Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 14
Langit di atas arena bergulung hebat. Awan spiritual membentuk pusaran besar, menyerap energi dari segala arah. Cahaya keperakan dari formasi pelindung bergetar seperti ombak menahan badai.
Dua sosok berdiri berhadapan di tengah arena yang sudah porak-poranda.
Yang pertama—seorang pria berotot besar, berambut panjang kelabu, tubuhnya dilapisi aura hitam pekat, tangannya menggenggam pedang besar berwarna obsidian yang tampak seperti menghisap cahaya di sekitarnya.
Dialah Wei Long, kultivator dari Iron Abyss Sect, True Immortal tahap akhir yang dikenal dengan julukan Heaven-Splitting Devil Blade.
Lawan di depannya tampak lebih muda, tubuh tegap, mata biru menyala. Ia memegang tombak panjang berujung naga, dan setiap hembus napasnya menimbulkan aliran spiritual berbentuk pusaran angin.
Itu Lu Tianfeng, kebanggaan Azure Cloud Sect, juga True Immortal tahap akhir.
Begitu wasit spiritual memberi isyarat mulai—
bumi langsung bergetar.
Dua aura besar meledak bersamaan.
Langit berwarna dua: separuh hitam pekat, separuh biru menyala.
“Heaven-Cleaving Blade!”
“Azure Dragon Spear Dance!”
Dua suara mengguncang udara.
Wei Long menebas ke depan—ayunan pedangnya membelah udara seperti petir gelap. Dari ujung pedang itu muncul bayangan naga hitam yang meraung keras, menelan segala hal di depannya.
Sementara Lu Tianfeng memutar tombaknya cepat, membentuk naga biru besar yang muncul dari pusaran spiritual dan menerjang ke depan.
BOOOOM!!!
Ledakan dahsyat menggetarkan seluruh arena.
Gelombang spiritual menyapu tribun, membuat sebagian penonton berteriak dan menunduk.
Formasi pelindung di udara bergetar hebat, namun segera dikuatkan oleh Lan Xiuying, Penatua Void Flame, yang hanya mengangkat jarinya pelan. Cahaya biru-ungu berpendar dari tubuhnya, menyelimuti arena dengan jaring bintang, menahan serangan itu tanpa satu retakan pun.
“Tch, kalau aku tidak menahannya, sudah setengah arena ini hilang,” gumamnya datar.
Di sisi lain, Huo Lian bersandar di kursinya, menatap pertarungan itu dengan ekspresi malas.
“Benar-benar ramai… tapi tetap saja, belum cukup panas.”
Hu Yue tersenyum nakal, memainkan rambutnya yang ungu.
“Kalau mereka tidak punya trik yang lebih menarik, aku akan tertidur di sini.”
Shen Qiyue menyilangkan tangan, sorot matanya dingin.
“Gerakan mereka bagus. Tapi tetap lambat.”
Bai Zhenya bahkan tidak berkata apa-apa, hanya menatap kosong dengan mata merah lembutnya.
Dan Mei Xian’er—duduk tenang di kursinya, satu tangan menopang dagu, mata crimson-nya menatap pertarungan itu tanpa perubahan emosi.
Cantik. Dingin. Jemu.
---
Di tribun umum, suasananya jauh berbeda.
Penonton bersorak, berteriak, beberapa sampai berdiri di bangkunya.
Dan di antara kerumunan itu, Shen Hao adalah yang paling bersemangat.
“Waaah! Gila, naga lawan naga! Eh tapi yang satu warnanya hitam, yang satu biru, ini kayak duel Pokemon versi hardcore!”
Orang di sebelahnya menatap aneh.
“...Kau siapa sebenarnya?”
“Cuma turis,” jawab Shen Hao santai, menggigit kacang yang ia beli sebelumnya.
---
Sementara di arena, dua naga energi bertabrakan.
Gelombang spiritual menembus langit, menciptakan pusaran cahaya raksasa di atas kepala mereka.
Wei Long mendorong pedangnya lebih kuat, tubuhnya bergetar hebat, darah keluar dari ujung bibir.
“Kau pikir tombak lembekmu bisa menandingi pedangku!?”
Lu Tianfeng membalas dengan dingin,
“Pedangmu mungkin tajam… tapi pedang tak bisa menembus langit tanpa tombak yang menunjuk arahnya.”
Keduanya berteriak bersamaan.
BOOM!
Arena runtuh sebagian. Tanah bergetar. Beberapa batu spiritual melayang ke udara.
Debu mengepul tinggi—dan ketika perlahan menghilang, kedua pria itu sudah sama-sama berlutut, tubuh mereka penuh luka dan darah.
Pertarungan selesai.
Keduanya tumbang, tersenyum kaku seolah saling menghormati tanpa kata.
Langit masih bergemuruh.
Serangan demi serangan meledak di tengah arena, menimbulkan gelombang spiritual yang membuat udara bergetar.
Sorakan penonton menggema, riuh penuh semangat dan adrenalin.
Namun di tengah riuh rendah itu—Mei Xian’er mendadak mematung.
Alis halusnya berkerut pelan.
Tatapan matanya, yang semula tenang menatap pertarungan, kini perlahan bergeser ke arah tribun penonton.
Ada sesuatu… sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.
Sebuah aura—aneh, tidak stabil, tapi dalam… dan sangat luas.
Bukan aura dari kultivator tingkat tinggi, bukan pula tekanan dari ranah Heavenly Immortal di arena.
Aura itu menyimpang, seperti campuran antara kekosongan dan kehidupan, antara api dan air, antara mortal dan ilahi.
Dan lebih aneh lagi, aura itu semakin kuat dari waktu ke waktu.
Mei Xian’er memejamkan matanya sejenak, mencoba menelusuri sumbernya dengan kesadarannya.
Namun bahkan baginya, ranah Heavenly Demon tahap puncak, aura itu tidak bisa sepenuhnya terbaca.
Itu mustahil.
“Apa… ini?” gumamnya lirih.
Ia membuka mata, matanya berkilau crimson terang, menembus kerumunan penonton.
Sampai akhirnya… pandangannya berhenti pada satu sosok.
Seorang pria muda berambut hitam acak-acakan dengan wajah santai,
yang kini duduk di kursi penonton paling pinggir,
tertawa kecil sambil menggigit roti kering dan menatap pertarungan di arena dengan semangat seperti anak kecil menonton pesta kembang api.
Shen Hao.
Mei Xian’er menyipitkan mata.
“Ranah… Foundation Establishment tahap menengah?”
Suara lembutnya mengandung nada ragu.
Tidak mungkin. Aura seperti ini tidak mungkin datang dari seseorang di tingkat itu.
Bahkan ketika ia mencoba menelusuri lebih dalam, semacam kekuatan tak dikenal menolak pengamatannya.
Seolah ada sesuatu yang menyembunyikan inti sejati pria itu.
Suasana di sekitarnya berubah sunyi, meski penonton lain masih bersorak.
Hanya dia yang menyadari perbedaan itu.
Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, bukan karena ancaman—tapi rasa penasaran yang jarang ia rasakan.
Enam Penatua Agung memperhatikan ketua mereka yang mendadak berdiri dari singgasana.
Bahkan Huo Lian, yang biasanya paling tenang, tampak sedikit terkejut.
“Ketua?” tanya Mei Ling’er pelan, suaranya lembut namun khawatir.
“Apa terjadi sesuatu?”
Mei Xian’er tidak menjawab panjang.
Matanya masih menatap lurus ke arah tribun itu,
senyum tipis muncul di bibirnya yang merah.
“Seseorang di antara penonton… menarik perhatianku.”
Dan tanpa memberi penjelasan lebih jauh,
aura lembut namun menekan mengalir keluar dari tubuhnya.
Dalam sekejap, sosoknya lenyap—seperti kabut malam yang ditiup angin.
---
Di sisi lain, Shen Hao yang sedang asik menikmati pertarungan itu mendadak merasa bulu kuduknya meremang.
Ia baru saja meneguk air saat tiba-tiba udara di depannya bergetar—dan seseorang muncul begitu saja.
Tubuhnya refleks meloncat ke belakang, hampir menjatuhkan kursi.
“A—apa-apaan!?”
Seketika seluruh penonton di sekitarnya menjerit kaget, sebagian langsung mundur menjauh.
Aura dingin dan megah mengalir di udara, menekan setiap napas.
Semua mata kini tertuju pada satu titik—
sosok wanita berambut hitam panjang dengan jubah merah hitam yang berpendar lembut di bawah cahaya spiritual.
Wajahnya tenang. Tatapannya tajam, seperti bisa menembus ke dalam jiwa.
Dia berdiri hanya beberapa langkah di depan Shen Hao.
Mei Xian’er, Ketua Crimson Moon Sect sendiri,
muncul di tengah tribun penonton.
Suasana yang tadinya penuh sorakan mendadak membeku.
Tidak ada satu pun yang berani bergerak.
Bahkan udara terasa berhenti berputar.
Dan Shen Hao—yang kini berdiri terpaku dengan mata membesar—
hanya bisa berpikir satu hal:
“Oke… sepertinya aku baru saja cari masalah dengan orang yang salah lagi.”