NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Membuatnya Pingsan

Udara dingin menelusup dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka, menampar kulit Eve yang tak terlindungi. Bulu-bulu halus di lengannya berdiri, menggigil.

Sudah satu jam lebih dia berdiri di posisi yang sama—tangan terikat, kaki berjinjit, tubuh menempel pada dinding dingin. Rasa pegal berubah jadi nyeri, lalu perlahan menjelma menjadi mati rasa.

Eve menggigit bibir. Dia mencoba untuk tidak meratap, tapi pikirannya berontak.

Apa dia sungguh akan membiarkanku seperti ini sampai malam?

Di seberang ruangan, Alex duduk santai di meja bar. Satu tangan memegang gelas anggur, sementara tatapannya dingin mengawasi tubuh Eve seakan dia hanya lukisan di galeri yang tidak lebih dari objek pajangan.

Eve mulai mengerti maksud ucapan pria itu tempo hari— "Jika kau menjadi milikku, kau tidak akan bisa duduk selama seminggu."

Saat itu, dia mengira Alex hanya menggertak. Tapi sekarang ….

Jadi ini yang dia maksud? Apakah karena dia imp0ten, maka dia hanya bisa mengendalikan dan mempermainkan tubuh wanita tanpa benar-benar menyentuh?

Pikiran itu menusuk harga dirinya. Eve ingin marah, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk mengekspresikan apa pun.

Lalu untuk apa dia menyuruhku berdiri tel4njang seperti ini? Kalau dia bahkan tak tergoda!

Dia ingin mengeluh—tentang dingin yang menusuk tulang, kram yang menjalari betis, dan rasa lapar yang mulai menggerogoti lambungnya. Tapi dia takut. Alex bisa menjadi lebih kejam jika dia mulai merengek.

Perutnya perih. Sejak pagi, dia hanya menyantap beberapa potong roti. Tidak ada makan siang. Tidak juga makan malam. Yang ada hanya hukuman.

Dan di tengah penderitaannya, Alex duduk santai di sofa, menikmati sebotol anggur sambil sesekali menyentuh layar iPad. Seakan penderitaan Eve tak lebih penting dari sekadar hiburan ringan.

Tidak! Aku tidak akan memohon padanya.

Biar saja. Biar dia biarkan aku mati kelaparan di rumah ini. Biar seluruh dunia tahu, Alexander Ace membiarkan istrinya mati dalam penyiksaan di rumahnya.

Namun, tubuhnya memiliki batas. Rasa kering di kerongkongan sudah tak tertahankan. Bahkan untuk menelan ludah pun terasa mustahil.

Dengan suara parau dan nyaris tak terdengar, Eve akhirnya membuka mulut.

“Alex ... bisakah aku… minta minum? Aku tak akan protes. Hanya ... air.”

Alex menghentikan gerak jarinya di layar, lalu mendongak.

Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya bangkit dari sofa, berjalan santai menuju meja bar, lalu menuangkan segelas jus jeruk ke dalam gelas berkaki.

Alex yang menuntun gelas itu ke bibir Eve. Gadis itu segera meneguknya—rakus, hampir putus asa. Tapi belum sempat ia menghabiskannya, Alex menarik gelas itu, menyisakan setengahnya.

Eve menatapnya tak percaya. Sedikit cairan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan perutnya dari kehancuran. Tapi pria itu tetap menatap tanpa ekspresi, seolah itu semua tak berarti.

“Alex… a-apa aku bisa—”

Kalimat itu tak pernah selesai. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya kabur. Bayangan Alex terdistorsi, berputar. Dunia menggelap dalam sekejap.

Tubuh Eve terkulai. Pingsan.

Alex mendekat, membuka tali yang menggantung tubuh Eve tanpa berkata sepatah kata pun. Tubuh wanita itu lunglai, tanpa daya. Dengan hati-hati, dia mengangkatnya, lalu meletakkannya di atas sofa yang ada di sudut ruangan. Helaan napasnya terdengar berat, namun ekspresinya tetap dingin.

Dari dalam laci, Alex mengambil selimut dan menyelimutkan tubuh Eve. Lalu ia membawanya ke kamar. Di sana, dia mengganti pakaian Eve dengan baju tidur tipis berwarna abu-abu lembut. Tangannya bekerja tenang, terlatih, seakan ini bukan pertama kalinya dia merawat seseorang dalam keadaan seperti ini.

Setelah memastikan tubuh Eve tertutup dengan rapi, Alex memandang wajah wanita itu sejenak—mata terpejam, napas naik-turun pelan. Lalu ia pergi meninggalkannya.

Di dapur, Rayyan sudah menunggunya sambil memeriksa berkas dan menuang kopi hitam ke dalam cangkir.

"Bagaimana?" tanya tanpa menoleh.

“Laura sudah di rumah sakit jiwa, sesuai perintah Anda,” jawabnya. “Dari laporan perawat, dia sempat mengamuk. Sepertinya mengalami tekanan hebat setelah terakhir berurusan dengan pemilik barunya.”

Alex tidak menjawab. Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, menuang ke dalam gelas dan duduk di seberang Rayyan.

"Aku tidak ingin dia muncul lagi. Terutama di depan Eve," katanya, tenang tapi tegas. "Dia belum boleh tahu apa pun. Belum sekarang."

Rayyan mengangguk pelan. Ia membuka map dan menyodorkan laporan tipis ke arah Alex.

“Nic mengabari saya ... katanya, Anda sempat menemui Paula minggu lalu. Kalau Anda mau saran saya, hentikan pertemuan itu. Atau paling tidak, batasi. Laporan Nic sudah cukup jelas. Dan mengenai Nyonya ... apa saya perlu memindahkannya?”

Alex menggeleng. “Sudah aku pindahkan sendiri.”

Lalu, setelah jeda singkat, Alex menatap pria itu. “Obat apa yang kau berikan padaku tadi?”

“GHB. Mungkin dia akan bangun besok.”

Alex hanya mengangguk, pelan. Sengaja dia meminta Rayyan memberinya obat penenang.

Bukan karena dia tidak ingin menyiksanya lebih lama. Justru sebaliknya—Alex tahu batas. Dia tahu, jika dia melihat Eve dalam keadaan seperti itu lebih lama lagi, bukan wanita itu yang akan menyerah … tapi dia sendiri. Dan itu, bagi Alex, jauh lebih berbahaya.

Keesokan harinya Eve terbangun dengan kepala berat dan tubuh kaku. Setiap sendi seperti memberontak. Terutama kakinya—nyeri dan kelelahan menyiksa, seperti efek dari berdiri di atas duri sepanjang malam.

Ia duduk perlahan, mencoba mengatur napas, menatap sekeliling. Dia berada di kamar. Tubuhnya sudah bersih, tertutup pakaian tidur. Selimut membalut tubuhnya dengan hangat.

Jadi aku pingsan ….

Ingatannya hanya sampai pada momen dia meminta segelas minum. Setelah itu … gelap.

“Apa aku pingsan karena kelaparan?” gumamnya pelan, sinis. “Kalau iya, lebih baik begitu. Dari pada berdiri setengah telanjang semalaman.”

Eve mendengus, lalu membanting tubuhnya ke tempat tidur lagi, penuh kekesalan.

Alex.

Lelaki itu sungguh tidak punya hati.

Pria seperti apa yang menyimpan belasan foto wanita di dalam laci ruang kerjanya?pikir Eve. Lalu mengatakan bahwa aku tak boleh mencampuri urusannya.

Satu nama muncul di kepalanya.

Rayyan.

Mungkin ... dia bisa mendapat jawaban dari pria itu. Sedikit saja. Kalau perlu, dengan sedikit akting manja dan rayuan halus.

Eve tersenyum kecil, licik.

Dia mengirim pesan singkat pada Shania, mengatakan bahwa  akan datang lebih siang ke toko. Pagi ini, ada hal yang lebih mendesak. Dia memutuskan untuk pergi ke perusahaan terlebih dahulu—tepatnya, untuk menemui Rayyan.

Namun, begitu menjejakkan kaki di lobi kantor, hawa aneh langsung menyambutnya. Beberapa karyawan yang sedang berbincang mendadak diam, dan kepala mereka serempak menoleh ke arahnya. Tatapan mereka tajam. Tidak hanya dingin—tapi juga menjijikkan. Seolah Eve adalah sesuatu yang kotor, yang tidak pantas berada di sana.

Dia mencoba menepis perasaan itu. Tapi langkah demi langkah menuju koridor hanya membuat bisik-bisik di sekelilingnya semakin keras. Mereka jelas sedang membicarakannya.

Ada yang tidak beres.

“Eve!” Manda melangkah cepat menghampirinya, menarik tangannya. Wajahnya tegang.

“Apa yang terjadi?” tanya Eve, bingung. “Kenapa semua orang menatapku seperti itu?”

“Kau harus ikut aku. Sekarang.”

Tanpa banyak tanya, Eve mengikuti Manda menuju toilet karyawan yang lebih sepi. Begitu mereka masuk, Manda langsung mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sesuatu.

“Eve, apa Direktur Ace mengancammu dengan ini?”

Eve menyipitkan mata. Beberapa detik kemudian, jantungnya seperti dir3mas. Foto-foto dirinya dan Alex—saat tidur bersama waktu itu—menyebar di internet. Beberapa dari foto itu bahkan seperti mereka begitu dekat secara nyata.

“Dari mana kau dapatkan ini?”

“Itu sudah beredar di berbagai media,” kata Manda pelan. “Dan ... mereka bilang kau menjual diri ke Direktur agar bisa menikahinya.”

Wajah Eve memucat. Napasnya berat.

Sial!  Alex berjanji. Bahkan Rayyan pun bersumpah soal ini.

Dia menyerahkan ponsel kembali ke Manda dengan kasar. “Aku harus bicara dengan Rayyan sekarang.”

“Dia ada di divisi humas. Rapat darurat.”

Eve tidak menunggu lagi. Dia langsung menuju ruangan yang disebut Manda. Beberapa staf mencoba menghalanginya, tapi dia tetap melangkah dengan kepala tegak.

Tok. Tok.

“Masuk,” suara dari dalam menjawab.

Begitu melihat siapa yang datang, Rayyan langsung berdiri. “Nyonya. Ada—”

“Aku butuh penjelasan. Sekarang.” Wajahnya menegang. Tanpa memberi waktu Rayyan bicara, dia menarik tangan pria itu dan menyeretnya menuju ruang kerja pribadi.

Rayyan mengikuti tanpa protes, meskipun dalam hati ia berdesah.

‘Jika Tuan Muda tahu aku masuk ke sini bersamanya, tanganku mungkin akan dipotong.’

Begitu sampai di dalam, Eve menutup pintu dengan suara keras. Emosinya meledak.

“Rayyan, kau sudah janji padaku! Bukankah kau bilang semua foto itu aman?!”

“Saya tidak menyebarkannya, Nyonya. Saya tidak sebodoh itu.”

“Lalu siapa yang melakukannya?! Kau pikir aku akan diam ketika namaku hancur begitu saja di depan umum?!” Eve menarik napas, memaki lagi, “Kau tahu, itu bukan hanya tersebar di lingkungan perusahaan, tapi juga hampir di semua media sosial. Bagaimana aku menghadapi semua orang nanti?”

“Kami sedang mengurusnya.” Rayyan berusaha tenang. “Tim humas bekerja keras men-take down semua konten itu.”

“Dan bagaimana dengan reputasiku? Mereka tidak akan mungkin mencela Alex, tapi aku akan menjadi santapan!”

Rayyan mendes4h. “Tuan Muda akan tiba sebentar lagi. Kami sedang menyiapkan konferensi pers. Anda hanya perlu mengikuti arahan saya.”

Saat dia berbalik, Eve mencekal lengannya.

“Tunggu. Aku masih punya pertanyaan.”

Rayyan berhenti. Menatapnya, menunggu.

“Siapa Laura Owen? Dan apa hubungannya dengan Alex?” Eve menatapnya tajam. “Dan semua foto perempuan yang dia simpan di ruang kerjanya ... kau pasti tahu sesuatu.”

Rayyan tampak ragu. Ia menarik napas, lalu menunduk.

“Itu bukan bagian saya untuk menjelaskan.”

“Lalu siapa?! Aku hidup dengan pria yang tak kukenal. Kau tahu rasanya?!” Suaranya mulai bergetar. “Dia menyimpan rahasia terlalu banyak, dan kalian semua menutupinya.”

Rayyan terdiam sejenak. Lalu perlahan menjawab.

“Laura Owen ... adalah seseorang dari masa lalu Tuan Muda. Dia mengalami gangguan mental berat. Obsesif. Kami sudah mengirimnya ke fasilitas psikiatri kemarin.”

“Obsesi?” bisik Eve. “Obsesinya seperti hipnotis ... dia bahkan berbicara seperti terprogram. Apa Alex yang melakukannya?”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!