NovelToon NovelToon
Iparku

Iparku

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Beda Usia / Keluarga / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Khozi Khozi

"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.

apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 17 kabur

Lita menunggu sampai Roni benar-benar berangkat ke kantor. Dari balik tirai jendela kamar, ia memperhatikan langkah kakak iparnya itu yang semakin menjauh. Hatinya berdegup, perasaan campur aduk antara lega dan sesak. Setelah yakin Roni tak lagi ada di rumah, ia menarik napas panjang, meraih koper yang sudah ia siapkan sejak semalam, lalu menuruni tangga dengan langkah pelan.

Di ruang tamu, Meli sedang duduk. Begitu melihat adiknya datang dengan koper, senyum tipis muncul di wajahnya.

“Mbak… aku pergi dulu ke kontrakan ya,” ucap Lita lirih sambil menunduk, lalu meraih tangan kakaknya untuk berpamitan.

Meli menggenggam erat tangan Lita, enggan melepasnya. “Cepet banget sih, Dek? Kamu beneran mau langsung ke kontrakan? Nggak mau di sini dulu, lebih lama sama Mbak?” suara Meli bergetar, ada nada sayang yang dalam.

Lita tersenyum tipis, berusaha tegar. “Nanti aku sering-sering main ke sini kok, Mbak. Aku juga kan harus beresin kontrakan dulu… biar bisa nyaman ditinggalin.” Ia beralasan, menutupi pergolakan hatinya sendiri.

Meli menatap adiknya lama, lalu menarik napas. “Kalau nanti kamu libur kuliah, kamu harus ke rumah ini ya, Dek. Jangan biarin Mbak sendirian, biar Mbak nggak kesepian.”

“Iya, Mbak… nanti aku sering ke sini.” Suara Lita nyaris pecah, tapi ia tahan.

“Pak Arif, tolong antar Lita ke kontrakan. Biar aman.” Meli memanggil sopirnya.

“Iya, Buk,” jawab Pak Arif, segera menghampiri dan mengambil koper dari tangan Lita.

Lita berjalan di belakangnya, tapi sebelum benar-benar keluar rumah, Meli kembali bersuara. “Dek, kalau ada apa-apa… kabarin Mbak ya.”

Lita menoleh sebentar. Senyum getir terpaksa ia tunjukkan. “Iya, Mbak.”

Dalam hati, Lita sebenarnya hampir menangis. Ada perih yang menekan dadanya—perasaan bersalah sekaligus lega. Bersalah karena harus meninggalkan Meli yang begitu menyayanginya, tapi juga lega karena ia terbebas dari bayangan Roni, suami kakaknya sendiri. Ia tidak ingin rumah tangga Meli hancur gara-gara dirinya.

Mobil melaju meninggalkan rumah besar itu. Sepanjang jalan, Lita menatap keluar jendela, mencoba menenangkan hatinya. Saat tiba di kontrakan yang lumayan besar—hasil pilihan Meli juga agar dekat dengan kampus—Lita berdiri terpaku di depan pintu.

“Pak, tolong kopernya dibawa masuk ya,” pintanya pelan.

Pak Arif mengangguk dan segera melaksanakan. Lita hanya bisa berdiri, menatap kosong ke dalam kontrakan barunya. Di balik semua rasa sepi, ada secuil kelegaan—akhirnya ia bebas.

Setelah menaruh koper ke dalam, Pak Arif berpamitan pulang dengan sopan. “Saya balik dulu, Neng.”

Lita mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Pak. Makasih ya sudah nganterin.”

Begitu pintu menutup dan langkah Pak Arif menjauh, keheningan langsung menyergap kontrakan itu. Sunyi. Hanya suara detak jam dinding tua yang terdengar samar. Lita berdiri sebentar, menatap sekeliling. Ruang tamu berdebu, kain penutup sofa kusam, udara pengap menusuk hidung. Ia menghela napas panjang, lalu menggulung lengan bajunya.

Pelan-pelan ia mulai merapikan baju-bajunya, melipat, menaruh di lemari yang masih baru . Setelah itu ia mengambil kain pel, mengibas-ngibaskan debu, mengusap meja, kursi, dan lantai yang kotor.

Keringat menetes di pelipis, rambutnya mulai berantakan.

Hingga akhirnya, setelah berjam-jam, ia berdiri di tengah ruang tamu. Lantai sudah bersih, udara lebih segar, dan rumah mungil itu mulai terasa hidup. Lita mengusap peluh di dahinya, lalu tersenyum lelah.

“Akhirnya… selesai juga,” gumamnya lirih, sambil duduk disofa

Saking lelahnya, Lita tertidur pulas di sofa. Dering ponselnya yang nyaring memecah keheningan, membuat matanya yang masih berat perlahan terbuka. Dengan pandangan setengah kabur, ia meraih ponsel itu.

“Dek, gimana kontrakannya? Bagus nggak tempatnya?” suara lembut Mbak Meli terdengar di seberang.

Lita menguap kecil, lalu menjawab lirih, “Besar banget, Mbak… rasanya muat sepuluh orang. Padahal yang tinggal cuma aku sendiri.”

Meli terkekeh singkat. “Ya nggak apa-apa, Dek. Yang penting kamu betah dan nyaman di sana.”

Sejenak hening, sebelum Meli kembali berbicara dengan nada lebih serius. “Tadi Ibu sempat nelepon Mbak. Dia khawatir banget sama kamu. Tapi tenang, Mbak sudah jelasin semuanya. Ibu akhirnya agak lega.”

Lita terdiam, . “Untung Ibu nggak marah ya, Mbak… makasih. Kalau nggak ada Mbak, mungkin aku nggak tahu harus gimana.”

“Meli menghela napas panjang sambil menatap layar ponselnya yang baru saja mati.

‘Kamu di sana jangan macam-macam ya, jaga diri baik-baik,’ pesan Meli tadi pada adiknya.

‘He’eh mbak, iya,’ jawab Lita dengan suara lirih… tapi tiba-tiba, klik — telepon itu terputus.

Meli terdiam. Alisnya berkerut. ‘Loh? Kok langsung dimatiin… biasanya nggak gitu,’ gumamnya heran.

Roni yang baru saja melonggarkan dasinya menghentikan langkah. ‘Kamu habis nelpon siapa?’ tanyanya datar, tapi sorot matanya penuh selidik.

‘Sama Lita, mas… cuma mau pastiin dia baik-baik aja,’ jawab Meli sambil mencoba tersenyum, meski hatinya masih ada ganjalan.

‘Dia… kemana?’ Roni berusaha bertanya tenang, namun nada suaranya sedikit menekan.

‘Loh, dia nggak bilang sama mas? Aku kira dia izin ke kamu.’

Darah Roni mendidih seketika. Rahangnya mengeras. ‘Dia nggak izin sama aku.’

Meli buru-buru menjelaskan, ‘Dia… mau tinggal di kontrakan, mas. Aku tadi udah larang, tapi dia bilang pengen belajar mandiri.’

Mata Roni meredup, seperti bara api yang ditahan. ‘Kenapa kamu biarin? Lain kali, apapun itu… dia harus izin sama aku dulu.’

Meli mencoba menenangkan. ‘Ya… selama itu baik buat Lita, kenapa aku harus larang?’

Roni terdiam. Di dadanya, amarah berkecamuk. Berani-beraninya Lita kabur dariku… dia pikir bisa lepas begitu saja? kata hatinya penuh geram.

Meli yang ingin mendekat, hendak mencium pipi suaminya untuk meredakan ketegangan, tiba-tiba ditahan. Tangan Roni mencengkeram lengannya. Tatapannya dingin.

Meli tercekat. Ia sadar, Roni sedang murka. Bukan padanya—tapi pada Lita.

Di balik diamnya, Roni sudah merencanakan sesuatu.

Lita harus diberi pelajaran. Dia harus tahu… yang boleh menantangku, yang berhak melawan, hanya dia yang kuberi izin. Dan saat ini—hanya satu orang yang boleh menyentuhku… Lita.

"aku ke kantor dulu banyak urusan,nanti malem aku juga lembur" ucap roni lalu memakai dasinya kembali

"mau aku buatin bekal?" tanya meli menawarkan biasanya dia membawa bekal dari rumah

"gak usah disana nanti aku makan disana " ucap roni lalu mengambil tasnya dari kasur

setelah suaminya pergi dia megambil handphone yang tersembunyi dari lemarinya tidak ada yang tahu ponsel itu,dia hanya membuka saat dirumah tidak ada orang, beberapa panggilan tidak terjawab dari orang tersebut lalu dia menghubungi nomor itu tak lama panggilan itu terhubung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!