Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 16
Tiga hari Naina dirawat di rumah sakit, akhirnya dizinkan pulang ke rumah. Selama tiga hari ini juga, Mama Wira mengurus Naina di rumah sakit. Setiap Wira ada urusan dengan pekerjaannya, wanita paruh baya itu yang selalu dipercayakan Wira untuk menjaga Naina.
Ada beberapa luka kecil di tubuh Naina dan beberapa luka lebam di sudut wajahnya akibat kecelakaan lalu lintas di malam kelam itu.
“Nai, apa perlu mama menginap disini?” tanya Mama Wira, membantu Naina naik ke tempat tidur setelah membersihkan diri di kamar mandi.
Tiga hari meninggalkan rumahnya, Naina sudah merindukan kamar tidurnya.
“Tidak perlu Ma. Kasihan papa kalau ditinggal terlalu lama, serasa bujangan lagi,” canda Naina.
“Baiklah, kalau begitu Nai tidak perlu masak dulu. Nanti minta Mbok Sumi yang memasak atau Mama mengirim makanan untuk kalian,” saran Mama Wira, mengusap lembut surai hitam yang menutup wajah cantik menantunya.
“Tidak perlu, Ma. Nai sudah sehat,” tolak Naina. Dia sudah mulai tidak betah berdiam di rumah. Rencananya kalau besok sudah diizinkn Wira, dia mau ke butiknya sebentar.
“Atau maka ajak papa menginap disini saja. Bagaimana menurutmu, Nai?” tawar sang mertua.
“Ma, Nai itu sudah sehat. Hanya sedikit luka kecil saja. Nai sudah tidak apa-apa,” jelas Naina, memeluk pinggang mertuanya dengan nyaman. Selama lima tahun menikah, Naina merasa diperlakukan seperti anak, tidak sekalipun mertuanya baik yang laki-laki maupun perempuan mengasarinya.
Mama Wira melirik sekilas jam di dinding, saat ini waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Sudah waktunya dia kembali pulang ke kediamannya.
“Nai, mama harus pulang. Mama usahakan kalau mama bisa, besok mama datang lagi.”
“Iya, Ma.”
“Mama masak banyak untukmu dan Wira di kulkas. Minta Mbok Sumi panaskan untuk Nai. Mama khusus memasak makanan kesukaan Nai.”
“Terimakasih, Ma.”
Senyum melengkung terukir di wajah cantik yang mulai tampak kerutan di beberapa titik.
“Nai, harus banyak makan supaya sehat kembali. Bisa program hamil lagi. Mungkin yang sekarang dan yang lalu-lalu, belum berjodoh dengan kita, mama masih bersabar menunggu cucu darimu,” ucap Mama Wira, merengkuh tubuh lemah Naina dan memeluknya erat.
Tangis wanita itu hampir pecah saat tubuh Naina yang terguncang hebat di pelukannya. Kalau bisa memilih, dia ingin hanya ada Naina di keluarganya bukan gadis lain, tetapi takdir itu terkadang tidak sejalan dengan apa yang diharapkannya.
Rasa bersalahnya mengumpul di dada, setiap melihat Naina, hatinya juga ikut tersayat. Dia tidak bisa membayangkan kalau harus berada di posisi menantunya. Berbagi suami dengan wanita lain. Namun, terkadang hidup itu tidak semanis yang kita tuliskan, seindah yang kita gambarkan.
Sebagai orang tua, dia harus berdiri di posisi netral. Tidak memihak pada Naina ataupun Nola. Karena keduanya adalah korban keegoisan Stevi dan kelalaian Wira sampai tragedi ini harus terjadi.
“Sudah, mama pulang sekarang. Kalau ada apa-apa, jangan lupa menghubungi mama, atau minta Wira mengabari mama,” pamit Mama Wira, mengecup lembut pucuk kepala Naina.
***
Kondisi Naina semakin hari semakin membaik, jejak-jejak kesedihan pasca keguguran pun perlahan menguap dengan sendirinya. Kemesraan pasangan suami istri itu pun tetap sama seperti pengantin baru lagi, tidak ada yang berbeda.
Naina kembali sibuk dengan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah dan suaminya sekaligus sebagai pemilik butik yang setiap hari harus mengontrol semua karyawan dan produk-produk fashion jualannya.
Sore itu, seperti biasanya Wira akan pulang di jam empat atau lima sore. Sangat jarang sekali, Wira pulang malam kalau memang bukan urusan pekerjaan yang mendesak. Sebisa mungkin Wira akan pulang tepat waktu, demikian juga Naina. Sebagai seorang istri, meskipun memiliki kesibukan di luar rumah, tidak pernah Naina menelantarkan suaminya.
Semua kebutuhan Wira, dari pakaian sampai asupan semuanya diurus Naina sendiri, sangat jarang Mbok Sumi mengambil alih, kecuali benar-benar terdesak.
Deru mobil Wira sudah terdengar di halaman rumah seiring senja yang menyambut malam. Matahari pun mulai bersembuyi di ufuk barat meninggalkan jejak-jejak memerah.
Naina baru selesai mandi saat Wira masuk ke kamar mereka, menatap penuh cinta pada istri yang hanya berbalut bathrobe dengan rambut basah digulung handuk.
“Sayang,” sapa Wira, membuka pintu kamar.
“Mas!” Naina dengan tampilan seksinya bertelanjang kaki menghambur pada suaminya yang berdiri di tengah pintu.
Kedua tangan itu sudah bergelayut manja, dengan senyum hangat.
“Mas merindukanmu, Nai.” Wira melempar jasnya asal. Menghujami kecupan tak berjarak di wajah cantik sang istri.
“Nai kira Mas akan pulang malam,” ucap Naina, menginjak kedua kaki Wira yang masih mengenakan sepatu hitam kulit. Memainkan permainan mereka seperti biasa, Wira akan melangkah maju dan Naina akan melangkah mundur mengikuti gerakan kaki suaminya.
“Tidak, Mas tidak jadi lembur. Mas putuskan besok saja melanjutkan pekerjaannya,” cerit Wira, memeluk erat pinggang Naina dengan kedua tangannya.
Bibir keduanya sudah merapat sembari mengulum senyuman. Kerlingan mata Wira mulai terlihat nakal, menatap istrinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Lebih cantik kalau digerai, Sayang,” bisik Wira, melepas handuk yang melilit kepala istrinya, membiarkan rambut itu tergerai basah. Selangkah maju seakan tidak terpengaruh dengan berat tubuh istrinya yang sedang menginjak kasar kedua kakinya.
“Sexy!” goda Wira, mengedipkan matanya. Tangan yang tadinya membelit pinggang, salah satunya sudah pindah menyusup di tengkuk Naina.
“Mas!” ucap Naina dengan manjanya.
“Hmmm, apa Sayang?” Jawaban Wira tidak kalah seksinya, mengalun lembut mengoda.
Naina menggeleng. Mengikuti pergerakan langakn Wira yang membawanya ke sisi tempat tidur. Sekali dorongan tubuh Naina sudah terjerembab di pusaran tempat tidur.
“Kamu cantik sore ini, Nai!” komentar Wira, mengurai simpul dasinya dan menariknya hingga terlepas.
“Mas ....” Naina merona malu, memekik pelan sembari menggigit bibir. Bukannya dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Nai, kamu sudah siap menggoda Mas?” tanya Wira, lagi-lagi menaikan kedua alisnya. Mata singa kelaparannya muncul, berbinar-binar menatap paha putih mulus yang terekspos akibat bathrobe yang tersingkap.
“No!” tolak Naina, menggelengkan kepalanya dengan kencang, berbaring pasrah di atas tempat tidur.
“Yes?” tanya Wira, melepas kancing kemejanya satu persatu, memamerkan dada bidangnya.
“No!” Naina menutup mata dengan kedua telapak tangannya, terlihat sungguh menggemaskan di mata Wira.
Lelaki itu tersenyum, melihat pipi merona istrinya. Nainanya yang manja tetapi mandiri. Nainanya yang lemah lembut dan selalu menurut tetapi wanita kuat dan berpendirian. Nainanya, istri terbaik di segala sisi, pintar memuaskannya di atas tempat tidur, pintar melayaninya di dapur dan paling pandai menyenangkannya. Nainanya yang sanggup mengisi hidup dan hatinya dan tidak tergantikan.
“Yo te amo.”
Wira mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, meletakan di sisi istrinya. Sebuah kotak perhiasan dan amplop putih.
“Hadiahmu yang terlupakan, Sayang.” Wira mengambil posisi membungkuk, dengan kedua tangan mengunci di sisi kiri dan kanan tubuh istrinya.
“Apa ini Mas?” tanya Naina, menatap lekat manik mata biru suaminya.
“Buka saja, Sayang!” pinta Wira.
Mata Naina berbinar bahagia begitu membuka kotak perhiasan. Cincin emas putih bertahta berlian, sederhana tetapi elegan.
“Terimakasih Mas. Nai menyukainya,” ucap Naina, memeluk leher Wira dan menarik suaminya itu supaya ikut berbaring bersamanya.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.