 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pingin liburan juga
Langkah Leo mantap memasuki lobi hotel mewah di Singapura. Dengan setelan jas hitamnya, aura dingin dan berwibawa seakan memantul dari setiap gerakan tubuhnya. Adrian yang setia mengikutinya dari belakang, membawa koper serta berkas penting untuk meeting malam nanti.
Setelah check-in, mereka menuju suite yang sudah dipersiapkan. Begitu pintu terbuka, aroma segar ruangan menyambut. Leo langsung melepas jasnya dan duduk di kursi kulit hitam, menatap jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota Singapura.
“Bagaimana keadaan di rumah?” tanyanya datar tanpa menoleh.
Adrian yang sedang merapikan koper menegakkan tubuhnya, “Hari ini, Nyonya Aurelia membawa Nona Arinda ke lantai dua, di ruangan salon pribadi milik Nyonya.”
Dahi Leo sedikit berkerut. Tangannya yang memegang kancing kemeja terhenti sejenak, lalu ia menoleh. “Arinda… di lantai dua?”
Adrian mengangguk pelan. “Betul, Tuan. Semua pekerja salon pribadi Nyonya juga ikut melayani. Tapi—sejauh laporan yang saya terima—tidak ada hal buruk yang terjadi. Nyonya Aurelia hanya menyuruh mereka melakukan perawatan.”
Leo menghela napas panjang. Pandangan matanya sedikit meredup, seolah sedang menimbang sesuatu. “Hmmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Adrian melanjutkan, “Saya sudah menghubungi staf rumah untuk memastikan, Tuan. Mereka bilang Nona Arinda terlihat canggung, tapi tidak ada tanda-tanda diperlakukan kasar. Nyonya Aurelia pun meninggalkan ruangan tak lama setelahnya.”
Leo mengangguk kecil, lalu mengambil segelas air mineral di meja. “Baik. Pantau terus. Arinda… jangan sampai merasa terancam. Jika ada sedikit saja hal yang mencurigakan, segera laporkan ke saya.”
“Siap, Tuan,” jawab Adrian tegas.
Leo lalu bangkit berdiri, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum rapat. Dalam benaknya, ada rasa tak tenang. Aurelia memang istrinya yang sah dan memiliki kuasa di rumah, tapi Arinda—gadis itu sudah mulai menempati ruang tersendiri dalam hatinya.
Tak lama kemudian, Adrian mengecek jadwal. “Tuan, meeting akan dimulai pukul delapan malam. Kita punya waktu istirahat sekitar dua jam.”
Leo hanya mengangguk sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Pandangannya tajam, dingin, tapi di balik itu ada gejolak perasaan yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun.
Di ruangan salon pribadi yang mewah dengan aroma bunga mawar lembut, Arinda masih terlelap di kursi perawatan. Wajahnya tenang, meski sejak awal ia terlihat kikuk dengan semua perlakuan orang-orang asing di sekitarnya. Para pekerja salon yang memang dipekerjakan khusus oleh Leo berdiri menunggu, menatap satu sama lain sambil berbisik pelan.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Aurelia masuk dengan langkah anggun, gaunnya berwarna pastel lembut, wajahnya dipenuhi wibawa namun juga teduh.
“Bagaimana dengan Arinda?” tanya Aurelia pelan, suaranya tenang tapi jelas penuh wibawa.
Salah satu pekerja segera membungkuk hormat.
“Sepertinya nona terlalu canggung, nyonya. Ia terus diam dan akhirnya tertidur di kursi. Mungkin karena lelah atau takut.”
Aurelia menoleh, pandangannya jatuh pada Arinda yang tertidur dengan wajah polos. Ada senyum tipis yang muncul di bibir Aurelia, senyum yang tidak menunjukkan kebencian, melainkan ketulusan.
“Jangan terlalu kasar dengannya,” ucap Aurelia lembut namun tegas. “Dia gadis polos dan lugu. Jangan sampai ada yang membuatnya semakin takut.”
Para pekerja mengangguk serempak. “Baik, nyonya.”
Aurelia mendekat sebentar, menyingkirkan helai rambut yang menutupi pipi Arinda. Ia menarik napas panjang, lalu menatap para pekerja lagi.
“Saya akan ke Bali beberapa hari ini. Selama saya tidak ada, perlakukan Arinda sebaik mungkin. Jangan sampai ada kelalaian sekecil apa pun. Jika itu terjadi, kalian akan berhadapan langsung dengan Leo. Kalian tahu sendiri, dia tidak mengenal kata ampun.”
Suasana ruangan mendadak kaku. Para pekerja menelan ludah, wajah mereka seketika pucat. Ancaman itu lebih dari cukup untuk membuat mereka waspada.
“Baik, nyonya. Kami mengerti,” jawab salah satu dengan suara sedikit bergetar.
Aurelia mengangguk pelan, lalu berjalan keluar dengan anggun. Namun sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, ia menoleh sekali lagi ke arah Arinda. Ada tatapan lembut yang tak bisa disembunyikan—seolah Aurelia sungguh tulus menjaga madu mudanya, tanpa niat buruk sedikit pun.
Di kursi, Arinda tetap tertidur pulas, tanpa tahu betapa Aurelia justru diam-diam menjadi tameng pertamanya di rumah megah itu.
Arinda terbangun dengan gerakan kecil di sofa empuk ruang salon. Aroma lembut bunga melati dari diffuser yang menyala membuatnya merasa nyaman, tapi cahaya lampu kristal yang menggantung di atas kepalanya terasa terlalu terang bagi matanya yang baru saja terbuka. Samar-samar, pandangannya menangkap sosok yang sudah sangat akrab di hatinya—Sofia, asisten pribadinya.
“Mbak…” suara Arinda parau, pelan sekali, tapi penuh dengan rasa lega. Ia langsung bangun setengah tubuh dan memeluk Sofia erat-erat. “Mbak kemana aja? Arinda takut sendirian di sini…”
Sofia tersenyum lembut sambil membalas pelukan itu, tangannya mengusap punggung Arinda dengan pelan. “Saya tadi di kamar nona, menyiapkan baju nona. Maaf kalau ninggalin sebentar.”
Arinda mencemberut, pipinya yang bulat memerah menahan kesal. “Arinda bosen, mbak… mereka semua keliatan asing. Arinda jadi takut…” matanya melirik para pelayan salon yang masih berdiri tegak dengan kepala menunduk, menunggu instruksi.
Sofia mengangguk penuh pengertian, lalu mengelus rambut Arinda. “Kalau begitu ayo, nona. Kita keluar sebentar. Jangan terlalu lama di ruangan ini.”
Arinda segera menggandeng tangan Sofia, seperti anak kecil yang takut kehilangan. Mereka berjalan keluar dari ruang salon dengan langkah pelan, melewati lorong panjang yang dipenuhi potret keluarga besar Aurelia. Arinda sesekali menoleh ke kanan-kiri, merasa kagum sekaligus asing melihat semua kemewahan yang ada.
Di tengah jalan, Arinda menoleh pada Sofia. “Mbak, kemana nyonya Aurelia? Kok dari tadi Arinda nggak lihat?”
Sofia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nyonya sudah pergi ke Bali sejak tadi siang, nona. Ada urusan penting yang harus beliau urus di sana.”
Arinda terperangah, matanya berbinar-binar. “Wahhh… enak banget, ya. Arinda belum pernah pergi jauh-jauh, mbak. Ke Bali pasti bagus ya? Ada pantai? Ada laut?” Nada suaranya penuh rasa ingin tahu, polos sekali, membuat Sofia justru merasa perih di hatinya.
Ia menatap wajah Arinda yang begitu lugu, tak ada sedikit pun tanda bahwa gadis itu tahu kerasnya dunia yang sedang ia jalani sekarang. Senyuman tipis muncul di bibir Sofia, meski hatinya terasa sedih. “Iya, nona. Bali itu indah sekali. Ada pantai, pasir putih, dan banyak orang dari berbagai negara datang ke sana. Kalau nona ke sana pasti akan suka sekali.”
Arinda mendengarkan dengan mata berbinar. “Arinda pengen ke sana, mbak. Main di pasir, lihat laut biru… pasti seru banget.”
Sofia hanya bisa mengangguk, meski dalam hati ia tahu perjalanan itu tidak akan semudah ucapan Arinda. Hidup nona mudanya kini tidak sepenuhnya miliknya sendiri—banyak aturan, banyak batasan, bahkan setiap langkah diawasi.
Arinda menggenggam tangan Sofia lebih erat, suaranya pelan penuh keluguan. “Mbak, kalau Arinda ke Bali, mbak ikut ya? Jangan tinggalin Arinda sendirian.”
Sofia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tulus. “Tentu saja, nona. Ke mana pun nona pergi, saya akan selalu ikut. Saya janji.”
Mendengar itu, Arinda tersenyum lega. Senyum itu sederhana, tapi mampu menenangkan Sofia yang sering kali merasa khawatir dengan keadaan nona mudanya.
Mereka berhenti di balkon lantai dua. Dari sana, Arinda bisa melihat taman luas dengan air mancur yang berdiri gagah di tengah. Angin sore berhembus lembut, membuat helaian rambut tipis Arinda berayun pelan. Gadis itu menutup matanya sejenak, merasakan hembusan angin seolah membawanya ke dunia lain.
“Mbak,” panggil Arinda pelan, “Arinda kadang iri sama orang-orang yang bisa bebas pergi ke mana aja. Bisa jalan-jalan, bisa lihat dunia luar… Arinda cuma bisa di sini.”
Sofia menatapnya dalam, lalu menunduk dengan perasaan getir. “Nona masih muda, masih banyak waktu. Suatu hari nanti, nona akan punya kesempatan itu. Percaya sama saya.”
Arinda membuka mata, menatap Sofia polos. “Mbak yakin?”
Sofia mengangguk mantap, meski di hatinya ada kebimbangan. “Saya yakin, nona. Karena orang baik seperti nona pasti akan mendapatkan kebahagiaan.”
Arinda tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ia meraih tangan Sofia, lalu menempelkan pipinya di sana seperti anak kecil yang sedang mencari kehangatan. “Arinda senang punya mbak Sofia. Kalau nggak ada mbak, Arinda pasti bingung harus gimana.”
Sofia menahan napas sejenak, lalu mengelus lembut pipi Arinda. “Saya juga senang bisa mendampingi nona.”
Mata Sofia sempat menerawang jauh, teringat pesan Aurelia sebelum berangkat ke Bali. Perlakukan Arinda sebaik mungkin, jangan ada kelalaian, atau kalian akan dihukum Leo langsung. Kata-kata itu terus terngiang, membuat Sofia semakin sadar bahwa keberadaan Arinda bukan sekadar gadis lugu yang harus dijaga, tapi juga seseorang yang tanpa sadar sudah mulai dicintai dan dilindungi oleh banyak orang—meski dengan cara yang berbeda.
 
                    