Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Huh apaan, lo beneran udah nikah?" Axel mendelik ke arah Damian, namun si empunya sibuk misuh-misuh karena wajahnya basah terkena semprotan jus dari mulut Axel.
Axel masih tak percaya dengan ucapan gadis berambut blonde di depannya.
"Masa sih si Damian udah nikah, tapi sama siapa?" gumam Axel.
"Jorok banget sih lo!" sentak Damian.
Gwen yang melihat wajah suaminya basah, langsung mengambil tisu, bermaksud membersihkan wajah Damian. Namun, hal itu urung ia lakukan karena sudah keduluan oleh Niken.
"Temen lo nggak punya sopan santun, ya," celetuk gadis blesteran tersebut. Niken berusaha mengelap wajah Damian dengan tisu. Sesekali ia melirik Axel dengan tatapan sengit. "Duh, wajah lo kotor semua deh, Dam."
"Dia emang nggak punya etika, dan dia bukan temen gue. Siniin tisunya, gue bisa sendiri." Damian berujar. Namun, Niken tetap keras kepala tetap membantu membersihkan wajah Damian.
"Ya seenggaknya masih punya muka, daripada orang yang tahu pria yang dia dekati udah punya pasangan, tapi masih nekat juga. Itu namanya nggak tahu diri," gumam Gwen. Bukan dia ingin membela Axel, tapi ia sudah jengah dengan sikap gadis di hadapannya ini.
Niken menghentikan kegiatannya membersihkan wajah Damian. Kedua ekor matanya melirik ke arah Gwen.
"Apa maksud lo? Lo siapa sih? pacarnya cowok nggak sopan ini? Tiba-tiba nyamber aja. Lo sama dia sama, sama-sama bad attitude," cibir Niken sengit.
Gwen terkekeh mendengar itu. Bukan Gwen namanya jika tidak berani melawan Niken. Dia mendekati si gadis blonde yang melanjutkan aksinya mengelap wajah Damian.
Ia langsung menghempaskan tangan Niken dari wajah sang suami, dan sedikit mendorong tubuh gadis itu.
"Apaan sih lo!" teriak Niken, sukses hal itu menjadi tontonan beberapa siswa yang berkunjung ke kantin.
"Nggak usah ganggu gue sama Damian deh."
"Ini udah jam masuk sekolah, dan lo bukan siswi di sini. Sebaiknya lo pulang, atau kalau lo sekolah di tempat lain, ya buruan balik. Ngapain lo masih di sini?"
Niken tertawa sengit, gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya menatap remeh ke arah Gwen. "Emang itu urusan lo. Ini sekolah milik Papanya Damian, dan gue pacarnya Damian, nggak ada urusannya sama lo. Mau gue di sini sampai ntar malem, atau sampai pagi lagi kek, lo nggak berhak ngurusin gue, ngerti lo!" sentaknya dengan wajah penuh amarah yang ia layangkan pada Gwen.
Gwen balas tersenyum, ia mendekati Niken lagi. Tinggi tubuh mereka agak berbeda jauh, Gwen memiliki postur lebih tinggi dari Niken. Niken memang blasteran Swiss, namun gen ibunya lebih banyak menurun padanya.
Gwen agak menunduk saat bicara dengan gadis berambut blonde itu.
"Oh jadi cuma pacar, bisa putus kok." Gwen terkekeh.
"Gue tau ini sekolah milik Pak Arthur, ayahnya Damian.
Nggak usah lo perjelas, gue udah paham. Gue nggak bodoh kok. Tapi gini ya, ini jam sekolah, dan emangnya bagus tuh siswi lain keliaran di sekolah ini, padahal bukan tugas dari sekolahnya? Maaf Mbak, Anda salah bersikap. Ini sekolah, bukan Mall. Bukan tempat buat kelayapan, paham."
Niken berang, ia menghentakkan kakinya kesal.
"Dam, nyebelin banget sih dia. Siapa sih dia? Dari dandanannya kek rakyat jelata."
"Masih bagus gue, masih punya sopan santun. Seenggaknya gue tau cara berpakaian yang bener di lingkungan sekolah. Tuh seragam lo, lo mau Clubing atau sekolah?" cibir Gwen.
"Berani lo ya. Dam, kok lo diem aja. Belain gue dong, nih cewek rese banget sih. Siapa sih dia, paling-paling cuma siswi beasiswa. Tetapi gayanya udah kek menantu yang punya sekolah. Suka-suka gue lah, emang lonya aja yang nggak ngerti fashion."
Gwen tertawa dalam hati. 'Emang gue menantu yang punya sekolah,' ujarnya dalam hati.
Damian hampir membuka bibirnya, namun Gwen buru-buru mencegahnya. "Lo nggak usah ngomong, diem aja lo. Ini urusan gue sama dia. Mending lo balik ke kelas, kerjain tuh tugas lo. Dihukum bu Rina tau rasa."
"Gue cuma mau jelasin siapa lo, udah. Ntar gue balik ke kelas," tutur Damian. Lelah juga sebenarnya. Ia ingin mengaku pada Niken kalau dirinya sudah menikah.
"Nggak perlu, gue punya cara sendiri buat jelasin ke nih cewek." Gwen melirik ke arah Axel.
"Xel, jam pertama kita kosong, kan?" tanyanya.
Axel mengangguk. Terlalu kagum dengan Gwen sampai ia diam melongo menonton drama di depannya.
"Iya, kan Bu Hasna masih cuti sehabis nikah."
"Ya udah, lo balik ke kelas dulu. Gue ada urusan sama nih cewek bentar."
"Lo yakin, nggak perlu gue bawain bala bantuan nih buat nyingkirin nih Nenek gayung."
Gwen menggeleng cepat. "Udah nggak usah, gue bisa atasin sendiri kok. Entar jadi ramai, gue nggak mau image lo sama yang lain rusak. Ini urusan gue sama dia kok, udah lo balik duluan aja ke kelas," ujarnya.
Damian melirik ke arah Gwen, dia membatin. 'Anak IPA bar-bar banget, anjir. Nggak gue duga. Gue pikir tuh anak-anak IPA pada cupu-cupu.'
Axel mengangguk, ada rasa tak rela jika dia harus meninggalkan Gwen seorang diri di tempat ini. Namun, dia tahu Gwen dalam mode antagonis tidak ingin diganggu gugat. Melawan Alicia, dan genknya yang terkenal paling sadis di sekolah setelah Damian saja Gwen bisa.
"Oke deh, gue duluan. Kalau ada apa-apa telepon gue aja deh, Gwen. Lo juga balik kelas, Kampret," titahnya ke Damian.
"Nggak usah nyuruh-nyuruh, ntar gue balik ke kelas."
Axel mengedikkan bahu, ia sebenarnya enggan pergi, tapi karena Gwen yang menyuruhnya jadi ia pergi dari sana. "Nanti gue balik lagi bawa yang lain buat bantuin Gwen," gumamnya, dan Axel buru-buru berjalan ke arah kelasnya.
Selepas kepergian Axel, Damian mendekati Gwen. Dia bermaksud menyuruh istrinya itu untuk jangan membuat masalah dengan Niken. Dia kenal, bahkan sangat kenal seperti apa seorang Nicola Kendrick Stewart.
"Baiknya lo nggak usah cari masalah sama dia," bisiknya di depan telinga Gwen.
"Gue nggak nyari masalah, dia yang lebih dulu masuk ke zona gue tanpa izin. Kalau lo khawatirin gue, lo salah. Seharusnya yang lo khawatirin itu dia."
Damian diam, berdiri di antara perdebatan para wanita ini menyebalkan. Yang satu istrinya, dan yang satu adalah mantannya.
"Gue tetep di sini, bahaya kalau lo berdua pada baku hantam." Tatapan mata Damian yang khawatir pada Gwen, tertangkap netra milik Niken, membuat gadis itu semakin emosi.
Damian hampir beringsut dari sana, dan memilih duduk di kursi, namun buru-buru lengannya ditahan oleh Niken. "Sayang, kok lo diem aja sih. Bantuin ngomong dong nih sama cewek aneh. Gue itu pacar lo, bebas dong gue di sini. Ini sekolah milik Papa lo."
"Balik aja ke kelas, Dam."
"Nggak, gue tetep di sini ngawasin lo berdua."
Sebenarnya Damian takut terjadi sesuatu dengan Gwen. Mengingat Nicola Kendrick Stewart adalah gadis agresif, dan tempramental.
Dia adalah kekasih Damian dulu, cinta pertama pemuda itu. Mereka putus karena Niken memilih pindah ke Swiss mengikuti ayahnya dua tahun yang lalu. Namun, bukan karena hal itu juga.
Lebih tepatnya, Damian sudah lelah dengan sikap Niken yang posesif, dan pencemburu berat. Namun, dasarnya dulu Damian bucin berat sama Niken, jadi dia mengabaikan semua sikap menyebalkan Niken padanya. Akan tetapi, perasaan Damian pada Niken mulai hambar sejak ada Gwen di hidupnya.
"Balik, Dam!" seru Gwen.
"Nggak usah merintah Damian deh, lo tuh siapa sih? Belagu banget jadi orang. Lo belum tau siapa gue. Gue itu dulu-"
"Lo mantannya dia, kan?" Gwen terkekeh.
"Nggak usah sok tahu. Gue sama dia masih ada hubungan, bahkan gue sama Damian udah dijodohin dari kecil. Lo yang orang lain, jangan ikut campur urusan gue sama Damian."
Gwen hanya bisa tertawa dalam hati. Dijodohkan? Lalu kenapa Pak Arthur, dan Bu Jessica menyuruh anaknya menikahinya.
"Gue juga males berurusan sama lo sebenarnya, tapi karena lo berada di lingkungan sekolah ini dan membuat masalah...." Dia menghentikan ucapannya hanya untuk mendekati Niken, dan berbisik di depan telinga gadis itu. "Gue sebagai ketua kedisiplinan wajib ngusir lo dari sini, paham."
Wajah Niken memerah, Gwen tahu gadis ini marah padanya. Tapi apa pedulinya.
"Kalau gue nggak mau pergi lo mau apa? Lo hanya ketua kedisplinan, tapi gue pacar Damian, dan sekolah ini milik keluarga Damian." Dia menatap pongah ke arah Gwen, bibirnya berdecak dengan tatapan penghinaan.
"Ini nih tipe-tipe gagal move on. Kalau udah mantan ya mantan aja. Buat apa lo ngaku-ngaku. Gue kasih tahu sama lo, biar lo paham. Kasihan harga diri lo yang cewek harus ngejar laki-laki yang udah bukan milik lo. Kalau gue sih ogah, males banget. Apalagi buat laki-laki yang udah mindahin hatinya ke wanita lain. Gue paling anti ngejar-ngejar. Perempuan punya harga diri, jika udah mantan ya udah iklasin dong. Berarti dia bukan jodoh lo. Nggak usah dikejar ntar sakit hati yang ada." Gwen mencoba menasehati.
Dia tahu kok, gadis ini mantan Damian, semalam Damian sudah mengatakan Niken ini mantannya.
Niken sepertinya tak terima, saat Gwen berbalik.
Gadis itu mengangkat tangannya di udara, Damian langsung mendelik, dan buru-buru berlari ke arah keduanya.
Tangan kirinya menarik tubuh Gwen hingga gadis itu menubruk dada bidangnya, dan tangan kanannya menangkap lengan Niken yang ingin menjambak rambut milik Gwen.
"Kita emang udah lama putus, Ken. Sorry gue nggak bisa nerima permintaan lo buat balikan. Seperti yang lo bilang, ya gue udah nikah," ujar Damian berani.
Gwen melebarkan mata, namun ia bungkam. Sedangkan Niken, gadis itu tak sanggup berkata-kata.
...***Bersambung***...