Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman dekat
Ford Mustang hitam milik Camelia melaju dengan kecepatan sedang di jalanan ibu kota yang pagi itu cukup bersahabat. Di balik kemudi, sopir pribadi Camelia menjalankan tugasnya dalam diam, sementara sang puan duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh sembari menatap paper bag hitam yang tergeletak di pangkuannya.
Rasa penasaran mulai menggeliat. Paperbag itu sempat diserahkan oleh sang ibu tadi pagi, katanya dari Sena. Entah kenapa, nama itu membuat detak jantung Camelia tak lagi stabil. Ada emosi yang sulit dijelaskan—antara bingung, kesal, dan jengah.
Dengan gerakan cepat, ia membuka paperbag tersebut.
Deg!
Tubuh Camelia sontak menegang. Ia menatap benda di dalam paper bag dengan ekspresi terkejut. Tangannya refleks menutup mulut, menahan pekik tak percaya.
“Hah, nggak mungkin! Ini... buku yang dari kemarin aku cari ke mana-mana... Tapi kok dia yang bisa dapat?” gumamnya.
Di dalam paperbag itu tergeletak sebuah novel puitis romansa karya penulis best seller asal Perancis—Étoile de Minuit oleh Alayna Leclerc, buku yang belakangan ini sangat langka dan sulit ditemukan, bahkan di toko buku impor sekalipun.
Camelia menginginkannya sejak lama, tapi belum berhasil menemukannya dan kini, tanpa susah payah mencarinya, novel itu justru datang begitu saja, dari orang yang sama sekali tidak ia harapkan.
Sena.
Matanya masih tertuju pada sampul buku berwarna merah muda itu, lalu ia menghembuskan napas perlahan. Tak bisa dipungkiri, ada perasaan tersentuh. Tapi disisi lain, ia tak ingin terjebak dalam pusaran perhatian yang salah.
Sebenarnya, mau kamu apa sih? Kenapa sampai kayak gini? Aku harus tanya, harus tanya langsung... Jujur aja, dengan sikap dia yang begini, aku nggak nyaman! batinnya mulai bergejolak.
Memang, ini bukan kali pertama Camelia mendapatkan hadiah atau perhatian dari pria-pria yang mencoba mendekatinya. Biasanya ia bisa menerima itu semua dengan sopan dan tenang, kadang juga dengan sedikit senyum sebagai bentuk penghargaan. Tapi kali ini berbeda. Sena adalah dosennya.
Bukan sekadar beda usia, tapi juga beda posisi. Hubungan profesional yang harusnya tetap steril kini perlahan dikaburkan oleh isyarat yang semakin sulit dimaknai. Apalagi Camelia bukan tipe yang mudah menaruh hati. Ia sangat menjaga ruang personalnya. Terlebih, ia tahu betul, perhatian yang salah bisa berujung tidak menyenangkan—apalagi di lingkungan akademik.
......................
Sesampainya di Universitas Avanya, Camelia segera turun dari mobil dan menenteng totebag-nya dengan langkah cepat. Ia sempat berpikir untuk langsung menuju ruang dosen dan mengembalikan buku dari Sena. Tapi, ketika menengok jam tangan mungil di pergelangan tangannya, ia menyadari waktu kelas pagi hampir dimulai.
"Hah, nanti aja setelah kelas." gumamnya, sedikit kesal.
Camelia melangkah ke gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain, lalu naik menuju studio lantai dua tempat mata kuliah Fashion Construction & Draping akan berlangsung.
Seperti biasanya, ia duduk di kursi paling belakang, di pojok dekat jendela. Posisi yang memberinya ruang cukup untuk berpikir dan mengamati tanpa perlu banyak bersosialisasi.
Namun, kali ini ada yang berbeda.
Tatapan Camelia terhenti saat melihat satu cup kopi diletakkan manis di atas mejanya, kopi dari kedai langganannya, dengan cup berlabel khas dan tulisan nama kecilnya di sisi gelas. Di bawahnya, tersembunyi secarik kertas kecil yang dilipat rapi.
Kening Camelia berkerut. Ia mengambil kertas itu dengan pelan, lalu membukanya.
"Selamat pagi, semoga kopi ini bisa bantu kamu biar nggak penat di kelas.
—Sena."
Deg!
Jantung Camelia berdebar tak karuan. Tangannya spontan meremas kertas kecil itu, dan wajahnya langsung menunduk, menyembunyikan ekspresi kesal yang mulai muncul.
Dia ini kenapa, sih?! Buku belum sempat aku balikin, sekarang malah kayak gini lagi... Kopi segala! batinnya mulai jengah.
Ia melirik ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikannya. Beberapa teman di depan sudah sibuk membuka laptop dan roll kain mereka, sementara dosen perempuan paruh baya yang mengajar mata kuliah ini masih sibuk menyiapkan presentasi di depan.
Camelia mendesah, lalu menyingkirkan cup kopi itu ke sisi meja. Ia mencoba fokus, tapi pikirannya tetap melayang pada satu nama, Sena.
"Aku harus bicara langsung. Ini nggak bisa dibiarkan. Sikapnya udah keterlaluan untuk ukuran dosen!"
Sayangnya, hingga jam kedua hampir selesai, Camelia nyaris tidak mencatat apapun. Saat dosen menjelaskan tentang teknik draping pada bodice, pikirannya malah sibuk memutar ulang kejadian demi kejadian yang melibatkan Sena.
Buku, perhatian kecil, kini kopi. Semuanya terlihat sederhana, tapi terasa rumit ketika pelakunya adalah seseorang yang semestinya menjaga batas profesional.
Camelia menunduk, jari-jarinya menggenggam pulpen erat-erat.
Hening di pojok ruangan itu tak hanya menyelimuti Camelia, tapi juga kekacauan kecil yang mulai tumbuh dalam dirinya, antara ingin menghentikan semuanya, atau diam-diam menikmati perhatian yang seharusnya ia hindari.
......................
Lega rasanya ketika kelas akhirnya usai. Camelia pun segera beranjak dari bangku pojok belakang, bersiap melangkah menuju ruang dosen. Ada hal yang ingin ia selesaikan secara langsung—hal yang sejak pagi tadi mengganjal di pikirannya,mengembalikan buku dari Sena.
Namun belum sempat langkahnya keluar dari kelas, tubuhnya tersentak oleh suara familiar yang tiba-tiba menyapa dari samping.
“Camelia~,” panggil Giovani dengan senyum manis yang nyaris selalu ia bawa ke mana pun.
Camelia memejamkan matanya sejenak. Bukan karena tak suka, tapi hari itu ia benar-benar sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun—termasuk oleh Giovani. Hatinya masih penuh dengan keruwetan yang belum sempat ia uraikan sendiri.
Namun, ia sadar satu hal, tak adil jika rasa jengahnya pada Sena dilampiaskan pada orang lain. Terutama Giovani, yang selalu bersikap ramah dan tulus padanya. Maka, dengan sedikit usaha, Camelia menarik ujung bibirnya membentuk senyum ringan, berusaha sealamiah mungkin.
“Iya, Gio... gimana?” sapanya, tetap hangat.
“Kamu ada kelas lagi?” tanya Giovani sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya, mencoba terlihat santai meski jelas sorot matanya menyiratkan semangat.
Camelia menggeleng pelan. “Udah, kelas terakhir barusan.”
“Kalau gitu... mau nemenin aku ke kantin, nggak?” ajaknya, menatap Camelia penuh harap. “Tadi pagi aku belum sarapan. Sekarang perutku nyanyi-nyanyi, Mel... keroncongan parah!” lanjutnya dengan ekspresi dramatis.
Tak disangka, celetukan itu sukses membuat Camelia tertawa kecil. Tawa tulus yang bahkan membuat pipinya sedikit mengendur dari ketegangan sejak pagi.
“Ya udah, ayo...” ucap Camelia sambil menepuk pelan lengan Giovani dan berjalan lebih dulu keluar kelas.
Giovani membeku. Tangannya otomatis terangkat, mengusap bagian lengan yang tadi disentuh oleh Camelia. Tatapannya kosong, tapi senyumnya lebar, penuh rasa tidak percaya. “Ya ampun... mimpi apa aku semalam.” bisiknya pada diri sendiri, masih dalam keadaan mabuk kepayang.
“Gio, ayo!” teriak Camelia, menoleh karena merasa tak diikuti.
Suara itu menyadarkannya. Giovani tersentak, lalu buru-buru berlari menyusul gadis itu dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Dalam perjalanan menuju kantin, langkah Giovani sejajar dengan Camelia. Sesekali, ia melirik ke arah gadis itu yang seperti biasa, tenang, pendiam, dan nyaris tanpa ekspresi. Keheningan di antara mereka terasa agak janggal, terlebih bagi Giovani yang sebenarnya ingin mencairkan suasana.
Tak tahan dengan keheningan yang terlalu lama, ia akhirnya membuka suara.
“Tadi aku lihat di mejamu ada kopi yang masih utuh. Nggak kamu minum atau lupa, Mel?” tanyanya santai.
Camelia sempat melirik sekilas, sebelum kembali menatap lurus ke depan. “Hm, itu... aku salah pesan. Bukan kopi yang biasa aku minum, jadi ya nggak aku sentuh,” jawabnya singkat.
“Oh gitu,” angguk Giovani pelan, masih tetap tersenyum. “Aku kira sengaja kamu nggak minum. Sayang banget, mubazir.”
Camelia tak langsung menanggapi, hanya mengangguk tipis.
Sebenarnya, kalimat itu hanyalah sebuah dusta kecil. Bukan karena salah pesan, tapi karena kopi itu datang dari seseorang yang entah kenapa berhasil membuat hatinya campur aduk, Girisena Pramudito. Dosen DKV dan sikap tenang yang seolah tahu betul bagaimana mengguncang keseimbangannya.
Dan tentu saja, Camelia enggan membicarakan hal itu dengan Giovani. Ia tahu betul pria tinggi yang berjalan di sampingnya ini bisa sangat penasaran jika mendengar sesuatu yang janggal, terlebih ia belum siap menjawab pertanyaan apa pun tentang Sena. Maka untuk sekarang, cukup dengan jawaban aman seperti itu.
......................
Kantin Fakultas Seni Rupa dan Desain siang itu tampak cukup ramai. Suara obrolan mahasiswa bercampur aroma kopi dan makanan cepat saji memenuhi udara. Camelia dan Giovani akhirnya mendapatkan meja kosong di dekat jendela besar yang menghadap taman kecil fakultas.
“Aku pesen makanan dulu, ya. Kamu mau makan apa?” tanya Giovani sambil berdiri, meraih dompet dari saku jaketnya.
Camelia menggeleng. “Nggak, makasih. Aku teh hangat aja. Perutku belum pengen diisi.”
Giovani menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Oke, teh hangat. Tunggu sebentar.”
Tak lama, ia kembali dengan nampan berisi sepiring nasi ayam panggang dan dua cangkir teh. Salah satunya ia dorong pelan ke hadapan Camelia.
“Thanks.” ujar Camelia singkat, membiarkan uap hangat dari cangkir menyentuh wajahnya.
Mereka berbincang ringan, tentang kelas, tugas, hingga keluh kesah soal dosen studio yang terkenal perfeksionis dan sering meminta revisi mendadak. Suasana yang awalnya kaku perlahan mencair, terlebih saat Giovani dengan ekspresi dramatis menirukan suara pelan tapi tajam milik dosen tersebut.
Camelia tertawa. Tawa kecil yang nyaris langka, tapi begitu tulus. Bahkan kedua tangannya reflek menutup mulutnya, seakan tak percaya bisa serileks ini.
“Parah sih kamu, Gio,” ucapnya di sela tawa. “Mirip banget, kamu masuk teater aja sekalian.”
Giovani ikut terkekeh, meneguk teh hangatnya perlahan. “Ya siapa tahu, kalau gagal jadi fashion designer, karier komedi masih terbuka,” candanya.
Namun, seiring uap teh yang mengepul di antara mereka, atmosfer berubah perlahan. Senyum Giovani memudar, tatapannya tak lagi jenaka, melainkan kosong. Ia menunduk, menatap meja seakan sedang mencari kata.
“Mel…” ucap Giovani pelan, suaranya nyaris kalah oleh denting gelas dari meja lain. “Aku cerita sesuatu, boleh?”
Camelia menatap wajah Giovani yang kini sedikit tegang. Ekspresinya berubah, lebih lembut dan penuh perhatian. “Boleh. Cerita aja,” jawabnya.
“Aku nggak biasa cerita ke siapa-siapa soal ini. Tapi rasanya... makin lama makin susah buat nyimpen sendiri,”
Camelia tetap diam, memberinya ruang. Hanya matanya yang menatap Giovani, penuh kesabaran.
“Ibuku sakit, kanker payudara. Udah masuk tahap kemoterapi. Berat... bukan cuma buat beliau, tapi juga kami di rumah,” lanjut Giovani.
Kepala Camelia terangkat sedikit. Mulutnya sempat terbuka, tapi ia urungkan ucapan yang belum sempat terbentuk.
“Kondisi keuangan keluarga juga nggak bagus. Ayah cuma kerja serabutan, kadang proyek ada, kadang nggak. Sekarang aku bantu sebisa mungkin. Ambil banyak kerjaan freelance. Jual desain, bikin mockup, apa aja. Aku cuma pengen ... ibu bisa sembuh. Bisa senyum lagi,” ucapannya terhenti. Giovani menunduk lebih dalam, menahan getar di suaranya.
“Aku bukan minta dikasihani, Mel, bukan. Aku cuma... butuh didengar. Kadang, terlalu banyak yang harus ditahan.”
Sementara Camelia menunduk, menggenggam ujung cangkir tehnya. Hatinya berdesir, sebab ia tahu betul bagaimana rasanya memendam banyak hal sendirian. Tapi yang lebih mengharukannya, adalah keberanian Giovani untuk terbuka padanya. Bukan karena mereka sudah dekat, tapi karena ada rasa percaya yang pelan-pelan dibangun.
“Gio… terima kasih udah cerita. Aku tahu itu nggak mudah.”
Giovani mengangguk kecil, tak langsung menatap. Ada luka yang ia biarkan terbuka, tapi anehnya, itu terasa sedikit lebih ringan.
“Kamu nggak sendiri, kalau kamu butuh tempat untuk sekadar cerita... aku ada. Meskipun aku bukan orang yang banyak bicara,” lanjut Camelia pelan.
Giovani akhirnya tersenyum. Bukan tawa, bukan pura-pura. Tapi senyum lelah yang terasa tulus. “Itu cukup, Mel. Makasih.”
Tak ada pelukan, tak ada kalimat klise. Tapi di antara dua cangkir teh dan meja kecil itu, satu kepercayaan telah tumbuh. Mungkin, Camelia baru menyadari, kehangatan bukan selalu berasal dari seseorang yang sempurna, kadang datang dari mereka yang sama-sama belajar bertahan.