Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Masa kecil Aksa.
Aksa yang baru saja lulus SD, ikut dengan omnya untuk menghabiskan liburannya. Di desa omnya, Aksa yang bosan di rumah saja meminjam sepeda sepupunya untuk berkeliling.
Beberapa kali berkeliling, ia selalu melihat seorang gadis kecil dengan busana tertutup memungut buah asam yang jatuh ke tanah di pinggir jalan.
Jika anak-anak lain sedang ramai bermain di lapangan, gadis kecil itu seperti memisahkan diri dan asyik dengan dunianya sendiri. Sampai 3 hari berturut-turut, hal itu mengundang rasa penasaran Aksa yang akhirnya mendekati gadis kecil itu.
“Kenapa memungutnya?” tanyanya.
“Kata Umi, sayang kalau tidak dipungut.” Jawab gadis kecil itu dengan pengucapan yang belum begitu jelas.
“Kamu berikan kepada Umimu?” gadis kecil itu mengangguk.
“Apa yang akan Umimu lakukan dengan itu?”
“Ini namanya asam jawa. Bisa digunakan untuk memasak, membuat wedang, atau membuat gula-gula asam. Apa Kakak mau mencobanya?”
“Apa boleh?” gadis kecil itu mengangguk dan mengeluarkan bungkusan plastik dari dalam sakunya dan memberikannya kepada Aksa.
“Asam!” kata Aksa yang memakan pemberian gadis kecil itu.
Gadis kecil itu tertawa, membuat Aksa terpana. Penampilan gadis kecil di hadapannya yang tertutup mengundang minatnya karena selama ini ia tidak pernah menemui anak-anak seumuran gadis kecil atau dirinya berpakaian tertutup.
Senyum dan tawa gadis kecil itu juga membuatnya nyaman. Tidak seperti teman-teman perempuannya.
“Ini buatan Umi dan favoritku. Kalau kakak mau lagi, ini untuk kakak semua.” Gadis kecil itu memberikan 2 bungkus lagi kepada Aksa.
Meskipun Aksa tidak suka dengan rasa asamnya, ia tetap menerima pemberian gadis kecil itu dan mengucapkan terima kasih.
Gadis kecil itu merasa pungutannya sudah banyak, sehingga ia berpamitan pulang. Aksa sampai tidak sempat menanyakan nama gadis kecil itu.
Hari berikutnya, Aksa kembali ke pohon asam untuk menemui gadis kecil itu. Tetapi gadis kecil itu tidak ada muncul hari itu. Hari berikutnya juga sama. Di hari ketiga, barulah Aksa melihat gadis kecil itu lagi.
“Kenapa kemarin tidak memungut asam?” tanya Aksa yang membantu memungut buah asam jawa.
“Kemarin tidak boleh kemana-mana.”
“Apa kamu dilarang umimu?”
“Nenek yang melarang.”
“Apa sekarang sudah boleh?” gadis kecil itu menggeleng.
“Nenek masih melarang, tapi kata umi boleh.”
“Penurut sekali!” batin Aksa.
“Siapa namamu?”
“Tidak boleh mengatakan nama kepada orang asing.”
“Aku bukan orang asing. Bukankah kita sudah bertemu 3 hari yang lalu?”
“Aku anak dari Umi Imamah.” Gadis kecil itu tidak mau mengatakan namanya dan Aksa tidak memaksa.
“Apa Kakak menginginkan gula-gula asam lagi?”
“Apa kamu punya?”
“Sisa satu.” Kata gadis kecil itu dengan enggan.
Meskipun enggan, gadis kecil itu tetap mengeluarkan gula-gula asam dari sakunya dan menyerahkannya kepada Aksa. Aksa ingin tertawa melihat ekspresi gadis kecil itu, tetapi ia justru berakhir mengusap kepala gadis kecil itu.
“Kakak, kita bukan mukhrim!” gadis kecil itu memundurkan tubuhnya.
“Iya, iya! Kenapa rasa gula-gula ini masih asam?”
“Kata Umi, gula-gula ini memang asam karena namanya asam jawa.” Jawab gadis kecil itu dengan polosnya.
Aksa menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia yang sudah mau masuk SMP tertarik dengan gadis kecil di hadapannya.
Sejak saat itu, Aksa selalu menunggu gadis kecil itu di bawah pohon asam jawa dan mengikutinya diam-diam sampai gadis kecil itu masuk ke dalam rumah.
Sampai liburannya hampir habis, Aksa selalu menemani gadis kecil itu. Jika gadis kecil itu tidak datang, ia akan diam-diam memperhatikan rumahnya dari kejauhan untuk memastikan gadis kecilnya baik-baik saja.
“Besok aku akan kembali ke kotaku. Kita tidak akan bertemu lagi.”
“Kakak mau kemana?”
“Ke tempat asalku. Aku jelaskan kamu juga tidak akan mengerti. Yang pasti aku tidak bisa lagi menemanimu memungut asam.”
“Kakak bawa ini!” gadis kecil itu menyerahkan gula-gula asam yang memang sudah ia siapkan untuk Aksa.
“Untukku?” gadis kecil itu mengangguk.
“Aku bilang ke Umi, kalau aku punya teman yang suka dengan gula-gula asam.” Aksa tertawa tetapi tetap menerima pemberian gadis kecil itu.
Pertemuan mereka terjadi begitu saja dan perpisahan juga sama. Aksa berjanji dalam hatinya untuk menemui gadis kecil itu lagi saat liburan nanti. Sayangnya, ia yang masuk di SMP dan SMA dengan asrama tidak bisa menepati janjinya.
“Janji itu bisa kamu tebus nanti setelah kamu bisa berdiri sendiri. Tidak ada kata terlambat jika memang kamu memperjuangkannya.” Kata Ayah Aksa yang tidak ingin anaknya terpaku dengan gadis kecil kenalannya.
“Tapi aku sudah berjanji, Yah!”
“Buktikan kamu bisa berdiri sendiri, maka nanti Ayah akan merestuimu kalau memang kamu serius!”
“Baiklah!”
Aksa ternyata tidak main-main dengan keinginannya. Demi bisa bertemu dengan gadis kecil itu dan bisa berdiri dengan bangga, setelah lulus SMA Aksa langsung berangkat ke luar negeri untuk menempuh Pendidikan S1 dan S2.
Ia tahu gadis kecil yang ditemuinya akan melupakannya. Maka dari itu, begitu Aksa bisa berdirisendiri seperti yang ayahnya katakana, ia segera mengutarakan keinginannya untuk melamar gadis kecilnya.
Masa sekarang.
“Aku tahu kamu lupa. Tapi aku benar-benar mengenalmu saat kamu masih kecil.” Kata Aksa setelah selesai menceritakan pertemuannya dengan Arumi saat masih kecil.
“Saya memang suka dengan gula-gula asam dan suka memungut asam di pinggir jalan depan gang rumah kami. Tetapi aku tidak ingat mengenal Kakak.” Arumi yang mencoba mengingat kenangan masa kecilnya, tidak menemukan kenangan tentang pemuda di hadapannya.
Ingatan yang datang justru kebersamaannya dengan Umi Im yang saat itu masih sehat dan sering membuatkannya gula-gula asam. Masa itu adalah masa terindah dalam ingatan Arumi.
“Tidak apa kalau kamu tidak ingat. Selain ingin bertemu denganmu, aku ingin melamarmu. Apakah kamu bersedia?”
“Kita tidak saling kenal, Kak. Kenapa Kakak tiba-tiba melamarku?”
“Dalam ta’aruf, bukankah ditujukan untuk saling mengenal dengan tujuan menikah? Jadi, kita bisa mengenal secara halal sebelum menikah.” Arumi hanya diam.
Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena ia belum ada pandangan tentang pernikahan. Aksa yang mengerti pemikiran Arumi, tersenyum dan mengatakan jika dirinya tidak memaksa. Ia akan memberikan waktu untuk berpikir.
“Aku akan menunggumu memberikan jawaban. Entah kamu setuju atau menolak, aku akan mendengarkannya nanti. Bolehkan kita bertukar nomor?”
Belum sempat Arumi menjawab, ponselnya berdering memperlihatkan nama Om Yanuar. Arumi mengangkat panggilan tersebut dan berbincang dengan Om Yanuar.
Inti dari percakapan mereka adalah Om Yanuar yang mendukung apapun keputusan Arumi. Mau menolak atau menerima lamaran Aksa. Om Yanuar tahu mungkin Arumi akan merasa terbebani sehingga beliau mengatakan agar Arumi mengikuti hatinya.
Setelah selesai dengan panggilan Om Yanuar, Arumi menunduk. Menurut Om Yanuar, Aksa yang saat ini ada di hadapannya bisa dipercaya dan diandalkan.
Arumi bisa menilainya. Kepribadian Aksa sopan dan menghormatinya. Selama bercerita, Aksa tidak memandangnya, melainkan menundukkan pandangannya. Saat Arumi menerima panggilan, Aksa juga mengalihkan pandangannya.
“Ta’aruf dilakukan melalui perantara dan interaksi dibatasi. Kita berdua seperti ini tidak diperbolehkan.” Kata Arumi.
“Maafkan aku yang tidak memikirkannya. Untuk saat ini, tidak ada perantara. Di kedatanganku nanti, aku akan membawa perantara. Satu minggu lagi aku akan menemuimu lagi.” Arumi mengangguk.
Setelah Arumi memberikan nomor ponselnya, Aksa berpamitan. Dengan hati yang berbunga-bunga Aksa meninggalkan Bumi Angling Dharma dan kembali ke Kota Minyak.
Sementara Arumi kembali mengunci diri di dalam rumah. Seseorang yang memperhatikan mereka diam-diam mulai berasumsi jika laki-laki yang mendatangi Arumi adalah pacar Arumi karena dari sudut pandangnya, interaksi Arumi dengan laki-laki yang datang sangat dekat.
“Kelihatannya perempuan baik-baik. Tidak tahunya, sama saja dengan perempuan seumurannya yang suka berduaan dengan lawan jenis!”
.
.
.
.
.
Up satu bab dulu ya.. Selamat membaca..