NovelToon NovelToon
Ketika Suamiku Pergi

Ketika Suamiku Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ni R

Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertahanlah Elma

Malam itu hujan masih mengguyur deras, seolah langit sedang mencurahkan segala kesedihan ke bumi. Di dalam kamar, Elma menggeliat lemah di atas ranjang. Tubuhnya dipenuhi rasa sakit yang mencekam, sementara darah terus mengalir dari tubuhnya, menodai seprai yang sekarang telah berubah menjadi merah pekat.

Matanya yang buram memandang ke arah nakas di samping ranjang. Di atasnya, ponsel tergeletak begitu dekat, tetapi terasa amat jauh baginya yang sudah hampir kehilangan tenaga. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Elma mulai merangkak perlahan. Tangannya bergetar, keringat dingin bercucuran dari wajahnya, dan napasnya terengah-engah seakan setiap hembusan udara adalah perjuangan terakhir.

“Sedikit lagi… sedikit lagi…” ia berbisik lirih, seolah menyemangati dirinya sendiri.

Rasa sakit di perut membuatnya nyaris menyerah, namun pikiran tentang Amar, satu-satunya orang yang selama ini selalu hadir untuknya, memberinya kekuatan. Ia tahu, hanya Amar yang bisa menolongnya saat ini. Dengan susah payah, jemarinya akhirnya menyentuh tepi ponsel. Ia menarik benda itu dengan tangan gemetar, lalu berusaha menekan tombol panggil.

Nomor Amar berhasil tersambung. Nada sambung terdengar samar di telinganya. Tak lama, suara lelaki itu menjawab dengan cepat.

“Halo? Elma? Ada apa? Kenapa malam-malam menelepon?” suara Amar terdengar jelas, meski terselip nada khawatir.

Namun yang terdengar hanya rintihan pelan dari Elma. “Amar… tolong… aku…” suaranya parau, nyaris tak terdengar.

Amar sontak panik. “Elma?! Hei! Kau kenapa?! Elma?! Bicara, jangan diam!”

Tetapi sambungan itu hanya meninggalkan hening. Rintihan Elma terputus, suara napasnya lenyap begitu saja. Amar merasa seolah dadanya dihantam ribuan batu. Ia berdiri tergesa dari tempat tidurnya, mengambil kunci motor tanpa sempat berpikir panjang. Hujan deras di luar rumah sama sekali tidak ia pedulikan.

“Elma, aku datang!” teriaknya, meski tahu Elma tidak bisa mendengar.

Jalanan malam itu gelap dan licin, namun Amar mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Angin dingin dan hujan yang tak lagi ia rasakan. Perasaannya kalang kabut, hatinya diliputi rasa cemas yang luar biasa. Setiap detik di jalan terasa seperti jarak antara hidup dan mati.

Tidak sampai dua puluh menit, Amar akhirnya tiba di depan rumah Elma. Ia berlari menuju pintu depan dan mengetuk keras-keras.

“Elma! Buka pintunya! Ini aku, Amar!” serunya panik.

Namun tidak ada jawaban. Rumah itu tetap sunyi, hanya ada suara hujan deras yang menjadi latar. Amar mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

“Elma! Jawab aku! Jangan buat aku khawatir!”

Hening. Jantung Amar berdegup kencang, keringat bercampur air hujan mengalir deras. Ia kemudian mencoba mendobrak pintu, menghantamnya dengan bahu berulang kali, tetapi pintu itu tetap kokoh.

“Sial!” umpatnya kesal, matanya liar mencari jalan lain. Hingga akhirnya ia teringat pada pintu belakang. Dengan langkah cepat, ia berlari ke arah belakang rumah.

Sesampainya di sana, Amar terkejut mendapati pintu belakang terbuka lebar. Rasa was-was langsung menyergap hatinya. “Kenapa pintu ini terbuka?” pikirnya. Ia tak ingin berprasangka buruk, tetapi tanda-tanda ini membuatnya yakin sesuatu yang mengerikan telah terjadi.

Dengan napas memburu, Amar masuk ke dalam rumah. Suasana gelap dan lembap menyambutnya. Setiap langkahnya terasa menegangkan, hingga ia sampai ke kamar Elma. Dan di sanalah, pandangan Amar membeku.

Elma tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat, tubuhnya kaku tanpa gerakan. Darah segar mengalir deras dari tubuhnya, membasahi seprai hingga menetes ke lantai.

“Elma!” Amar berteriak, suaranya bergetar penuh kepanikan. Ia segera berlari mendekat, mengguncang bahu Elma. “Elma! Bangun! Jangan seperti ini!”

Namun Elma tetap tak bergerak. Amar merasakan jantungnya hampir berhenti. Tanpa membuang waktu, ia segera mengangkat tubuh Elma ke dalam gendongan. Meski tubuh perempuan itu terasa lemas, Amar mendekapnya erat, berusaha menyalurkan kekuatan agar Elma tetap bertahan.

“Bertahanlah, aku akan membawamu ke rumah sakit. Tolong jangan tinggalkan aku.” Amar berbisik dengan suara serak, nyaris seperti doa.

Dengan langkah terburu-buru, ia keluar rumah menembus derasnya hujan. Amar segera memasukan Elma ke dalam mobil.

Dengan tangan gemetar, ia menyalakan mesin dan melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.

Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi rasa takut yang menggerogoti. Setiap kali ia merasakan tubuh Elma semakin dingin setiap kali Amar menyentuh tangan Elma, paniknya semakin menjadi. Ia berulang kali memanggil nama Elma, berharap ada sedikit respon, namun perempuan itu tetap terdiam.

“Elma… kau kuat, kan? Tolong buktikan itu padaku. Jangan menyerah. Kita sudah berjanji akan menghadapi semuanya bersama. Aku tidak akan biarkanmu kalah malam ini.” Amar terus berbicara, meski tidak yakin Elma mendengar.

Hujan semakin deras, jalanan licin membuat mobil nyaris kehilangan kendali. Namun Amar tidak memperlambat laju kendaraannya. Ia hanya fokus pada satu tujuan, menyelamatkan Elma.

Setelah perjalanan yang terasa begitu panjang, lampu rumah sakit akhirnya tampak di kejauhan. Amar menghela napas lega, meski hatinya tetap dicekam kecemasan. Ia langsung mengarahkan mobilnya ke depan pintu instalasi gawat darurat.

Begitu tiba, Amar turun sambil tetap menggendong Elma. Nafasnya memburu, wajahnya basah kuyup oleh hujan, tetapi ia tidak peduli. Ia berlari masuk ke dalam rumah sakit dan berteriak dengan suara parau.

“Tolong! Ada pasien gawat darurat! Cepat!”

Beberapa perawat dan dokter segera menghampiri. Mereka terkejut melihat kondisi Elma yang penuh darah dan tidak sadarkan diri. Tanpa banyak bicara, Elma segera dibaringkan di atas ranjang dorong dan dibawa masuk ke ruang gawat darurat.

Amar hanya bisa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal. Ia merasa separuh jiwanya ikut dibawa masuk bersama Elma ke balik pintu ruang gawat darurat itu. Perasaan kalut menguasai dirinya.

“Kuatlah, Elma. Kau tidak boleh pergi dariku,” lirihnya, matanya berkaca-kaca.

Malam itu, Amar hanya bisa menunggu dengan hati hancur, sementara di balik pintu, para tenaga medis berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Elma yang sudah di ambang batas.

Dokter dan perawat bergerak cepat, memberikan infus, memasang selang oksigen, serta berusaha menghentikan perdarahan yang cukup parah. Suasana di ruang itu penuh ketegangan, semua tenaga medis fokus pada tubuh Elma yang semakin lemah.

Sementara itu, Amar hanya bisa menunggu di luar dengan perasaan gelisah. Nafasnya masih memburu, tangannya gemetar hebat. Ia mondar-mandir di depan pintu ruang gawat darurat, sesekali menunduk dengan wajah pucat. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu berjalan sangat lambat.

“Ya Tuhan, tolong selamatkan dia, jangan biarkan Elma pergi begitu saja,” bisik Amar lirih sambil menggenggam kedua tangannya erat. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan tangis yang sudah di pelupuk.

Beberapa kali perawat keluar masuk ruangan untuk mengambil peralatan medis tambahan. Amar berusaha bertanya, namun tidak ada jawaban pasti. Mereka hanya berkata, “Kami sedang berusaha sebaik mungkin, tolong bersabar.” Jawaban itu membuat hatinya semakin gelisah.

Amar kemudian duduk di kursi tunggu dengan tubuh lemas. Ia menatap kosong ke lantai, teringat kembali bagaimana ia menemukan Elma tergeletak di rumahnya dalam keadaan penuh darah. Bayangan itu membuat dadanya terasa sesak, seakan paru-parunya tak mampu menampung udara.

Lampu tanda darurat di atas pintu ruangan masih menyala, menandakan proses penanganan masih berlangsung. Amar hanya bisa berdoa dalam hati, berharap keajaiban datang. Baginya, malam itu bukan hanya tentang menyelamatkan Elma, tetapi juga menyelamatkan harapan hidup yang selama ini mereka jaga bersama.

1
Sunaryati
Kutunggu Amar segera lakukan
Sunaryati
Lanjuut skin seru, semangat Elma
R Ni: sipp kakak🌻🌻🌻
total 1 replies
Sunaryati
Mudah- mudahan lancar
R Ni: iya kakak🌻🌻🌻
total 1 replies
Vay
💙💙💙💙
R Ni: 🌻🌻🌻🌻🌻
total 1 replies
reti
makin seru ceritanya
R Ni: makasih kakak👍🏻👍🏻👍🏻
total 1 replies
Dwi Agustina
Semangat Anar dan Elma💪💪💪👍
R Ni: yeee semangat 👍🏻👍🏻
total 1 replies
reti
nikahin elma aja amar biar ada yang melindungi, toh elma sdh cerai.
R Ni: nanti kak👍🏻👍🏻
total 1 replies
reti
jahat banget dion sekeluarga. klo emang gak mau sm elma ya udah toh sdh cerai..
R Ni: mereka halal di goreng👍🏻👍🏻
total 1 replies
Vay
💙💙💙💙💙
R Ni: 🌻🌻🌻🌻🌻
total 1 replies
Vay
💙💙💙💙
R Ni: 🍇🍇🍇🍇🍇
total 1 replies
Vay
♥️♥️♥️♥️
R Ni: /Watermalon//Moon//Moon//Moon//Moon/
total 1 replies
Vay
💙💙💙💙💙
R Ni: /Moon//Moon//Moon//Moon//Moon/
total 2 replies
Vay
❤️❤️❤️❤️❤️
R Ni: 🍨🍨🍨🍨🍨
total 1 replies
Vay
💜💜💜💜💜
R Ni: 🌻🌻🌻🌻🌻
total 1 replies
Vay
♥️♥️♥️♥️
R Ni: 🍧🍧🍧🍧🍧🍧
total 1 replies
Sunaryati
Balas mereka tapi jangan sampai hatimu dikuasai nafsu setan seperti mereka
R Ni: Memang akan dibalas👍🏻👍🏻👍🏻
total 1 replies
Vay
💜💜💜💜💜
R Ni: 🍓🍓🍓🍓🍓
total 1 replies
Vay
💜💜💜💜
R Ni: 🧋🧋🧋🧋🧋
total 1 replies
Sunaryati
Biarkan karma yang membalasnya Elma, kau bangkit dan tata hidupmu, tunjukkan pada mereka, kau mampu bahagia .
R Ni: halal balas dendam👍🏻👍🏻👍🏻
total 1 replies
Sunaryati
Bayi Fira jika lahir cacat atau mati, dan tak punya anak lagi, sedangkan Elma mendapatkan suami yang menyayangi dan memiliki anak yang baik
R Ni: jadi yatim piatu boleh lah🤦🏻‍♂🤦🏻‍♂
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!