Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muffin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman atau bukan?
Di bawah pohon rindang, tak jauh dari lapangan basket, Kala, Aksa, dan Tibra sedang bersantai sambil bermain UNO. Suasana santai itu seketika buyar saat Jevan datang berlari tergesa.
"Guys... Gawat, guys!!" teriak Jevan panik, napasnya memburu saat akhirnya berhenti di hadapan mereka.
Aksa mengerutkan kening, kesal. "Apaan sih lo, teriak-teriak , ada kebakaran?"
Tanpa banyak bicara, Jevan menyodorkan selembar kertas ke arah mereka. "Ada yang ngefitnah Kapten... sama Bu Bos," katanya terbata, nadanya serius.
Tibra, yang duduk paling dekat, langsung mengambil kertas itu dan membacanya. Wajahnya menegang, rahangnya mengatup menahan emosi.
Kala cepat-cepat merebut kertas itu dari tangan Tibra, sementara Aksa ikut mengintip dari samping.
"Anjrit...!" desis Aksa tajam. "Siapa yang nyebarin berita sebrengsek ini?!"
"Raja udah tau belum?" tanya Kala cepat.
"Kayaknya belum. Di grup kampus juga belum ada bahasan apa-apa," jawab Jevan, masih mengatur napasnya.
"Kita harus gimana sekarang?" Aksa menatap teman-temannya dengan wajah cemas. "Kalau ini dibiarin, nama tim basket juga bisa kena imbasnya!"
Tibra terdiam sejenak, menunduk sebelum akhirnya menatap Kala, Aksa dan Jevan.
"Kita temui Tessa dulu. Siapa tahu dia butuh bantuan. Setelah itu baru kita cari tahu siapa yang nyebarin semua ini."
Tak ada yang membantah. Semua langsung mengangguk, bangkit dari tempat duduknya, setengah berlari menuju gedung Fakultas Seni.
Di sisi lain, Tessa masih berdiri di ujung lorong, menatap selebaran yang tadi ia tarik paksa dari dinding.
TESSA ALODIA KAMANI
MAHASISWI SENI SEMESTER 4
HAMIL ANAK KAPTEN BASKET CAKRAWALA RAJATA KASTARA NARADIPTA
Kalimat itu kembali ia baca—fitnah yang mencabik harga dirinya.
Tangannya gemetar. Kertas itu diremas kuat. Perlahan, tubuhnya merosot ke lantai, bersandar lemas pada dinding.
Air matanya jatuh, tak tertahan.
"Ayah... ibu, kenapa hidupku jadi begini?" bisiknya lirih.
Ia memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir—menumpahkan luka yang tak mampu ia ucapkan.
Beruntung tak ada yang melihatnya. Lorong itu memang cukup sepi—hanya segelintir orang yang tahu tempat itu.
Di tengah tangisnya, sebuah ingatan lama perlahan muncul ke permukaan—kenangan tentang ayahnya.
Dulu, saat Tessa masih kecil, ia pernah dituduh menyembunyikan mainan temannya. Ia menangis seharian, merasa tidak adil. Saat itulah, Dimas—sang ayah—duduk di sampingnya, mengusap punggungnya perlahan dan berkata:
"Hidup itu nggak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, Nak. Tapi kalau kamu di posisi yang benar—kamu nggak boleh takut, Tessa. Jangan pernah takut."
Ya... aku nggak boleh takut. Aku nggak hamil. Ini fitnah! serunya dalam hati, penuh keyakinan.
Tessa menarik napas panjang. Kata-kata ayahnya tadi seolah menyuntikkan keberanian baru dalam dirinya.
Ia menghapus air mata di pipi, lalu mendorong tubuhnya dari tembok—berdiri perlahan.
Ia tahu, ia tidak bisa memaksa orang lain mengubah pandangan mereka. Tapi setidaknya...
ia harus menjelaskan pada teman-temannya—bahwa ini semua hanya fitnah.
Langkah Tessa mantap menuju kantin, tempat teman-temannya biasa berkumpul.
Begitu ia melangkah masuk, suasana yang tadinya riuh langsung berubah hening.
Semua mata tertuju padanya, menatap seolah ia adalah pusat dari semua gosip murahan yang beredar.
Namun Tessa tidak bergeming. Jantungnya berdetak kencang, tapi tekadnya jauh lebih kuat.
Ia tahu, ia tidak salah. Ini fitnah.
Begitu sampai di meja tempat Putri, Diana, dan Raisa duduk, ia berhenti.
Tanpa banyak basa-basi, ia sodorkan selembaran kertas yang diremas separuh—masih bisa terbaca jelas isinya.
"Lo semua ngehindarin gue gara-gara berita ini?" tanyanya tajam, matanya menatap satu per satu.
"Kalau iya. Emang kenapa?!"
Putri berdiri. Wajahnya tak bersahabat.
"Gue nggak nyangka lo semurah itu, Tess. Malu gue temenan sama lo." Nadanya penuh tuduhan.
"Kenapa harus Rajata, Tess?!" Lanjut nya dengan nada tinggi.
Tessa terdiam, dahinya mengernyit. Ia tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Putri—sahabatnya sendiri.
"Lo pikir... gue punya pilihan lain?" Tessa maju selangkah. Suaranya bergetar, tapi tegas. Ia tidak mundur.
Putri mencibir, senyumnya sinis.
"Lo pasti seneng banget, ya? Akhirnya bisa dapetin Rajata? Pantesan dia bela-belain nganterin alat lukis lo kemarin. Taunya lo udah jual diri ke dia?"
Tessa mengepalkan tangan kuat disamping paha nya. Hampir saja ia menampar Putri jika bukan karena ingat satu hal—Putri adalah sahabatnya.
Ia menahan napas. Kata-kata itu menampar lebih keras dari tangan mana pun. Tatapannya kini beralih pada Diana dan Raisa, yang hanya duduk terdiam.
"Kalian juga sama kayak dia?" tanyanya lirih, menunjuk wajah putri.
"Percaya sama berita kayak gini tanpa nanya langsung ke gue?"
Diana menunduk. Tangan di pangkuan, gelisah. Raisa hanya menggigit bibir bawahnya, tak sanggup menatap balik. Mereka tak menjawab, dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada caci maki.
Lalu, dari arah meja lain, suara sinis terdengar.
"Halah... murahan begitu mah biasa. Nggak usah sok suci."
"Nggak nyangka banget, padahal muka-nya polos," ucap seseorang dari pojok kantin.
"Eh ternyata dalemnya... kayak gitu juga," sahut yang lain sambil cekikikan.
"Pura-pura lugu, taunya udah buka baju"
"Biar dapet cowok terkenal, harga diri dikorbanin? Gila sih."
Cacian datang bertubi-tubi, seperti gelombang yang menenggelamkan.
Tessa hanya berdiri di tengah semuanya, menggenggam kertas yang kini sudah lecek dan basah oleh keringat di tangannya.
Putri berdiri dengan ekspresi puas di wajahnya. Bibirnya tersungging senyum kemenangan, seolah merasa telah berhasil menjatuhkan Tessa ke titik terendah.
Berbeda dengan Diana dan Raisa. Tatapan mereka mulai goyah. Diana menunduk dalam diam, rasa bersalah mulai mencubit hatinya. Raisa menggigit bibir, matanya menatap Tessa dengan campuran iba dan bingung.
Tessa menutup mata sesaat. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan, tapi napasnya tercekat.
Hatinya sakit, dadanya sesak.
Namun detik berikutnya, suara lantang memotong semuanya.
"CUKUP!!!"
Suara Tibra menggema memenuhi seluruh kantin. Semua tawa mengejek mendadak terdiam. Suasana berubah hening.
Tibra berdiri tegap di depan Tessa, wajahnya tegang, matanya menyapu tajam ke arah orang-orang yang tadi mencemooh. Tak lama kemudian, Kala, Aksa, dan Jevan berdiri di sampingnya, membentuk barisan pelindung di hadapan Tessa.
"Ini fitnah!" seru Tibra lantang.
"Lo semua nggak tau apa-apa tapi udah berani asal tuduh!"
Kala menambahkan dengan nada tajam, "Kalian semua itu pengecut. Nyerang cewek tanpa bukti apa pun. Bangga, hah, nyebarin aib yang belum jelas kebenarannya?"
Aksa mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Siapa pun yang nyebar berita hoax ini…tunggu aja. Kita bakal cari, dan lo bakal tanggung akibatnya."
Jevan hanya diam. Tapi tatapannya tajam menyapu seluruh penjuru kantin, menyimpan amarah yang nyaris meledak.
Lalu terdengar suara sinis kembali.
"Kalian segininya bela Tessa?" Putri melipat tangan di dada.
"Atau jangan-jangan... kalian juga udah nikmatin tubuhnya?" ucapnya sarkastis, membuat beberapa orang menahan napas.
Tibra segera berbalik, kini berdiri tepat menghadap Putri. Sorot matanya menusuk, wajahnya tegang menahan emosi.
"Lo temen Tessa atau bukan?" tanyanya tajam. "Atau justru... lo yang nyebarin fitnah ini?"
Putri menyipitkan mata, tertawa mengejek.
"Jangan asal tuduh lo. Ngapain gue nyebarin fitnah murahan kayak gitu... apalagi nyangkut Rajata."
Kalimat terakhirnya menggantung. Putri menutup mulutnya seketika—terlambat menyadari bahwa ia telah keceplosan.
Tibra mengangkat alis, lalu tersenyum sinis. "Oh... jadi lo cinta sama Rajata? Pantes segitunya nyerang Tessa."
Putri hendak membalas, namun kalimatnya tertahan ketika Diana menarik tangannya pelan.
"Udah, Put. Mereka bener... Kita belum tahu kebenarannya. Kita nggak berhak nge-judge Tessa kayak gini."
Putri menepis tangan Diana dengan kasar.
"Oh jadi sekarang lo juga belain dia?!" serangnya, menunjuk Tessa dengan penuh amarah.
Diana menatap Putri dengan kecewa.
"Gue nggak belain siapa-siapa. Gue cuma nggak mau jadi orang yang salah karena menuduh tanpa bukti."
Tessa berdiri diam di belakang mereka.
Matanya berkaca-kaca, tubuhnya masih bergetar. Namun, di balik ketakutan dan luka yang menyesakkan dada, ada sedikit rasa hangat yang menyelinap—karena ia tahu, setidaknya... ia tidak sendiri.
Kala, Aksa, Jevan, dan Tibra berdiri di hadapannya, menjadi tameng dari hujan hinaan yang tak henti menghujaninya.
Mereka berdiri tegak. Tegas. Tanpa ragu.
Dan itu—cukup untuk membuat hatinya kembali kuat.
Enak nya putri diapain gaes? Hihihi
Jangan lupa like dan komen banyak” yaaa biar aku semangat terus hihi🖤🖤