Queensa tak menyukai pernikahannya dengan Anjasmara. Meskipun pria itu dipilih sendiri oleh sang ayah.
Dijodohkan dengan pria yang dibencinya dengan sifat dingin, pendiam dan tegas bukanlah keinginannya. Sayang ia tak diberi pilihan.
Menikah dengan Anjasmara adalah permintaan terakhir sang ayah sebelum tutup usia.
Anjasmara yang protektif, perhatian, diam, dan selalu berusaha melindunginya tak membuat hati Queensa terbuka untuk suaminya.
Queensa terus mencari cara agar Anjasmara mau menceraikannya. Hingga suatu hari ia mengetahui satu rahasia tentang masa lalu mereka yang Anjasmara simpan rapat selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Sejak hari itu Anjasmara tak lagi bersikap dingin pada Queensa.
Sore hari Anjasmara ikut membereskan baju lama istrinya yang mulai sempit karena tubuhnya lebih berisi faktor kehamilan. Anjasmara menemukan sebuah nomor kartu yang sudah tidak ada simnya dari kantong celana milik sang istri. bulan dan tahunnya belum mati, Tetapi nomornya bukan yang dipakai perempuan itu saat ini.
Tangan pria itu bergetar.
Ia duduk menunggu istrinya keluar dari kamar mandi. Dadanya panas, tapi saat ini ia ingin bertanya secara terbuka. Anjasmara menunggu Queensa dengan pikiran berkecamuk.
Saat Queensa keluar dari kamar mandi, Anjasmara menunjukkan kartu itu padanya. Tanpa kata, hanya isyarat.
Queensa menatap wadah kartu itu lama, lalu menarik napas panjang.
"Waktu itu aku nggak kuat. Aku butuh teman bicara. Aku beli nomor itu untuk menghubungi Affin. Aku hanya ingin sekedar bercerita."
"Kamu tidak merasa saya bisa dan layak saat itu?"
Queensa menunduk. "Aku cuma belum mengenalmu pada saat itu."
Sunyi, tapi bukan sunyi yang memutuskan. Tetapi sunyi yang mendengarkan.
Lalu pelan Anjasmara berkata.
"Saya nggak akan pernah bisa lupa. Tapi jika kamu mau jujur mulai hari ini, saya akan coba membangun kepercayaan itu kembali."
Queensa mengangguk. Tak menangis. Tapi matanya basah.
******
Hari minggu pagi, Anjasmara membawa Queensa mengunjungi makam Agung. Sudah lama mereka tak berkunjung. Meski tak saling mengungkapkan, tapi keduanya mulai belajar untuk melakukan banyak hal bersama. Pagi ini pun mereka berjalan berdampingan, seperti dua orang yang mencoba belajar untuk jadi pasangan.
Anjasmara mengulurkan keranjang berisi bunga pada Queensa, perempuan itu mulai menabur di atas gundukan tanah yang sedikit basah karena bekas hujan semalam.
Kegiatan sederhana yang mulai terjalin membuat Queensa tersenyum kecil, bukan karena Anjasmara yang menggodanya, hanya memikirkan mereka sedang dalam perjalanan ke arah yang lebih baik.
Sepulang dari pemakaman, mereka duduk di balkon belakang rumah. Langit cerah, dan angin membawa aroma daun pinus yang dibakar dari kejauhan. Anjasmara duduk di sebelah istrinya. Membaca catatan tebal yang tak selesai-selesai sejak kemarin. Queensa hanya diam menikmati sore yang pelan.
Lalu tiba-tiba Anjasmara bicara.
"Queen... "
"Hmph?"
"Andai kamu tidak tahu tentang donor ginjal itu, apakah setelah melahirkan kamu akan pergi?"
Queensa menoleh, pelan. Melihat wajah suaminya yang tulus bertanya, bukan menguji.
"Aku nggak tau," jawabannya jujur. "Tapi jika aku pergi, aku tak akan melepaskan kodratku sebagai seorang ibu. Aku bisa tidak menyukaimu, Mas. Tetapi aku tidak akan pernah membenci darah daging ku sendiri."
Anjasmara mengangguk. Matanya menatap ke depan, tapi tangannya perlahan menggenggam tangan sang istri.
Mungkin beginilah cara yang benar dalam mencintai. Tidak penuh janji manis, tapi keberanian untuk berkata, "Saya ingin tetap ada, kalau kamu juga ingin bertahan."
Malamnya, mereka tidur di kamar utama, tanpa sekat, tidak saling membelakangi, tetapi masih ada jarak tak kasat mata. Meskipun begitu keduanya tidur nyenyak sampai pagi.
Pagi itu, setelah sarapan bersama. Anjasmara tidak berkata apa-apa, hanya mencium kening Queensa sebelum berangkat kerja.
Sorenya, Anjasmara pulang ke rumah. Queensa menyambutnya di depan pintu. Anjasmara tidak berkata apa-apa, tapi saat Queensa tiba-tiba memeluknya, dia tahu, ada sesuatu yang baru saja terjadi.
"Tadi Affin kesini."
Anjasmara menegang. Bukan karena takut, tapi terkejut dengan keterbukaan istrinya.
"Mas jangan salah paham."
Anjasmara tak menyela.
Hidup mereka kembali pada ritmenya, hanya saja kini lebih hati-hati, lebih banyak diam yang penuh makna. Queensa mulai mau menceritakan kesehariannya, siapa yang datang dan apa yang dilakukan, ia juga ingin belajar mendengarkan tanpa merasa harus membela diri.
"Kalau aku bilang dia datang cuma mau melihat keadaanku, Mas percaya tidak?" tanya perempuan itu terkesan hati-hati.
Anjasmara menarik napas pelan, lalu membalas ucapan istrinya.
"Percaya. Queensa jangan terlalu merasa cemas berlebihan, saya tidak melarang siapapun untuk bertamu ke rumah kita, lagi pula kamu tidak sendirian di rumah."
"Aku hanya takut kamu salah paham."
"Saya tak pernah menginginkan rumah tangga yang sempurna. Saya hanya ingin seseorang yang tetap duduk di sini, bahkan saat rumah ini terasa sempit, kusam, dan gelap. Karena rumah tangga bukan soal dinding dan genteng. Tapi soal siapa yang tak menyerah saat badai datang menerjang."
Queensa diam, tapi tidak lama kemudian perempuan itu menghambur kepelukan suaminya. Mendekap erat tubuh yang dulu begitu di benci setengah mati.
"Aku disini, Mas. Dan aku nggak akan kemana-mana." Lirihnya yang membuat waktu seolah-olah berhenti.
Mata mereka saling terpejam. Hubungan yang pernah hampir berakhir, kini seolah saling memiliki daya tarik satu sama lain.
"Aku janji nggak akan kemana-mana, mulai saat ini. Tolong berita aku kesehatan untuk berubah."
makanya gak usah sooook...
untung gak dicere
semoga Anjas menemukan perempuan yang tepat dalam hidupnya...