Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melaporkan pada Walikota
Di sisi lain, di kota Mottesa--- setelah keluarga Elvira tahu, Rose telah membakar rumah baru Sebastian.
Bruk!!
Suara pintu dibanting keras, membuat vas bunga di meja hampir jatuh. Elvira masuk dengan wajah merah padam, matanya sembab tapi dipenuhi bara. Ia melempar syal yang menempel di bahunya ke lantai, menginjaknya seolah sedang melampiaskan amarah yang tak terbendung.
“Rose! Anak itu benar-benar gila!” teriak buk Elvira, suaranya bergema di seluruh ruangan. Tangannya menepuk-nepuk meja hingga bunyinya keras.
Bruk!
Bruk!
“Rumah itu ku beli, dengan sepenuh harapan… itu rumah terbaik yang kita punya! Dan sekarang hangus tinggal arang! Kalau saja aku ada disana saat itu, sudah kubakar balik tubuhnya dengan tanganku sendiri!” gerutu buk Elvira, bulir bening menggenang di ujung mata. Suaranya bergetar menahan amarah.
Sebastian yang duduk di kursi panjang, wajahnya pucat dan kedua tangannya meremas rambutnya sendiri, menunduk lalu menghentakkan kaki.
“Ibu, aku sudah tidak tahan! Dia merusak segalanya! Aku bahkan belum sempat menikmati rumah itu, belum sempat masuk tidur semalam saja. Semua sirna, karena ulah Rose!”
Elvira menoleh cepat, nadanya penuh dendam. “Anak itu memang dilahirkan hanya untuk menghancurkan keluarganya sendiri. Seharusnya dulu aku tidak melahirkannya! Seharusnya aku biarkan dia mati saja waktu kecil! Sekarang lihat, semua aib, semua malapetaka, selalu datang lewat dirinya!” Cercanya dengan rahang mengeras.
Sebastian meninju meja hingga kayunya bergetar.
Grukh!
“Dia tahu betul bagaimana membuat kita malu di depan orang sekampung! Membakar rumah? Itu bukan hanya perbuatan keji, Bu. Itu penghinaan! Dia seolah ingin berkata kalau kita tidak layak punya apa-apa! Aku… aku tidak akan memaafkannya!” teriak Sebastian penuh asa, wajahnya merah menahan tangis. Pernikahannya terancam gagal karena rumah yang ia janjikan, sirna.
Wanita paruh baya itu terus berjalan mondar-mandir, rambutnya berantakan, napasnya memburu. Sesekali ia mencengkram kursi, lalu melepaskannya kembali dengan kasar.
“Rose sudah dijual pada Morreti! Seharusnya lenyap! Seharusnya dia menghilang seperti yang lain! Tapi lihat? Lihat, dia biasa Kembali memamerkan kemewahan yang dia punya, lalu menghukum seolah kita salah! Morreti membiarkan perempuan itu kembali ke sini, berkeliaran, masih saja membawa malapetaka! Morreti pun harus ikut bertanggung jawab!”
Sebastian menunduk, lalu mendongak lagi dengan mata merah, suaranya berat penuh amarah.
“Ibu, aku bersumpah… kalau hukum kota ini tidak bisa menjatuhkan Rose, aku sendiri yang akan menghabisinya. Aku tidak peduli lagi. Hidupku, masa depanku, semua dirusaknya. Rose harus menanggung balasanku,” air mata Sebastian meleleh. Ibuk nya, sontak saja semakin sedih dan terbakar emosi.
Elvira berhenti di tengah langkahnya, menatap anak lelakinya dengan sorot mata yang sama penuh dendam. “Ya, anakku… biar semua orang tahu, biar Walikota mendengar. Rose bukan lagi darah dagingku. Dia musuh keluarga ini. Dan tidak ada ampun bagi musuh,” Ucapnya. Menahan napas yang tercekat, memutar otak bagaimana agar hukuman itu sampai pada Rose, putrinya.
Keheningan singkat menyelimuti ruangan, hanya suara napas terengah mereka berdua yang terdengar. Lalu Elvira menutup wajahnya dengan tangan, menangis, bukan tangis kesedihan, melainkan tangis penuh amarah yang menusuk, sementara Sebastian terus mengutuk nama adiknya sendiri, mengulanginya seperti mantra kebencian.
“Ibuk akan melaporkannya pada walikota,” gerundelnya. Berjalan keluar, lalu hilang di telan daun pintu yang ditutup kasar.
*
Setelah melaporkan kepada Walikota, Elvira pun langsung mengumpulkan semua orang.
Alun-alun kota Mottesa mendadak penuh sesak sore itu. Orang-orang berdesakan, sebagian berbisik, sebagian berteriak. Polisi kota dan penjaga khusus keluarga bangsawan sudah berjaga di depan gedung dewan kota. Di tengah hiruk-pikuk itu, Sebastian Alviera melangkah dengan wajah penuh amarah, menyeret ibunya, Elvira, yang terisak namun tetap angkuh.
“Lihatlah! Ini bukti! Semua orang harus tahu!” teriak Sebastian lantang, menunjuk ke arah potret rumah kayu modern yang kini hanya tersisa puing terbakar. Bau hangus masih menempel di udara Mottesa, seakan luka baru itu belum mau hilang.
Orang-orang berbisik semakin keras.
“Benarkah itu ulah Rose?”
“Bukankah ia sudah dijual ke Morreti?”
“Harusnya ia sudah menghilang, seperti gadis-gadis lain…”
Elvira maju, suaranya serak namun tajam. “Anak perempuan itu! Dia aib keluarga Alviera! Seharusnya dia sudah lenyap, tak pernah kembali! Dan sekarang? Rumah anakku hancur!”
Sebastian mengepalkan tangan, nadanya menghantam udara.“Ini semua kesalahan Lucas Morreti! Bagaimana bisa seorang pria sekelas dia mengizinkan wanita yang sudah ia beli kembali menjenguk keluarganya?! Semua tahu aturan itu, setelah pergi, tidak ada yang kembali! Tapi Rose? Dia malah membawa kehancuran ke rumah kami.”
Riuh massa pecah. Sebagian mengangguk setuju, sebagian ketakutan menyebut nama Morreti. Tak ada yang berani mengucapkannya keras-keras, kecuali Sebastian yang kini terbakar dendam.
“Jika Morreti mengira bisa mempermainkan keluarga kami, dia salah besar!” lanjutnya, matanya menyala. “Rose seharusnya menghilang, sama seperti yang lainnya. Tapi lihat apa jadinya sekarang? Api, kehancuran, dan aib menempel pada nama Alviera!” Teriakan itu menggema, menarik sampati banyak orang. Wajah prustasi Alviera dan Sebastian, membuat petugas Dewan mulai simpati.
Pruk!!
Elvira jatuh berlutut di tangga gedung dewan, meratap dengan suara tinggi. “Kembalikan kehormatan keluarga kami! Hukum mereka! Hukum Rose! Hukum Morreti!”
Massa pun pecah menjadi huru-hara. Ada yang berteriak setuju, ada yang ketakutan membayangkan jika nama besar Morreti benar-benar disentuh. Polisi kota mencoba menenangkan, tapi teriakan makin menggema.
“Setuju! Adili Rose, Adili Morreti!”
“Membakar rumah adalah pidana besar, sama dengan membakar symbol kesejahteraan Mottesa!”
Sementara itu, di kejauhan, di balik kaca gedung tinggi yang menghadap alun-alun, seorang pria berjas hitam berdiri tegak, matanya menatap kerumunan dengan tatapan tenang namun berbahaya, Don Cassiel. Salah satu elit yang sering membeli g4dis di Motessa. Namun kalah pamor dan kekayaan dengan Morreti, hingga membuatnya sangat membenci Morreti. Dan dengan hadirnya hal ini, ia seolah mendapatkan percikan api untuk membuat api ungun.
Ia mendengar semuanya.
Ruang itu sepi, hanya lampu gantung tua yang menyala redup. Dari jendela besar, keributan di alun-alun Mottesa tampak jelas, massa berteriak, menunjuk ke arah patung pendiri kota, menuntut jawaban.
“Lihat itu, Walikota… rakyatmu mulai gelisah. Mereka bosan dengan nama Morreti yang tercium di setiap lorong kota. Dia bahkan hampir menghabiskan gadis-gadis di sini. Apa kau tidak merasa… ini aib untuk Mottesa?” sindir Don Cassiel, melemparkan senyum sinis.
Maurizio, Walikota Motessa menghela napas, gusar. “Cassiel, jangan gegabah. Morreti itu… royal Motessa. Pajaknya, sumbangannya, bahkan pembangunan alun-alun itu, semua dari kantongnya. Tanpa dia, Mottesa tidak akan secemerlang sekarang,” sahutnya, terlihat keberatan.
Cassiel mencondongkan tubuh, senyumnya tipis namun menusuk. “Royalitasnya hanya ilusi. Apa yang dia beri, lebih sedikit dari apa yang dia ambil. Lihat sekeliling, Walikota. Gadis-gadis muda menghilang, keluarga meratap. Morreti memperlakukan kota ini seperti kebunnya sendiri, dan setiap bunga dipetik seenaknya. Apa kau mau dicatat dalam sejarah sebagai Walikota yang membiarkan bunga-bunga Mottesa dipanen orang luar?”
Maurizio terdiam, menatap ke jendela. Teriakan massa semakin keras. Keraguan merayap dihatinya. “Kalau aku melawan Morreti… dia bisa saja menutup keran emasnya. Aku tidak bisa membiarkan kota ini jatuh miskin lagi.”
Bruk!
Tangan kekar Cassiel menepuk meja, keras. “Dengar aku baik-baik, Maurizio. Ini saat yang tepat untuk membalikkan keadaan. Kita jadikan Rose, wanita terakhir yang dipetik Morreti, sebagai simbol. Kita katakan pada rakyat. Cukup! Tidak ada lagi gadis Mottesa yang dijual, pada orang luar. Kalau bisa, usir Morreti sekalian dari kota ini.” Titahnya, dengan rahang meruncing.
Walikota membeku, ada perasaan kesal namun pria dihadapannya justru lebih berbahaya dari pada Morreti, pikirnya.
“Pilihannya sederhana, Walikota. Kau ingin dikenang sebagai pelindung kota… atau sebagai boneka yang menjual kehormatan Mottesa pada seorang asing? Seperti Morreri… ”oceh Cassiel, nada suaranya mulai melemah.
Walikota Maurizio terdiam lama. Jemarinya mengetuk meja, wajahnya tegang di antara dua pilihan. Emas Morreti, atau pengaruh Cassiel yang menguasai jalanan Mottesa.
*
Bersambung!
Hai, terimakasih sudah baca sampai sini.
Aku tidak akan bosan-bosan, meminta dukungan kalian. Karena itu adalah bahan bakar untuk ku terrus menuangkan semua ide dan menulisnya.
Jangan lupa Like, dan komen.