tanda bahwa dia sedang berpikir atau menahan sesuatu.
"He likes you." Kata Rendra, matanya tetap lurus ke depan. "Mustahil kamu nggak tau."
"Please.. Kita udah bicarain ini. Aku dan dia cuma sepupu. Kamu mau aku gimana?"
"I don't like how comfortable he is around you." Rendra berkata dengan nada yang terdengar seperti pernyataan fakta, bukan keluhan. "And I don't like how comfortable YOU ARE around him. Kamu perlu kasih dia batasan yang jelas."
"Batasan? Dia keluargaku. Kamu mau aku musuhin dia kayak anak kecil?"
"He's also a man." Rendra memotong, suaranya lebih tajam sekarang. "A single man who spends too much time with my wife."
Dinda tercengang. "Dia pembimbingku, Mas. Aku nggak bisa ganti pembimbing cuma karena kamu overthinking."
"Aku overthinking? Coba kamu tanya orang di sekitar kamu. Dugaanku ini mengada-ada atau memang beralasan."
Dinda menelan ludahnya. Dia memang pernah dengar Tania bicara soal ini padanya. Tapi itu sama sekali tidak masuk akal! Bima adalah kakaknya.
"I'm protecting what's mine." Desis Rendra.
Suasana hening. Hanya suara mesin mobil yang terdengar. Beberapa menit berlalu seperti berjam-jam.
"Aku nggak punya perasaan apa-apa sama Mas Bima." kata Dinda akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Dia sepupu. Dia pembimbing. Cuma itu."
Rendra tidak menjawab langsung. Rahangnya masih tegang.
"Mulai minggu depan, Aku mau kamu bimbingan skripsi di public space. Coffee shop, library, wherever." Katanya dengan nada menuntut. "Nggak ada lagi pertemuan di rumahnya atau tempat sepi."
"Mas--"
"Ini bukan negosiasi, Dinda." Ia melirik sebentar padanya. "You want to finish your degree? Fine. But you do it my way."
Dinda berdecak pelan, tapi ia tidak membantah.
"Kemarin aku lihat asistenku dibawain bekal sama istrinya." katanya tanpa menoleh.
Dinda mengerutkan kening, bingung dengan lompatan topik ini.
"Homemade sandwich kayak yang kamu bikin untuk sepupu kamu itu. Dia bawa itu setiap hari Jumat. Just saying."
Dinda hampir tertawa, atau menangis, ia tidak yakin yang mana. Ia bahkan tidak yakin cerita itu bohong atau tidak.
"Aku buat itu untuk ayah, Mas. Dia cuma kebagian sisanya. Kamu mau aku buatin bekal sandwich untuk kamu?" Tanyanya hati-hati, mencoba meredakan situasi.
"Kalau kamu ada waktu." Jawabnya, masih terdengar kaku.
Dinda menghela napas panjang. Ia meraih tangan Rendra yang bebas, menggenggamnya meskipun pria itu tidak langsung membalas genggamannya.
"Aku bisa buatin setiap hari kalau kamu mau." katanya lembut. "Dan aku nggak akan bimbingan di tempat private lagi sama Mas Bima. Okay?"
Napas Rendra terdengar sedikit lebih ringan. Tangannya yang tadinya kaku, sekarang menggenggam balik tangan Dinda. Pelan, tapi erat.
"Okay." Katanya singkat.
Betapa melelahkannya menjaga suasana hati pria ini. Dia Posesif, controlling, dan paranoid. Tapi Dinda sudah memilih jalan ini. Dan untuk sekarang, ia hanya tidak ingin mereka bertengkar lagi.
...***...
Dua Hari Kemudian
Jakarta sore itu berawan. Dari jendela kantor Mandhala Tower yang tinggi, Rendra menatap ke luar, ke arah langit abu-abu yang muram, sama seperti pikirannya. Rendra duduk di kursi kulit hitamnya, memegang cangkir kopi yang sudah dingin.
Kepalanya masih penuh dengan bayangan tawa Dinda yang riang saat bertemu Bima, saat mereka mengobrol akrab di telepon soal skripsi, saat si tolol itu berkata bahwa dia sering makan sandwich buatan Dinda. Mereka punya keakraban alami yang tidak ia miliki bersama Dinda.
Rendra tidak bodoh. Dari pertemuan pertamanya dengan Bima, ia bisa membaca body language-nya. Postur yang posesif saat mereka berpelukan, sikap yang sama sekali tidak platonis. Tapi kenapa Dinda tidak melihatnya? Atau jangan-jangan dia tahu tapi membiarkannya?
Anak dekan FEB UI. Dosen muda berprestasi. Latar belakang keluarga terpandang. Rendra membatin, mengunyah informasi yang baru saja dikumpulkan Heru dalam waktu singkat. Lulusan terbaik, publikasi di jurnal internasional, pengabdian masyarakat. Surat izin mengemudi bersih. Pacaran dengan satu orang selama kuliah, putus baik-baik. The perfect, clean-cut, good guy. Ia bahkan tidak punya celah untuk bisa memanfaatkan kelemahan si brengsek itu.
Rendra menyesap kopinya. Rasanya pahit.
'He's nothing compared to what I have.' Goda sebuah suara di kepalanya, mencoba menenangkan.
Tapi suara lain, yang lebih dalam dan lebih getir, membisiki, 'Tapi dia ada dalam hidup Dinda jauh sebelum kamu. Dia mengenalnya saat masih polos, belum ternoda oleh dunia dan laki-laki seperti kamu. Mereka punya sejarah, ikatan yang tidak bisa kamu beli dengan uang atau paksa dengan kekuasaan.'
Rendra menggeram pelan. Pikirannya tentang Bima kasar dan menghakimi. Munafik sialan! Dia balik topeng sepupu itu pasti dia ingin masuk ke celana dalam istrinya. Memang apa yang bisa dia tawarkan pada Dinda? Kebosanan dalam kemapanan yang sekedar cukup? Gaji dosen yang pas-pasan? Masa depan datar tanpa gairah? Dia cuma dosen kecil yang puas dengan hidup biasa-biasa saja, merayap di dunia akademis yang sempit.
Tapi di balik semua penghinaan itu, ada kebenaran yang tak bisa ia sangkal. Ia iri. Iri pada kemudahan interaksi mereka, pada kenangan bersama yang tak bisa ia masuki, pada "kesan pria baik" Bima yang tulus. Sesuatu yang sangat asing dan jauh dari jangkauannya.
Cangkir kopi yang ia pegang menghantam alas keramik dengan kasar, suara denting keras menggema dalam kesunyian.
Lift berbunyi memecah hening, diikuti langkah ringan Dinda yang masuk. Malam itu ia baru saja pulang dari kerja kelompok di rumah temannya. Lelah namun riang, masih membawa sisa-sisa gurauan dari canda yang terselip di tengah tugas yang menumpuk.
Dinda melihat Rendra duduk diam di sofa. TV menyala, menampilkan tayangan Al Jazeera English soal persaingan ekonomi global. Tapi sepertinya pikiran pria itu tidak di sana. Iya bahkan tidak menyadari kehadiran Dinda.
"Mas? Kamu belum tidur?" Tanya Dinda pelan.
Dia menoleh. Matanya yang semula kosong langsung fokus pada Dinda. Menajam seketika dan membuat gadis itu sedikit mengkerut.
Dia berdiri dari duduknya, berjalan mendekat. Begitu sampai di depan Dinda, tangannya langsung meraih pinggang gadis itu, menariknya erat hingga tubuh mereka seolah bertumbuk. Pandangannya buram dalam lekuk leher istrinya, menghirup dalam-dalam aromanya, seolah ingin memastikan tidak ada jejak orang lain yang menempel.
"Mas?" Dinda tertegun, tangannya secara refleks mendorong tubuh Rendra agar menjauh, "Kamu kenapa?"
Rendra mengangkat kepala, tangannya naik ke pipi Dinda, membelai dengan ibu jari, "Kamu kenapa lama banget pulangnya?" tanyanya, suara rendahnya lebih parau dari biasanya.
"Iya, tadi kan aku udah bilang. Aku ada kerja kelompok di rumah temen." Jawab Dinda dengan mata penuh tanya.
Perilaku Rendra ini... berbeda. Bukan dingin, bukan juga panas penuh amarah. Ini seperti... kerentanan yang disamarkan dengan sikap posesif.
Tanpa kata, Rendra menarik Dinda ke sofa, mendudukkannya, lalu langsung merebahkan kepalanya di pangkuan Dinda. Dia memeluk erat pinggang mungil itu, wajahnya terkubur di perut istrinya. Dia seperti anak yang membutuhkan belaian.
Dinda agak terkejut, tapi jari-jarinya dengan sendirinya menyisir rambut Rendra yang tebal, "Kamu kenapa?" Ia mengulang pertanyaannya yang belum dijawab Rendra.
"Dinda," bisiknya, suaranya teredam oleh blouse katun Dinda. "Kamu nyesel nggak nikah sama aku?"
Pertanyaan itu melayang tiba-tiba, begitu tidak terduga hingga Dinda membeku sejenak. Pria ini jelas bukan tipe yang akan bertanya persoalan receh macam itu. Dia dibesarkan dengan keyakinan bahwa dirinya adalah pusat dunia. Rasa percaya dirinya nyaris tak tergoyahkan.
Tapi malam ini... ada getar ketidakpastian di suaranya.
"Kenapa tanya gitu?"
"Jawab aja." desak Rendra, memeluknya lebih erat.
Dinda diam cukup lama. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana, tapi jawabannya... rumit. Dia ingat bagaimana awalnya. Tekanan dari ayahnya, ancaman mutasi, sakit yang tiba-tiba datang. Dia ingat bagaimana dia menangis sendirian di kamar, merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lain.
"Kadang aku mikir, seandainya cara kita ketemu beda... mungkin semuanya lebih mudah." Ucapnya pelan, jari-jarinya kembali bergerak menyisir rambut Rendra.
Rendra mengangkat kepalanya, menatap Dinda dengan mata yang sulit dibaca. Ada ketakutan di sana, tapi juga rasa bersalah yang dalam.
"Tapi," Dinda melanjutkan sebelum Rendra sempat bicara, senyumnya tipis dan sedikit getir, "aku nggak nyesel. Meskipun awalnya nggak seperti yang aku mau."
"Kamu dipaksa." Kata Rendra pelan, bukan pertanyaan tapi pernyataan. Suaranya serak.
"Kamu terpaksa nikah sama aku."
Dinda tidak langsung menjawab. Dia menatap wajah suaminya, wajah yang sekarang terlihat begitu rentan, berbeda dari sosok dominan yang biasa dia kenal.
"Iya." Akunya jujur, dan dia merasakan tubuh Rendra menegang. "Tapi kamu juga kan? Kamu juga terpaksa."
Rendra menutup matanya, rahangnya mengeras. "Itu beda."
"Kenapa beda?" Dinda bertanya lembut. "Kita berdua kan sama-sama dijebak dalam kesepakatan yang nggak kita mau."
"Karena aku yang punya pilihan," jawab Rendra pahit. "Aku bisa tolak. Tapi kamu... kamu nggak punya jalan keluar."
Hening menggantung di antara mereka. Kebenaran itu telanjang dan menyakitkan.
"Mungkin awalnya gitu." kata Dinda akhirnya, suaranya hampir berbisik. Tangannya turun ke pipi Rendra, memaksanya menatap matanya. "Tapi sekarang... aku di sini bukan karena ayahku, bukan karena kesepakatan itu." Dia berhenti sebentar, menelan ludah. "Aku di sini karena aku sayang sama kamu."
Rendra menatapnya lekat, mencari kebohongan di mata Dinda tapi tidak menemukannya.
"Maafin aku." bisik Rendra, suaranya pecah.
Dinda menunduk mencium kening suaminya. Ia tidak tahu apa yang membuat Rendra seperti ini, tapi ia merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang rapuh dan jujur yang jarang Rendra perlihatkan.
Dan di dalam hati Rendra, meski tubuhnya menempel pada Dinda, pikirannya masih terjebak pada satu nama. Bima. Sebuah ancaman yang tidak bisa dia beli, tidak bisa dia hancurkan. Pria yang mungkin bisa memberi Dinda pilihan yang seharusnya dia punya dari awal. Pilihan untuk mencintai dengan bebas, tanpa paksaan, tanpa manipulasi.
...***...