Setelah meninggal karena tenggelam saat menolong anak kecil, Nadra Elianora, gadis modern yang ceria dan blak-blakan, terbangun di dunia kuno dalam tubuh Li Yuanxin seorang gadis malang yang dibuang oleh tunangannya karena sang pria berselingkuh dengan adik tirinya.
Tersesat di hutan, Nadra membangun gubuk, hidup mandiri, dan menggunakan ilmu pengobatan yang ia kuasai. Saat menolong seekor makhluk terluka, ia tak tahu bahwa itu adalah Qiu Long, naga putih ilahi. Dari pertemuan konyol dan penuh adu mulut itu, tumbuh hubungan ajaib yang berujung pada kontrak suci antara manusia dan hewan ilahi.
Tanpa disadari, kekuatan dalam diri Nadra mulai bangkit kekuatan milik Sang Dewi Semesta, makhluk tertinggi yang jiwanya dulu dipecah ke berbagai zaman untuk menjaga keseimbangan dunia.
Kini, dengan kepintaran, kelucuan, dan keberaniannya, tak hanya menuntut balas atas pengkhianatan masa lalu, tapi juga menapaki takdir luar biasa yang menunggu: menyelamatkan dunia dan mengembalikan cahaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Bayangan yang Terbelah dari Cahaya
Langit malam itu berwarna merah darah. Angin dari arah utara membawa hawa dingin bercampur bau besi. Suara gong langit yang baru saja berhenti bergema masih terasa menusuk dada siapa pun yang memiliki inti spiritual.
Di ruang dimensinya, Yuanxin berdiri di tengah lingkaran mantra yang memancarkan cahaya emas dan biru bergantian. Feng Yan melayang di atas pundaknya, sayapnya terbakar api lembut, sementara Qiu Long melingkar di sekitar kolam spiritual dengan sisik berkilau perak.
“Aku bisa merasakannya,” bisik Feng Yan. “Bagian jiwamu yang gelap... dia bukan sekadar bayangan. Dia hidup.”
“Lebih dari itu,” jawab Yuanxin lirih. “Dia aku yang dulu. Bagian yang pernah menolak cahaya, bagian yang membakar langit agar keadilan bisa didengar.”
Lan’er, naga kecil biru muda, bersembunyi di balik batu giok dan menatap tuannya dengan mata besar. “Kalau dia bagianmu... berarti dia tahu semua rahasiamu, ‘kan?”
Yuanxin mengangguk pelan. “Semua. Dan itu yang membuatnya berbahaya.”
Qiu Long menegakkan kepala, tatapannya serius. “Kalau dia lepas sepenuhnya dari Dunia Bayangan, tidak akan ada yang bisa menghentikannya kecuali dirimu sendiri. Tapi kau belum pulih sepenuhnya, Yuanxin.”
“Aku tahu,” katanya tenang. “Tapi aku tak punya waktu menunggu kekuatanku pulih sempurna. Dunia sudah mulai retak.”
Tiba-tiba, sebuah semburan cahaya merah menembus langit dimensi mereka. Feng Yan menatap ngeri. “Itu... sinyal dari Dunia Bayangan! Gerbangnya terbuka sepenuhnya!”
Yuanxin menghela napas panjang, lalu menatap Feng Yan. “Panggil Lan’er. Kita berangkat malam ini.”
Lan’er mengibaskan sayap kecilnya gugup. “Tapi kak Feng Yan bilang dunia itu penuh roh jahat! Aku masih kecil!”
“Justru karena kau kecil,” jawab Yuanxin lembut, “kau bisa menembus celah tanpa menarik perhatian mereka. Aku butuhmu untuk mencari inti gerbang.”
Feng Yan mendengus. “Kau benar-benar tidak tahu arti istirahat, ya?”
“Kalau aku istirahat, mungkin besok dunia ini sudah jadi abu.” Yuanxin tersenyum tipis. “Kau ikut atau tidak?”
Feng Yan terdiam sejenak, lalu mengibaskan sayapnya dengan pasrah. “Baiklah, tapi kalau aku mati, aku akan menghantuimu selamanya.”
“Silakan,” balas Yuanxin ringan. “Aku sudah punya banyak roh di kepalaku.”
Qiu Long menunduk rendah. “Aku tidak bisa ikut menembus gerbang. Energi naga terlalu besar, akan menarik perhatian. Tapi aku akan menjaga pintu di sini. Kalau kau tak kembali dalam tiga hari, aku akan membakar seluruh bayangan itu.”
“Setuju.” Yuanxin menepuk kepalanya lembut sebelum melangkah ke tengah kolam spiritual.
Air berubah menjadi cermin hitam. Dalam pantulan itu, wajah Yuanxin bergetar—dan untuk sesaat, bayangan gelap dirinya tampak menatap balik, tersenyum dingin.
“Datanglah kalau berani,” bisik bayangan itu sebelum permukaan air pecah.
Yuanxin menghilang ke dalam cahaya.
----
Udara di sana berat dan dingin. Langit berwarna ungu kehitaman, penuh kabut hitam yang bergerak seperti makhluk hidup. Tanahnya pecah-pecah, dari retakannya muncul nyala api biru.
Yuanxin berjalan perlahan di antara reruntuhan pilar batu. Feng Yan terbang di atasnya, sayapnya memancarkan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan.
“Tempat ini... seolah pernah kukenal,” gumamnya.
“Itu karena bagian dari jiwamu pernah memerintah di sini,” jawab Feng Yan pelan. “Dunia Bayangan adalah cermin bagi kekuatanmu yang dulu.”
Dari kejauhan terdengar suara tertawa rendah, menggema seperti dari ratusan arah sekaligus. Yuanxin menegakkan kepala.
Dari kabut, muncullah sosok berjubah hitam dengan mata merah menyala. Wajahnya mirip dirinya sendiri, tapi lebih pucat, senyum lebih tajam, dan rambutnya hitam pekat dengan ujung berapi.
“Sudah lama,” kata sosok itu lembut. “Akhirnya kau datang.”
Yuanxin menatapnya tanpa gentar. “Aku datang untuk menyatukan kembali jiwaku. Dunia ini butuh keseimbangan.”
Bayangan itu tertawa pelan. “Keseimbangan? Kau selalu bicara soal keseimbangan, tapi kau lupa siapa yang membakarmu pertama kali. Para dewa yang kau lindungi, manusia yang kau selamatkan... merekalah yang mengkhianatimu!”
“Karena itu aku memecah jiwaku,” sahut Yuanxin dingin. “Agar kebencianmu tidak menelan dunia.”
Bayangan itu melangkah mendekat. Setiap langkahnya meninggalkan bekas api hitam di tanah. “Tapi tanpa aku, kau tidak akan punya kekuatan untuk melawan langit. Kau butuh aku.”
“Tidak,” bisik Yuanxin. “Aku butuh diriku yang utuh, bukan dirimu yang haus kehancuran.”
Senyum sang bayangan memudar. “Kalau begitu... rebutlah aku, kalau kau bisa.”
Dalam sekejap, tanah bergetar. Dari celah-celah muncul roh-roh berwujud bayangan, menjerit memanggil namanya. Feng Yan mengeluarkan sayapnya, menembakkan bulu-bulu api yang meledak di udara, menahan serangan.
“Yuanxin, cepat!” serunya.
Tapi Yuanxin tidak bergerak. Ia memejamkan mata, menyalurkan kekuatan spiritualnya. Cahaya emas keluar dari tubuhnya, membentuk lingkaran mantra di tanah. “Mantra Pemurnian Jiwa Bangkit!”
Cahaya itu menelan roh-roh hitam, membakar mereka jadi abu. Namun bayangan Yuanxin sendiri menahan serangan itu dengan tangan telanjang, api hitam dan emas bertabrakan menghasilkan badai energi.
Kabut tersibak, memperlihatkan langit raksasa dengan dua bulan hitam yang saling bertumpuk. Yuanxin terhempas ke belakang, darah menetes dari bibirnya.
“Kau terlalu lembut,” ejek bayangan itu. “Cahaya tidak bisa memurnikan kegelapan. Ia hanya menambah kontrasnya.”
Feng Yan meluncur turun, menahan tubuh Yuanxin. “Dia kuat! Kau harus mundur dulu!”
“Tidak bisa.” Yuanxin menatap lurus ke arah dirinya sendiri yang gelap. “Kalau aku mundur sekarang, Dunia Bayangan akan menelan dimensi manusia.”
Lan’er tiba-tiba muncul dari kabut, matanya menyala biru. “Tuan! Inti gerbangnya di sana!”
Seekor naga hitam besar muncul dari balik tebing, matanya merah menyala. Bayangan Yuanxin melompat ke punggung naga itu. “Lihat? Bahkan naga pun tunduk padaku. Karena aku adalah kau yang sejati.”
Yuanxin berdiri. Cahaya emas membungkus tubuhnya, dan dalam genggamannya muncul tongkat cahaya berbentuk bulu Phoenix. “Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang layak disebut sejati.”
Pertarungan mereka mengguncang dunia. Api keemasan dan hitam beradu, menyalakan langit yang gelap. Feng Yan dan Lan’er bekerja sama, mengurung roh-roh liar dalam lingkaran api.
Di tengah ledakan energi terakhir, Yuanxin menancapkan tongkatnya ke tanah. Cahaya dari tongkat itu menembus dada bayangannya sendiri.
Bayangan itu menatapnya dengan mata melebar, lalu tersenyum pahit. “Kau menang... tapi ingatlah, cahaya tak pernah hidup tanpa bayangan.”
Tubuhnya pecah menjadi serpihan hitam yang berputar lalu menyerap masuk ke tubuh Yuanxin. Cahaya emas menyala dari dalam dirinya. Untuk sesaat, seluruh Dunia Bayangan bergetar, kemudian tenang.
Feng Yan menatap takjub. “Kau... berhasil?”
Yuanxin membuka matanya. Irisnya kini berwarna emas pekat dengan bayangan hitam samar di tepinya. “Belum sepenuhnya. Tapi aku sudah mengikatnya kembali.”
Lan’er meringkuk di bahunya, lelah. “Tuan... dunia ini mulai runtuh.”
Yuanxin menatap langit yang mulai retak. “Sudah saatnya kita kembali.”
Dengan satu gerakan tangan, ia membuka portal cahaya. Mereka bertiga melompat masuk tepat sebelum dunia itu pecah menjadi abu.
---
Putra Mahkota Feng Liansheng berdiri di balkon tinggi, menatap langit yang berwarna ungu kemerahan. Mo Zheng berlutut di belakangnya, gemetar. “Yang Mulia, celah Dunia Bayangan menutup... tapi tekanan spiritualnya meningkat sepuluh kali lipat. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Liansheng tidak menjawab. Di matanya tampak kilatan cahaya hitam dan perak bertarung. “Dia sudah menyatukan dirinya,” gumamnya. “Dan itu berarti... dewi sejati telah bangkit.”
Dari kejauhan, di ruang dimensinya, Yuanxin tersadar di kolam spiritual. Feng Yan dan Lan’er sudah tertidur kelelahan di sisinya. Ia menatap tangannya sendiri yang memancarkan dua warna—emas dan hitam.
Di permukaan air, pantulan wajahnya tersenyum samar, tapi di balik senyum itu, bayangan gelap muncul dan berbisik pelan:
“Kau pikir kau telah mengurungku? Tidak, Yuanxin. Aku hanya menunggu saatmu lemah.”
Yuanxin membuka matanya, senyumnya dingin. “Kalau begitu... tunggu saja. Aku akan pastikan dunia ini cukup kuat untuk menghadapi kita berdua.”
Di langit, dua cahaya emas dan ungu berputar, menandai kebangkitan dua kekuatan tertinggi yang dulu memecah langit.
Dan untuk pertama kalinya setelah seribu tahun, dunia mulai bergetar bukan karena kehancuran...
tetapi karena dewi dan bayangannya telah bersatu kembali.
Bersambung...
saatnya sekarang tinggal menunggu balasan yang setimpal.
sultan itu bebas melakukan apapun bukan /Facepalm/