NovelToon NovelToon
Menantu Sampah Ternyata Billionere

Menantu Sampah Ternyata Billionere

Status: tamat
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Kebangkitan pecundang / CEO / Tamat
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: rikistory33

Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.

Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.

Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.

Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Honeymoon

Jakarta, Rumah Sakit VVIP Adhitama - 2 Hari Setelah Penjemputan Raka

Gavin Adhitama duduk di tepi tempat tidur Raka, lengan kirinya dibalut perban elastis akibat cedera ringan saat ledakan di Afrika. Raka, yang kakinya digips dan wajahnya masih lebam, sedang menikmati anggur mahal yang diberikan oleh Beny.

"Kamu harus melihat wajahmu, Gavin," kekeh Raka. "Raja Asia yang babak belur. Istrimu pasti marah besar."

"Dia tidak akan marah," jawab Gavin, meringis sedikit saat menggerakkan bahunya. "Mungkin Dia hanya...  diam. Dan itu lebih menakutkan."

Pintu kamar terbuka. Bukan Karina yang masuk, melainkan Laksmi Adhitama. Ibunya mengenakan setelan sutra abu-abu yang memancarkan otoritas mutlak. Di belakangnya, dua asisten membawa tablet dan jadwal.

Gavin segera berdiri tegak. "Ibu."

Laksmi menatap Raka sekilas, mengangguk sopan, lalu memusatkan perhatian penuh pada putranya.

"Kamu sudah menyelamatkan temanmu, Gavin. Kamu sudah mengalahkan Sterling. Kamu sudah mengamankan aset klan," kata Laksmi datar. "Tapi kamu melupakan tugas utamamu yang lain."

"Tugas apa, Ibu? Kota Pilar berjalan lancar, saham stabil..."

"Tugasmu sebagai Suami," potong Laksmi tajam. "Kamu menyeret Karina ke dalam perang media, membuatnya menghadapi ancaman pembunuhan di London, dan meninggalkannya dalam kecemasan saat kau bermain perang-perangan di Afrika. Kamu pikir dia terbuat dari batu?"

Laksmi memberikan sinyal. Asistennya menyerahkan sebuah amplop tebal berwarna emas kepada Gavin.

"Apa ini?"

"Tiket pengasingan," jawab Laksmi. "Ayahmu dan Ibu sudah mengambil keputusan eksekutif. Mulai besok pagi, kamu dan Karina dibebastugaskan dari seluruh urusan Phoenix Group selama dua minggu penuh. Ponsel kalian akan disita. Beny dilarang menghubungi kalian kecuali dunia kiamat."

Gavin ternganga. "Ibu, Aku tidak bisa pergi sekarang. Konstruksi Kota Pilar sedang dalam tahap krusial..."

"Dharma akan mengurusnya," tegas Laksmi. "Kamu akan pergi ke Pulau Serenity. Itu adalah pulau pribadi klan di gugusan Maldives yang tidak terpetakan. Hanya ada satu vila di sana. Tidak ada staf yang terlihat, semua otomatis. Hanya kamu, istrimu, dan laut."

Laksmi mendekat, merapikan kerah baju pasien Gavin dengan lembut, namun matanya menuntut.

"Dengar, Nak. Kalian menikah karena wasiat kakek. Kalian bertahan karena perang. Tapi kalian belum pernah benar-benar hidup sebagai pasangan. Pergilah. Sembuhkan lukamu. Cintai istrimu. Dan jangan berani pulang sebelum kamu memberikan Ibu kabar baik tentang masa depan klan ini. Mengerti?"

Itu bukan saran. Itu perintah seorang Matriark.

Maldives, Pulau Serenity - 24 Jam Kemudian

Pesawat amfibi mendarat mulus di air biru turkis yang jernih. Gavin dan Karina turun di dermaga kayu panjang yang mengarah ke sebuah vila modern yang berdiri sendirian di tengah samudra.

Pulau itu benar-benar surga. Pasir putih, nyiur melambai, dan privasi mutlak. Tidak ada ajudan, tidak ada Beny, tidak ada laptop.

Karina melepaskan sepatu hak tingginya, membiarkan kakinya menyentuh kayu dermaga yang hangat. Angin laut menerpa rambutnya.

"Ibumu benar-benar menyita ponsel kita," kata Karina, tertawa kecil, tawa yang terdengar jauh lebih ringan daripada saat di London. "Rasanya aneh. Tanganku gatal ingin mengecek harga saham."

Gavin berjalan di sampingnya, menggenggam tangannya. "Lupakan saham. Selama dua minggu ini, Sayang, Kita sedang cuti. Sekarang hanya ada kamu Karina."

Mereka masuk ke vila. Interiornya mewah namun terbuka, dengan lantai kaca yang memperlihatkan ikan-ikan berenang di bawahnya. Di kamar tidur utama, tempat tidur berkelambu putih menghadap langsung ke sunset yang mulai turun.

Malam itu, mereka makan malam di dek luar, diterangi cahaya bulan dan lilin. Gavin memanggang ikan segar, keterampilan yang ia pelajari saat hidup susah, sementara Karina menyiapkan salad.

Suasananya intim, jauh dari ketegangan politik.

"Bagaimana lukamu?" tanya Karina lembut, menunjuk bahu Gavin.

"Sudah tidak sakit," bohong Gavin.

Karina berdiri, berjalan memutari meja, dan duduk di pangkuan Gavin. Dia menyentuh bahu suaminya, jari-jarinya menelusuri bekas memar.

"Jangan berbohong padaku, Tuan Adhitama," bisik Karina. Dia menatap mata Gavin. "Tiga tahun kau menyembunyikan identitasmu. Bulan lalu kamu menyembunyikan rasa sakitmu demi melindungiku. Di sini... kaamu tidak perlu menyembunyikan apa pun."

Gavin menatap istrinya. Di bawah sinar bulan, Karina terlihat begitu cantik, bukan dengan kecantikan dingin seorang eksekutif, tapi kecantikan hangat seorang wanita yang mencintainya.

"Kamu benar," kata Gavin, melingkarkan lengannya di pinggang Karina. "Aku lelah, Karina. Perang itu... melelahkan."

"Kalau begitu, istirahatlah. Biarkan aku merawatmu," kata Karina. Dia mencium bibir Gavin, awalnya lembut, lalu semakin dalam dan penuh gairah.

Ciuman itu bukan ciuman perayaan kemenangan bisnis. Itu adalah ciuman kerinduan yang tertahan. Selama berbulan-bulan mereka tidur di ranjang yang sama, tetapi pikiran mereka selalu ada di medan perang. Malam ini, pikiran mereka hanya ada pada satu sama lain.

Gavin mengangkat Karina, membawanya masuk ke kamar tidur. Tirai putih melambai tertiup angin laut.

"Karina," bisik Gavin saat membaringkan istrinya di tempat tidur. "Ibu bilang kita harus membawa kabar baik tentang masa depan klan. Tapi aku tidak ingin melakukannya karena perintah Ibu. Aku ingin melakukannya karena... aku ingin bagian dari dirimu ada selamanya di dunia ini."

Karina tersenyum, menarik Gavin mendekat. "Aku juga, Gavin. Mari kita buat masa depan kita sendiri."

Malam itu di Pulau Serenity, tidak ada strategi, tidak ada musuh. Hanya suara ombak, desah napas, dan penyatuan dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah di dalam satu sama lain. Mereka bercinta bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai puncak dari cinta yang telah diuji oleh api dan badai.

Hari ke-7 di Pulau Serenity

Seminggu berlalu dalam kebahagiaan yang lambat. Mereka menghabiskan waktu dengan berenang di laut, membaca buku di hammock, dan berbicara tentang hal-hal remeh yang selama ini tidak sempat mereka bahas.

Gavin belajar bahwa Karina suka melukis. Karina belajar bahwa Gavin diam-diam suka menulis puisi buruk.

Sore itu, mereka sedang duduk di jacuzzi luar ruangan, menatap langit yang berubah warna menjadi ungu.

"Kamu tahu," kata Gavin, dengan memainkan rambut Karina yang basah. "Dulu saat aku menjadi 'menantu sampah', aku sering bermimpi membawa kamu ke tempat seperti ini. Tapi aku pikir itu mustahil."

"Kamu sudah membawaku ke sini," jawab Karina. "Dan kamu tahu apa bagian terbaiknya? Bukan pulaunya. Bukan vilanya. Tapi fakta bahwa kamu ada di sini, utuh, dan menjadi dirimu sendiri."

Karina berbalik, menatap Gavin serius.

"Gavin, jika... jika kita benar-benar memiliki anak nanti. Aku tidak ingin dia dididik seperti Julian. Atau seperti kaamu dididik kakekmu dengan ujian yang kejam."

"Tidak," janji Gavin. "Anak kita akan tahu dia dicintai sejak napas pertamanya. Dia tidak perlu menjadi pecundang dulu untuk menjadi pewaris. Dia akan menjadi tuan muda Adhitama yang bebas."

Gavin menarik Karina ke dalam pelukannya lagi, air hangat dan uap mengelilingi mereka. Gairah itu muncul kembali, kali ini lebih lembut, lebih tenang, namun penuh dengan kepastian.

Di bawah langit Maldives yang penuh bintang, mereka kembali menyatu, menanamkan benih harapan dan cinta yang akan tumbuh menjadi generasi penerus dinasti mereka.

Hari ke-14: Kepulangan

Helikopter penjemput sudah terdengar di kejauhan. Liburan usai.

Gavin dan Karina berdiri di dermaga, kulit mereka sedikit lebih gelap karena matahari, wajah mereka segar dan bercahaya. Beban di bahu Gavin telah hilang. Garis kekhawatiran di wajah Karina telah pudar.

"Siap kembali menjadi Penguasa?" tanya Gavin, menggenggam tangan istrinya.

Karina tersenyum penuh arti, tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya yang rata. Dia merasakan firasat, naluri seorang wanita, bahwa sesuatu telah berubah di dalam dirinya selama dua minggu ini.

"Lebih dari siap," jawab Karina. "Ayo kita pulang. Aku rasa... kita tidak pulang berdua saja."

Gavin menatapnya, matanya melebar sedikit, menangkap isyarat itu. "Kamu pikir...?"

"Kita lihat nanti," Karina mengedipkan sebelah matanya. "Biarkan itu menjadi kejutan."

Mereka naik ke helikopter, meninggalkan surga mereka untuk kembali ke dunia nyata. Tapi kali ini, mereka membawa serta rahasia kecil yang diciptakan dari cinta di tengah samudra, sebuah rahasia yang akan menjadi babak baru bagi legenda Adhitama.

1
Glastor Roy
update ya torrr ku
Rxyzbca
bagus banget
Rxyzbca
lanjut Thor nungguin nihh
ryou
thor sumpah bagus banget ini novel, beda sama yang lain pada berbelit2, ini mah sat set ga muter2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!