NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEHILANGAN

Tumbuhlah menjadi gadis yang kuat dan hebat. Dunia ini tak selamanya tentang bahagia. Kamu paham kan maksud Ayah?

Pesan itu kini terasa seperti pesan terakhir yang Ayah sempat tinggalkan untuknya—sebuah warisan dari hati yang penuh kasih sayang dan kekuatan. Luna menutup mata sejenak, membiarkan air mata menetes deras. Setiap kata yang Ayah ucapkan kembali mengalir dalam pikirannya, menekankan pentingnya keteguhan dan keberanian di tengah kerasnya dunia.

Satu per satu, orang-orang mulai meninggalkan makam. Suara langkah di tanah yang sedikit lembap terdengar samar, bercampur desisan angin yang menembus pepohonan sekitar.

“Kamu yang sabar ya, Lun,” kata Bu Sari pelan, suaranya serak namun lembut. Kata-kata itu membuat dada Luna justru semakin sesak. Kata “sabar” itu terakhir ia dengar dari Bu Sari saat ibunya meninggal, dan kini, hari ini, kata yang sama kembali terdengar, menekannya dengan perasaan campur aduk antara kehilangan dan penghiburan.

Bu Sari merangkul Luna dengan hangat. “Ibu ikut merasakan semua ini, Nak,” Bisiknya, seakan ingin menyalurkan kekuatan yang tersisa kepada gadis itu.

Lalu, perlahan, Bu Sari melepaskan pelukannya. Ia menatap Luna sekali lagi, penuh empati, sebelum mundur sedikit dan bergandengan dengan Pa Rendi. Bersama-sama, mereka meninggalkan makam, langkah mereka perlahan menjauh, tubuh mereka samar di bawah cahaya redup lampu pekuburan.

Pak Syarif bersama istrinya menyusul di belakang, kepala mereka menunduk, wajahnya menampakkan duka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap langkahnya di tanah lembap terasa berat, seperti menahan rasa kehilangan sendiri, sebelum akhirnya ia juga lenyap dari pandangan.

Kini, hanya tersisa Luna sendiri. Angin berdesir di antara pepohonan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang ditaburkan di makam. Sunyi. Hanya sunyi yang memeluknya, berat namun familiar.

Di sela kesedihan itu, pikirannya kembali melayang ke masa lalu—ke hari-hari ketika ibunya masih hidup. Ia mengingat wajah lemah ibunya, kulit pucat yang dulu selalu ia cium setiap pagi sebelum berangkat sekolah, dan suara lembut yang selalu menenangkan hatinya meski tubuhnya sakit.

Ibu meninggal karena penyakit yang tak tertolong, meninggalkan Luna yang kala itu masih terlalu muda untuk sepenuhnya memahami dunia. Ia masih ingat rasa hampa yang menyelimuti rumah saat itu, rasa kehilangan yang menekan dadanya, dan kata-kata terakhir ibunya yang ia simpan di hati—pesan tentang kesabaran, tentang keteguhan, tentang bagaimana tetap melangkah meski dunia terasa berat.

Kini, Luna menunduk, menatap batu nisan dengan nama Ayah tercetak jelas di atasnya. Tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaan dingin itu, memeluk erat kenangan dan kata-kata terakhir Ayah yang masih terngiang di telinganya.

"Ayah, kenapa tinggalin Luna?" Lirih suara Luna. Kata-kata itu nyaris tersedak di tenggorokannya, terdengar seperti bisikan yang hampir hilang ditelan angin malam. Air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi, jatuh di tanah basah di sekitar makam. "Apa Ayah marah karena Luna gak janji akan pulang cepat malam kemarin?"

Hanya terdengar desiran angin dan gemerisik daun, seolah alam pun menahan napas mendengar kesedihan yang begitu murni. Dunia Luna malam itu terasa hampa—sunyi, berat, dan dingin, menekannya dengan rasa kehilangan yang tak tergantikan.

Ia menunduk lebih dalam, menempelkan dahinya di tangan yang masih menahan dinginnya batu nisan. “Aku… aku nggak ngerti, Ayah… kenapa harus secepat ini,” Bisiknya, suaranya hampir pecah, suara hati yang tak bisa diungkapkan dengan kata lain selain air mata dan rintihan yang tersendat. "Bagaimana aku harus menjalani hari-hari tanpa Ayah? Bagaimana aku harus bertahan menjadi gadis yang kuat, Ayah?"

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!