Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia pada berita yang tak seharusnya.
"Siapa itu yang menelpon, Handrian?" tanya Bu Norma, dengan suaranya yang terdengar kesal. Ia masih menatap pada Handrian, dengan tatapan yang dipenuhi oleh rasa curiga.
Namun rasa penasaran dihatinya juga semakin memuncak, apalagi ketika ia melihat wajah Handrian yang sedikit pucat, saat menatap layar ponsel yang ada ditangannya.
Mendengar hal itu, Handrian menunduk sejenak dengan jemarinya yang terlihat sedikit bergetar, saat menggenggam ponsel. Namun tanpa menjawab pertanyaan ibunya, ia justru berdiri dan berjalan menjauh.
Wajah pria itu terlihat gusar, nafasnya juga menjadi tidak beraturan. Setelah sedikit menjauh dari sang Ibu, Handrian pun menekan tombol hijau yang ada dilayar ponsel, kemudian ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Iya Adelina, ada apa?" tanya Handrian dengan suara yang rendah, dan berusaha untuk tetap tenang.
Namun jawaban dari seberang telepon membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Apalagi saat ia mendengar suara Adelina yang gugup sekaligus tergesa-gesa.
"Handrian… tolong kamu datang ke rumahku sekarang juga. Papa sama Mamaku ingin bertemu denganmu!" ucapnya dengan nada suara yang hampir bergetar.
Handrian menjadi tertegun sejenak. Lalu ia menunduk dan menatap kosong kearah lantai rumah sakit, kemudian ia pun menjawab dengan suara yang terdengar lirih.
"Maaf Adelina, aku tidak mungkin datang ke rumahmu sekarang. Karena saat ini aku sedang berada di rumah sakit… istriku mendapat musibah, Del. Rosalina berdarah parah. Jadi aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan begini. Aku..."
Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara Adelina kembali terdengar dari seberang. Dan kali ini lebih keras dan juga penuh penekanan. Seolah-olah ia tidak ingin jika Handrian menolak keinginannya.
"Kalau kamu tidak datang sekarang, maka kamu akan dipecat oleh Papa! Kamu juga tidak akan boleh lagi bekerja di perusahaan Papa. Karena… karena saat ini aku hamil, Handrian. Dan kedua orang tuaku sudah tahu tentang hal itu."
Bola mata Handrian langsung membelalak. Dan tubuhnya tiba-tiba menjadi kaku, seolah darah yang ada didalam tubuhnya itu berhenti mengalir disaat itu juga.
Ponsel yang ada didalam genggamannya juga hampir terlepas, akibat keterkejutan yang ia rasakan.
"A… apa?" suara yang keluar dari mulutnya pun terdengar bergetar.
"H-hamil? Bagaimana bisa, Adelina? Bukankah selama ini kamu selalu menggunakan alat kontrasepsi setiap kali kita… berhubungan?"
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Handrian, dan tanpa sepengetahuannya, Bu Norma malah mendengar pembicaraannya. Perempuan paruh baya tersebut terlihat berdiri dibalik dinding rumah sakit.
Dan saat itu juga, ia reflek menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Ya Tuhan… A-astaga… S-siapa… siapa yang telah dihamili oleh Handrian…?"
Sedangkan Handrian yang tidak menyadari keberadaan Ibunya itu, malah kembali berbicara pada Adelina.
"Adel. Kenapa kamu bisa seceroboh ini, sih? Kenapa kamu sampai hamil? bukankah dulu kamu bilang tidak mau jika hubungan kita dilanjutkan kepernikahan, karena kamu tidak mau menikah dan juga tidak ingin memiliki seorang anak? Tapi sekarang, kenapa kejadiannya malah jadi seperti ini...?"
Handrian menyugar rambutnya dengan tangan. Dan ia juga terlihat begitu frustasi.
Namun ternyata Adelina tidak memperdulikan ucapannya, karena ia terus memaksa pria itu untuk mendatangi rumahnya, dan bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Aku tidak perduli ya, Handrian! Pokoknya sekarang juga kamu harus datang untuk menemui kedua orang tuaku, kalau tidak, maka mulai besok kamu harus bersiap untuk mengangkat kaki dari perusahaan."
Mendengar ancaman dari Adelina, fikiran Handrian menjadi semakin kacau. Ia pun terlihat mengusap wajahnya beberapa kali, lalu tangannya bergerak untuk menjambak kecil rambutnya, yang memang sudah terlihat berantakan.
Saat ia masih berdiri kaku dengan ponsel yang menempel di telinganya, tiba-tiba saja sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya, membuat Handrian terlonjak kaget, dan ia langsung menoleh kebelakang.
Handrian merasa sangat terkejut saat melihat Bu Norma kini berdiri tidak jauh darinya.
"I… Ibu?" serunya. Ia bahkan hampir saja menjatuhkan ponselnya dari genggaman tangannya, dan menatap pada Ibu kandungnya itu lekat-lekat.
"Sejak kapan Ibu ada di sini?" tanya Handrian kemudian, membuat Bu Norma tersenyum kecil.
Dan dibalik senyumannya itu, wajah Bu Norma terlihat begitu berbeda dari sebelumnya.
Raut wajah perempuan paruh baya itu terlihat menyimpan sebuah kebahagian, yang berpadu dengan rasa puas yang sulit untuk disembunyikan.
Ditengah-tengah hal itu, ia pun menjawab pertanyaan Handrian.
"Sudah sejak tadi, Nak. Dari awal kamu mengangkat telepon itu, Ibu sudah berdiri di sini. Dan Ibu juga sudah mendengar cukup banyak tentang pembicaraanmu tadi." ucap Bu Norma.
Handrian semakin terperangah, tubuhnya menjadi kaku mendengar jawaban yang keluar dari mulut Ibunya.
Bu… I-itu tidak seperti yang Ibu fikirkan, aku bisa menjelaskan…"
Namun sebelum Handrian sempat melanjutkan perkataan, Bu Norma sudah lebih dulu meraih ponsel yang ada ditangannya.
Bahkan tanpa perduli jika Handrian akan memprotes kelakuannya, dengan gerakan santai ia pun menempelkan benda pipih tersebut ditelinganya.
"Halo, Nak?" ujar Bu Norma dengan suara yang terdengar manis, dan sangat berbeda jauh dengan nada ketus yang biasanya terlontar dari mulutnya.
"Ibu tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Handrian tadi. Jadi, Ibu mau tanya… apa benar kamu sedang hamil anak Handrian?"
Sejenak terdengar keheningan dari seberang sana. Dan saat itu hanya ada suara nafas Adelina yang berderu ditelinganya. Tapi beberapa saat kemudian, wanita itu menjawab dengan nada ragu sekaligus tertekan.
"I-iya, Bu… saya memang hamil. Hamil anaknya Handrian."
Mata Bu Norma langsung berbinar mendengar hal tersebut. Bahkan jemarinya terlihat meremas ponsel milik Handrian dengan kuat, seakan-akan ia telah menemukan secercah harapan baru. Dan dengan reflek, bibirnya pun melengkung membentuk senyuman yang begitu manis.
"Syukurlah… akhirnya." ucapnya dengan suara lirih, tapi penuh dengan rasa puas.
"Akhirnya Ibu bisa melihat masa depan untuk Handrian. Jadi kamu betul-betul sedang mengandung cucu Ibu?"
Dari seberang, Adelina hanya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang pendek. Karena ia masih begitu canggung, pada perempuan paruh baya yang belum pernah dilihatnya itu.
"Iya, Bu…"
Bu Norma sampai menutup mulutnya sesaat, karena menahan gelombang rasa bahagia yang mulai meluap dihatinya. Ia bahkan tidak menyadari kalau di sampingnya, Handrian masih berdiri dengan mulut yang ternganga, karena tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh orang tuanya itu.
Pria tersebut tidak menyangka jika Ibunya akan menyambut berita kehamilan Adelina, dengan wajah yang sangat berseri-seri. Padahal diantara mereka belum pernah saling mengenal satu sama lain.
"Ibu… jangan bilang kalau…" suara Handrian terasa tercekat dikerongkongannya.
Namun Bu Norma hanya melirik sekilas kearah Handrian, lalu ia pun menepuk-nepuk bahu putranya itu sambil tersenyum lebar.
Bersambung...