Aku Masuk Ke Tubuh Wanita Jahat

Shen Liang tidak mengatakan apa pun lagi. Ia mengangkat tubuh Yue Lan, langkahnya mantap meski beban di lengannya terasa semakin panas, seolah api kecil menyala di balik kulit wanita itu. Ia memilih arah berlawanan, menjauh dari paviliun Yan Ruyin, menuju paviliunnya sendiri, tempat yang lebih aman dari tatapan dan bisik-bisik.

Tubuh Yue Lan menggigil di pelukannya. Panas itu menembus lapisan jubah, membuat Shen Liang menegang. Ia mempercepat langkah, rahangnya mengeras, berusaha menjaga pikirannya tetap jernih.

Di bawah remang cahaya bulan, Yue Lan menatap wajah pria itu. Garis rahangnya tegas, matanya fokus ke depan, namun napasnya tertahan, terlalu teratur untuk seseorang yang sama sekali tidak terpengaruh. Pemandangan itu membuat dadanya bergetar.

Wajah itu… pikirnya kacau. Terlalu dekat. Terlalu nyata.

Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku lagi.

Begitu pintu paviliun tertutup, Shen Liang meletakkan tubuh Yue Lan perlahan di atas ranjang. Gerakannya hati-hati, seolah takut satu sentuhan yang salah akan membuatnya runtuh. Ia berniat menjauh, memberi ruang, namun jari Yue Lan lebih dulu meraih lengan jubahnya.

Bukan tarikan penuh gairah.

Melainkan genggaman gemetar, takut dan meminta tolong.

“Kali ini saja…” suara Yue Lan pecah. “Tolong aku.”

Permohonan itu tidak terdengar seperti rayuan. Lebih seperti seseorang yang tenggelam dan meraih apa pun yang ada di dekatnya.

Waktu berjalan lambat.

Keheningan memenuhi ruangan, sarat dengan sesuatu yang tidak terucap. Ini bukan lagi tentang masa lalu, bukan tentang reputasi Yan Ruyin, bukan pula tentang kesalahpahaman yang menumpuk bertahun-tahun. Ini tentang pilihan dan konsekuensinya.

Shen Liang menunduk. Tatapannya jatuh pada wajah Yue Lan yang basah keringat, matanya setengah terpejam, napasnya berantakan. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat wanita yang pernah membuatnya kecewa. Ia melihat seseorang yang rapuh, tersudut, dan sendirian.

Ia akhirnya meraih wajah Yue Lan.

Dan mencium bibirnya.

Bukan ciuman yang tergesa. Bukan pula ciuman penuh tuntutan. Sentuhan itu begitu lembut dan perlahan, seolah ia sendiri sedang memastikan keputusan itu nyata.

Di balik pintu tertutup dan cahaya bulan yang perlahan meredup, malam itu menyimpan rahasianya sendiri. Jarak di antara dua orang yang selama ini terpisah, runtuh perlahan dan untuk pertama kalinya terasa begitu dekat.

Apa yang terjadi setelahnya, hanya mereka berdua yang tahu.

Sementara itu, di luar Paviliun.

Qin Mo melangkah cepat menyusuri lorong batu bersama seorang tabib berusia paruh baya. Nafasnya teratur, namun langkahnya jelas tergesa. Lampu gantung di tangan tabib bergoyang pelan, menerangi jalan menuju paviliun Shen Liang yang tertutup rapat.

Begitu mereka tiba di depan pintu, Tabib Hua hendak mengangkat tangan untuk mengetuk.

Namun Qin Mo segera mengulurkan tangan, menahannya.

“Tabib Hua,” ucapnya pelan, suaranya ditekan rendah. “Sebaiknya kita kembali nanti.”

Tabib Hua tertegun. “Bukankah Tuan Muda memerintahkan hamba untuk segera....”

“Aku tahu,” potong Qin Mo halus namun tegas. Ia melirik pintu kayu yang tertutup rapat, lalu menundukkan suara lebih jauh. “Keadaan di dalam… tidak memungkinkan.”

Tabib Hua terdiam sejenak. Sebagai orang yang sudah lama hidup di kediaman bangsawan, ia tentu paham arti sebuah erangan di balik pintu tertutup pada jam seperti ini. Ia menghela napas pelan, lalu mengangguk.

“Baik,” katanya akhirnya., "sepertinya kondisi Nyonya akan baik-baik saja. Racun itu akan mereda jika sudah tersalurkan.”

“Syukurlah kalau begitu.” kata Qin Mo singkat.

Mereka berdua mundur beberapa langkah. Lampu gantung dipadamkan, lorong kembali tenggelam dalam temaram.

Qin Mo menoleh sekali lagi ke pintu paviliun sebelum berbalik pergi. Wajahnya tetap datar, namun dalam benaknya penuh dengan rasa penasaran.